Keberlanjutan Komersialisasi PTN

- Editor

Selasa, 14 Juni 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

PENGUMUMAN kelulusan SMA tahun ini menyisakan pesimisme akan masa depan sebagian siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Salah satu penyebabnya adalah mahalnya biaya kuliah, termasuk di perguruan tinggi negeri (PTN). Bahkan tiap PTN mempunyai aturan sendiri menentukan biaya pendidikan per semester dan biaya fasilitas pendidikan (BFP) atau sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA). Faktanya, Unsoed Purwokerto disebut sebagai PTN ’’termahal’’ se-Indonesia (SM, 27/05/11). Apakah kebijakan penentuan biaya pendidikan di PTN lepas dari pengawasan dan standardisasi Kemendiknas sehingga masing-masing berhak mematok biaya pendidikan per semester ataupun segala macam bentuk sumbangan dari mahasiswa baru?

Di Prodi Kedokteran Unsoed misalnya, biaya terkecil untuk BFP Rp 75 juta dan per semester Rp 1.750.000, sedangkan UGM mematok SPMA terkecil Rp 10 juta dan biaya per semester Rp 2.300.000. Sebuah gambaran biaya yang memusingkan sebagian orang tua calon mahasiswa. Belum lagi biaya operasional selama kuliah hingga lulus. Bagi mahasiwa kaya, uang Rp 75 juta tentu tidak menjadi masalah, tapi bagaimana dengan mahasiswa yang orang tuanya kurang atau tidak mampu?

Karena itu banyak lulusan SMA yang diterima di PTN akhirnya mengundurkan diri atau memupus cita-citanya dengan tidak mendaftar seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), dan memilih bekerja tanpa bekal keahlian atau keterampilan spesifik. Pengalaman penulis yang notabene dari golongan menengah ke bawah ketika diterima di sebuah PTN di Semarang pada 1995 dapat diibaratkan mendapat bintang jatuh. Ketekunan belajar di bangku SMA akhirnya membuahkan hasil, mendapatkan bangku kuliah di PTN yang biayanya terjangkau oleh orang tua, yang bukan dari golongan kaya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Standardisasi Biaya
Apabila penulis adalah lulusan SMA pada masa ini, sudah tentu tidak akan mampu secara ekonomi untuk kuliah di perguruan tinggi negeri. Pengalaman tersebut menggambarkan betapa pada masa lalu lulusan SMA berlomba-lomba dalam prestasi, baik melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan/ program seleksi siswa berpotensi (PMDK/ PSSB) ataupun lewat jalur tes ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), dengan salah satu alasan biaya kuliah di PTN terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah, dibandingan dengan perguruan tinggi swasta) pada masa itu.

Saat ini kondisinya sudah berubah. Bisa diterima di PTN kini bukanlah kebanggaan karena prestasi melainkan bisa juga lebih pada kemampuan keuangannya.

Bahkan bisa-bisa malah bersedih karena biaya yang harus dibayarkan tidak terjangkau oleh orang tua calon mahasiswa itu.

Dulu PTN adalah harapan bagi lulusan SMA yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, kini biaya kuliah PTN makin tidak terjangkau karena sangat mahal, sejajar dengan PTS yang biaya penyelenggaraan pendidikannya ditanggung sendiri secara swadana meliputi pengadaan infrastruktur kampus sampai pembayaran gaji dosen.
Perguruan tinggi merupakan jembatan bagi lulusan SMA sebelum memasuki dunia kerja, banyak ilmu-ilmu praktis yang bisa dipraktikkan jika memang PTN butuh dana lebih besar dari subsidi yang diterima. Mengapa PTN tidak lebih kreatif lagi memberdayakan mahasiswa, dosen, dan civitas akademica lainnya untuk menghasilkan suatu produk barang ataupun jasa yang bernilai ekonomis ?

Secara tidak langsung pola itu bisa melatih mahasiswa untuk lebih siap terjun di dunia usaha setelah mereka lulus nantinya, karena lulusan perguruan tinggi belum semuanya siap bekerja, baik di perusahaan maupun dunia wirausaha. Hal itu beralasan karena materi kuliah yang diterima lebih banyak teori.

Sudah saatnya pemerintah menetapkan standardisasi biaya pendidikan di PTN sehingga masing-masing tidak mematok biaya menurut aturannya sendiri.

Jadikan PTN sebagai perguruan tinggi milik rakyat, dengan biaya yang dapat dijangkau oleh semua kalangan, sehingga lulusan SMA yang berprestasi namun dari tingkatan ekonomi menengah ke bawah tetap punya harapan melanjutkan ke perguruan tinggi. (10)

Yohanes Eko Nugroho SPd, guru IPA Terpadu SMP Negeri 2 Ungaran Kabupaten Semarang

Sumber: Suara Merdeka, 14 Juni 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB