ADAKAH pahlawan nasional yang memiliki sikap begitu kasmarannya bermatematika, berlogika, ketimbang Tan Malaka?
”…otak yang sudah dilatih oleh matematika lain sikapnya terhadap sesuatu persoalan daripada otak mentah,” demikian Tan Malaka bertutur di Madilog. Tan menekankan bahwa bermatematika tak saja berguna meniti karier dan mengejar gaji, tetapi bermatematika akan mengembangkan kecakapan hidup seseorang, khususnya mengembangkan kemampuan berpikir.
Di kalimat sebelumnya Tan menuturkan, walau bidang pekerjaan seseorang tak berkait langsung dengan matematika, tetap akan terbantu jika nalarnya pernah dilatih lewat pengalaman bermatematika. Tentu saja pandangan Tan pada pendidikan matematika ini relevan sampai hari ini. Pernyataan ini mengirimkan pesan tentang guna bermatematika. Apakah anak-anak kita hari ini memahami guna matematika untuk mengembangkan kecakapan berpikir sama seperti Tan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di bagian lain Tan bertutur, ”Tetapi dalam perasaan kekurangan benda itu penulis banyak mendapatkan benda pada ilmu tak berbenda, pada matematika ini.” Dengan itu Tan mengungkapkan hasil renungan hubungan pribadinya dengan matematika. Sebuah ironi: saat kekurangan materi, Tan justru menemukan kepuasan dalam ilmu tak bermateri, yakni matematika.
Sebuah oase
Kegiatan bermatematika bagi Tan adalah sebuah oase menyejukkan jiwa, sangat jauh dari sebuah beban. Bahkan, gangguan kesehatan dan kesulitan hidup yang dialaminya dirasa sirna saat bermatematika. Tan mengirimkan pesan betapa asyik bermate- matika. Apakah perasaan anak- anak kita saat bermatematika hari ini sama asyik seperti Tan?
Tan asyik bernalar dan menikmati proses berdialog dengan pemikirannya. Pengalaman bermatematika yang dilalui membuat dirinya menikmati menyibak alam pikiran. Terlebih, selain nalarnya sibuk memahami gagasan orang lain, yang lebih utama, Tan gigih menjelajah dan membangun pemikiran sendiri.
Bapak Bangsa ini asyik bertualang dalam semesta penalarannya karena demikianlah sejatinya: pemahaman berbeda dengan pengetahuan. Jika pengetahuan diserap dari luar masuk ke dalam benak; pemahaman justru dirumuskan dari dalam benak, disampaikan ke luar. Betapa beruntung republik ini punya Bapak Bangsa seperti Tan Malaka yang menghargai bermatematika, berlogika, dan bernalar.
Namun, hari ini ceritanya sangat berbeda. Orang, bahkan pejabat, sekarang justru kerap berkata, walau dulu tak pandai matematika, toh ia dapat punya kedudukan penting, perusahaan, uang banyak; dan berhasil jadi pejabat. Biasanya kemudian pendengarnya ikut mengamini dan bersama tertawa terbahak-bahak. Yang sangat menggetirkan jika ucapan ini diutarakan di depan para pelajar dan pelajar tertawa saat mendengarnya. Di masyarakat yang amat mengagungkan penguasa, ucapan ini akan menorehkan guratan dalam dan membekas di benak pelajar.
Tak cakap bermatematika bukan lelucon yang pantas jadi bahan tawa. Sudah lebih satu deka- de anak Indonesia di urutan nyaris terbawah dalam tes matemati- ka internasional, seperti TIMSS dan PISA. Padahal, di hidup sekarang, tak cakap bermatematika sama dengan buta huruf.
Hampir mustahil mempelajari keilmuan apa saja di era sekarang jika tak cakap bermatematika. Kenyataannya, saat orang dapat marah jika dikatakan tak mampu membaca, justru orang dapat tertawa jika dikatakan tak menguasai matematika. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan Tan Malaka yang gigih bernalar menggunakan logika dan pengalaman dalam bermatematika untuk mendasari pemikirannya.
Teguhnya Tan bernalar disiratkan lugas dalam tulisannya. Kesadarannya dan juga keberanian-
nya ”merdeka 100 persen” tentunya hasil proses bernalar. Jika Freire mengatakan bahwa proses penyadaran butuh sekaligus kesempatan dialog dan menindak, Tan menjalani keduanya. Pendidikan formal, budaya intelektual Minangkabau, dan lingkungan saat itu membekas saat membangun keyakinannya dalam berpikir melalui iklim dialogis.
Tentu semua Ibu dan Bapak Bangsa menyadari hak diri dan bangsanya merdeka konsekuensi logis pendidikan yang ia jalani. Pertanyaan pengandaian yang logis sekarang adalah: ”Seandainya dididik dalam sistem pendidikan serta kurikulum seperti sekarang ini, apakah mereka akan menyadari haknya memerdekakan diri serta bangsanya? Atau mereka justru akan menerima dan mensyukuri keadaan tertindas sebagai manusia yang patuh?”
Gairah merdeka
Sistem dan iklim pendidikan perlu menyediakan dua peluang bagi pelajar dan gurunya: berdi- alog dan menindaki pemikirannya. Hanya dengan pendidikan seperti itu, setiap warga akan me- nyadari diri dan menyala gairah- nya untuk merdeka. Sebuah republik hanya dapat dirawat jika warganya bergairah merdeka bernalar. Tantangannya sekarang adalah membuat strategi guna merawat kasmaran bernalar dalam jiwa pelajar dan guru.
Untuk itu, pembenahan program pendidikan keguruan dan penyediaan forum berlatih guru berbasis internet mungkin satu- satunya peluang Indonesia merawat republik ini. Hanya dengan memanfaatkan teknologi abad ke-21, kendala dana serta kondisi geografis Nusantara tak memengaruhi upaya merawat guru, pelajar, dan semua warga dalam kasmaran bernalar. Ini upaya paling masuk akal memijah kasma-
ran Tan bermatematika di abad ke-21.
Sementara itu, kita semua harus terus menyebarkan gelora kasmaran belajar semua keilmuan, termasuk matematika. Bela- jar itu nikmat dan hak hakiki setiap putri-putra bangsa.
Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB
Sumber: Kompas, 10 Februari 2014