CATATAN IPTEK
Anda tahu katak. Al Gore, mengibaratkan kita seperti katak. Katak yang ada dalam panci berisi penuh air di atas kompor menyala. Suhu air biasa saja. Katak diam menikmati segarnya air. Perlahan suhu air dalam panci merambat naik. Akhir cerita…. katak mati dalam air mendidih.
Al Gore melontarkan retorika. Kita seperti katak dalam panci itu. Tidak menyadari bahwa dunia kita, planet tempat tinggal kita secara perlahan namun pasti, terus menghangat. Jika kita tetap diam dan tetap merasa nyaman, suatu kali nasib kita akan seperti katak tersebut. Dua belas tahun lalu Al Gore berbicara tentang pemanasan global melalui filmnya “An Inconvenient Truth” (2006). Film yang mendorong diskursus terbuka tentang pemanasan global beserta dampaknya.
Al Gore bukan pembawa pesan pertama tentang pemanasan global. Tentang ancaman dari emisi karbondioksida, yang kemudian bersama lima jenis gas lainnya dinyatakan sebagai gas rumah kaca (GRK). Namun, 59 tahun lalu, seorang fisikawan membuka tirai pengetahuan tentang bahaya emisi karbondioksida. Tentang pemanasan global yang diakibatkannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tahun 1959, fisikawan ahli senjata nuklir, Edward Teller, di hadapan 300 orang hadirin dari kalangan pejabat pemerintah, ahli ekonomi, ahli sejarah, ilmuwan, dan jajaran eksekutif dunia industri. Seperti dituliskan The Guardian, mereka menghadiri simposium “Energy and Man” yang digelar oleh American Petroleum Institute (API) memperingati 100 tahun minyak di Amerika. Teller berbicara tentang “pola energi masa depan”.
Dia mengungkapkan sifat karbondioksida, gas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Sifat karbondioksida tidak terlihat, transparan, tidak bisa dibaui, dan tidak berbahaya bagi kesehatan, namun menimbulkan efek rumah kaca karena menyerap radiasi infra merah yang dipantulkan permukaan bumi.
Dia bicara tentang kenaikan suhu global akibat peningkatan gas karbondioksida. “Planet bumi menjadi lebih hangat. Tidak tahu apakah naik 2 derajat Fahrenheit atau 5 derajat Fahrenheit. Kenaikan suhu bisa melelehkan es di Greenland dan Antartika yang ketebalan esnya sekitar 1,5 kilometer. Robert Dunlop, Presiden Sun Oil Company sekaligus Direktur API, hadir dan mendengar kata-kata Teller.
Namun tahun 1967 di depan Kongres AS menjelang embargo minyak, Dunlop dalam diskusi “mobil esok hari: listrik atau BBM?” Dunlop yakin, mobil listrik suatu kali nanti akan diproduksi massal. dia menyebutkan emisi mobil BBM: gas monoksida, nitro oksida, dan hidrokabon bisa dikendalikan. Dia tak menyebut karbondioksida. Tahun 1995 API menyerang Panel Para Ahli Perubahan Iklim (IPCC)-badan resmi PBB untuk pengetahuan tentang perubahan iklim.
Juni 1988. Periset lembaga Badan Antariksa dan Penerbangan Nasional James Hansen bicara di depan Senat AS tentang pemanasan global dan efek rumah kaca bertepatan dengan bencana gelombang panas, kekeringan, dan kebakaran besar. Penelitian Carbon Tracker pada 2015 menyatakan, perusahaan minyak akan merugi hingga 2 triliun dollar AS karena di masa depan, pilihan dunia mengarah pada penggunaan energi terbarukan.
Ahli astrofisika University of Rochester, Adam Frank menulis di buku Light of the Stars, ada tiga skenario tentang kehidupan di bumi setelah pemanasan global. Pertama, manusia selamat dengan mengungsi ke planet lain di luar tata surya. Kedua, 70 persen populasi manusia musnah. Ketiga, manusia seluruhnya punah.
Ancaman yang dibawa oleh pemanasan global dan perubahan iklim adalah ancaman eksistensial. Manusia yang semula ada terancam menjadi tidak ada. Padahal, sebenarnya sejarah tentang pengetahuan manusia akan perubahan iklim telah terentang lebih separoh abad. Meskipun demikian, perusahaan minyak tetap bergeming. Mereka tetap membongkar dan membakar bahan bakar fosil. Mereka tahu bahwa hal itu pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan dalam planet bumi. Namun demikian mereka tetap melakukannya. Bergeming.
Mungkin, kita manusia seperti diungkapkan K. Kothari ahli fisiologi dari SMS Medical College, Jaipur, India, tetap melakukan hal yang kita tahu hal itu salah, karena pengetahuan di otak kita belum bisa mengendalikan “otak monyet” kita, insting kita, manusia. Otak pengetahuan kita mengetahui apa itu Salah dan apa itu Benar. Namun hal itu tidak cukup untuk membuat manusia melakukan hal yang Benar dan menolak melakukan hal yang Salah. “Evolusi berjalan amat lambat. Mungkin sejuta tahun lagi baru pengetahuan di otak kita bisa mengendalikan insting kita,” ujarnya. Mungkin itulah yang terjadi pada diri kita dalam menghadapi perubahan iklim. Manusia terus saja melakukan hal yang dia ketahui merupakan hal yang salah. Pada akhirnya, kita jugalah katak dalam panci itu….–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 14 November 2018