Perburuan kukang makin masif. Hal itu disebabkan sebagian masyarakat masih menganggap satwa dilindungi tersebut sebagai hewan peliharaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA—Kukang (Nycticebus spp), satu dai sejumlah hewan yang dihadirkan dalam rilis Penanganan Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem oleh Ditreskrimsus Polda Jawa Timur di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, Senin (4/2/2020). Kepolisian mengamankan lima tersangka serta menghadirkan sebanyak 33 ekor dari 11 Jenis satwa dilindungi.
Banyaknya kukang yang diburu untuk dipelihara membuat populasi satwa dilindungi ini semakin turun dan terancam punah. Edukasi dan sosialisasi, khususnya di media sosial, sangat penting agar masyarakat semakin peduli terhadap keberlangsungan populasi kukang.
“Pada tahun 2015, kami menemukan 360 konten unggahan di media sosial orang memamerkan memelihara kukang. Pada 2016 kami mengedukasi agar orang tidak pamer karena efeknya orang akan berpikir kukang adalah hewan peliharaan yang murah dan mudah didapatkan,” ujar Koordinator Kukangku Ismail Agung dalam webinar bertajuk “Hutan dan Keanekaragaman Hayati”, Sabtu (29/8/2020).
Secara umum, kukang menghuni hutan-hutan tropis di Indonesia. Namun, kenyataannya kukang lebih mudah ditemui di perbatasan hutan hingga perkebunan masyarakat. Hal ini menyebabkan kukang rentan terhadap perburuan untuk dijadikan peliharaan maupun konflik dengan manusia lainnya.
Kukangku mencatat, pada tahun 2007 sekitar 7.000 kukang diburu per tahunnya. Agung memperkirakan saat ini perburuan kukang sudah turun menjadi 2.000 ekor per tahun. Akan tetapi penurunan ini dinilai bukan disebabkan makin kuatnya penegakan hukum, tetapi karena jumlah kukang menurun.
Agung menyampaikan, pemerintah mengidentifikasi tiga jenis kukang di Indonesia yakni kukang jawa, kukang sumatera, dan kukang kalimantan. Sementara dari riset terbaru oleh Badan Konservasi Dunia (IUCN), spesies kukang di Indonesia yang teridentifikasi antara lain kukang bangka, kukang kayan, kukang borneo, dan kukang sumatera bagian utara.
“Tiga spesies saja belum semua orang tahu dan sekarang bertambah menjadi tujuh. Semakin banyak jenisnya justru tingkat terancam punahnya juga semakin tinggi,” ungkapnya.
Konservasi harimau
Sementara itu, upaya konservasi harimau sumatera sebagai satwa terancam punah terus dilakukan Forum Harimau Kita. Strategi konservasi yang dilakukan antara lain dengan melakukan penguatan riset, eksplorasi, hingga pelatihan.
Ketua Forum Harimau Kita Ahmad Faisal mengatakan, pihaknya melakukan kegiatan sapu jerat di lanksap Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera Barat, untuk membersihkan perangkap harimau yang dipasang pemburu. Sebab, tiap pemburu dapat memasang jerat dengan jumlah banyak. Hal ini dilakukan pemburu untuk memperbesar peluang hewan incaran pemburu masuk dalam perangkap.
“Dari seluruh jerat yang dipasang pemburu, tidak semuanya bisa ditemukan. Bahkan, dari 100 jerat yang dipasang, si pemburu mungkin lupa setengahnya dipasang di mana. Jadi banyak juga kasus satwa mati dalam jerat karena tidak kunjung diambil oleh pemburu,” katanya.
Matinya harimau sumatera akibat jerat pemburu juga pernah terjadi pada Februari lalu. Bangkai harimau ditemukan warga di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Bukit Badas, Kabupaten Seluma, Bengkulu.
Dari laporan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, harimau berjenis kelamin betina dan diperkirakan berusia dua tahun tersebut terjerat pada bagian leher. Harimau juga diperkirakan telah mati terjerat selama tiga hari sebelum ditemukan warga.
Berdasarkan data periode tahun 2007-2020 sebanyak enam ekor harimau korban jerat berhasil dievakuasi oleh BKSDA Bengkulu dalam keadaan hidup. Lokasi penemuan harimau berada di Bengkulu Utara, Mukomuko, Lebong, Kaur, Seluma, dan Lampung.
Selain melakukan sapu jerat, Forum Harimau Kita juga memperkuat perlindungan tingkat tapak melalui satuan tugas, patroli, dan penegakan hukum. Peningkatan kemampuan dan konektivitas antarklaster habitat harimau yang telah terfragmentasi juga dilakukan.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 31 Agustus 2020