Kasmaran pada Lingkungan

- Editor

Kamis, 17 Januari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Salah satu pemancar televisi swasta pada 4 November 2018 pukul 04.00 menayangkan pancaran segar.

Saya yakin tujuannya adalah memperkenalkan lingkungan dan mengajak kita ikut merawatnya.

Lingkungan fisik kemanusiaan dan hunian manusia, apakah itu berwujud hutan belantara bertaburkan sistem ketat ekologi lingkungan, tumpukan menggunung batu karang, padas, cangkang binatang laut purba, biasanya penuh kapur hasil proses jutaan tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Proses evolusioner itu sukar dibalikkan, tetapi rentan perusakan tangan manusia dalam sekejap. Lingkungan biota dan ekologis kita sudah berada di tebing jurang menganga yang menyimpan sejarah kehancuran. Banyak lingkungan biota menghadapi ancaman, sebagian karena kerakusan atau ketamakan kita kepada alam.

Kehidupan sosial di Bandung yang hendak membentuk lingkungan tujuan wisata beruntung karena ada warga bernama Bachtiar. Dia dengan gigih selalu berkehendak menyelamatkan Goa Pawon di Kawasan Citatah. Kawasan itu membentang dari daerah Tago Apu, Padalarang, hingga Rajamandala.

Keinginan menyelamatkan (lihat buku yang ditulis bersama Budi Brahmantyo, Amanat Gua Pawon, 2004) merupakan antologi menarik dan sahih keberadaan gerbang wilayah Bandung dan yang melahirkan tata kota Bandung.

Penyelamatan Goa Pawon tidak hanya menghidupkan wilayah kewisataan (yang sekarang digalakkan) . Namun, lebih dari itu, menghidupkan wisata kebumian yang bisa menerangkan sejarah terbentuknya danau besar yang menjadi kota Bandung dan sekitarnya.

Penemuan tengkorak dan kerangka hampir utuh Homo sapiens di wilayah tersebut membentangkan tabir sejarah kehidupan dan evolusinya yang membantu kita memahami Trinil (di Jawa Tengah), yang melukiskan kehidupan purba di wilayah Bengawan Solo.

Tentu saja konservasi wilayah itu tidak hanya untuk kesenangan geologiwan, tetapi juga bisa ikut membentangkan vista kehadiran Bandung: metropolitan kebanggaan Indonesia. Usaha Taufik Bachtiar dan kawan-kawan tidak hanya perlu kita acungi jempol , tetapi juga memerlukan kesiapan cancut taliwondo untuk mewujudkan Bandung sebagai daerah tujuan wisata ramah lingkungan.

Sadar lingkungan fisik
Senyatanya daerah wisata tidak hanya berisi kawasan kuliner, tetapi lebih indah dan bermakna lagi kalau dapat mengemukakan kesejarahan dan keilmiahan satu pedepokan. Sebagai usaha deterministik buat pendidikan umum, langkah kita adalah membuat generasi muda kita sadar lingkungan fisik.

Di tengah gemuruhnya pembentukan wilayah tujuan wisata, yang tentu saja baik karena membangkitkan kehidupan ekonomi-sosial masa kini, terbetik berita bahwa manusia memusnahkan 60 persen populasi fauna, bahkan beberapa kemusnahan jenis orangutan.

Pertarungan antara penduduk dan gajah di Sumatera bukan suatu kabar biasa , melainkan berita yang pada latar belakangnya berupa dekor perebutan wilayah kehidupan. Tentu saja pemerintah dan kita tidak hanya ingin membantu berkembangnya kehidupan satwa liar, tetapi yang harus kita bina dan adakan ialah pembagian wilayah adil agar manusia modern pun dapat hidup nyaman.

Kompas (29 November 2018) menurunkan berita yang harus dihidupi. Dalam kerangka penyelamatan hayat akibat bencana tsunami, Kompas menuturkan pengetahuan lokal sangat diperlukan (Kompas, 9 Januari 2019). Berjudul ”Warga Harus Bantu Memetakan Kawasan”, yang tersirat sebenarnya ialah warga harus mengetahui fisik wilayahnya luar dalam. Pengetahuan ini tidak dimiliki seketika, tetapi melalui proses penanaman dan pemijahan pengertian soal ekologi lingkungan dan ekologi flora dan faunanya.

Kita sedang direngkuh ideologi kemandirian (Kompas, 7 Desember 2018) ketika Akh Muzaki dengan runtut dan kena menuturkan ”strategi kebudayaan”-nya. Keadaban publik diharapkan menjadi infrastruktur sosial. Seterusnya dia juga meminta agar strategi kebudayaan, seperti yang diwariskan oleh kebijakan nenek moyang, akan mampu memberi makna pembebasan dari cengkeraman jiwa ketidaktahuan. Inilah tanggung jawab penekan pundak cendekia untuk mengajak lingkungannya sadar lingkungan.

Dampak kebahayaan ini tidak hanya menubruk dan menerjang kehidupan sewaktu berlangsung bencana alam, tetapi secara perlahan mengikis kenikmatan hidup damai warga suatu wilayah.

Lapisan angkasa kita, atmosfer, yang dahulu kita anggap sebagai selimut pelindung Bumi dan kemanusiaan tidak lagi harus kita pandang sebagai entitas yang tidak berubah. Semburan cahaya Matahari dapat mengubahnya jika terjadi pancaran partikel yang dapat mengubah sumber kehidupan kita.

Dengan perkataan lain, perubahan harus kita ikuti arahnya agar kita dapat mempersiapkan diri jika sesuatu terjadi—pengetahuan mengenainya tidak dapat kita kesampingkan—lebih lagi pendidikan yang menaut dengan peristiwa alam.

Almarhum Jacub Rais (dari Geodesi) dan kawan-kawannya (Menata Ruang Laut Terpadu, 2004) berpesan perlunya upaya interaktif pengamatan terpadu ruang darat dan laut, melalui telaah angkasa, aliran sungai, dan kehidupan di pesisir.

Indah, tetapi rentan
Sambil mengingat lingkungan kita yang indah, tetapi rentan ancaman alam, penulis tergelitik membaca dua buah esai tentang bahaya terbesar yang mengancam kehidupan serba binatang liar dan spesies tetumbuhan yang terancam (Scientific American, 10 Januari 2019).

Dikemukakan di situ bahwa lingkungan kita selalu berubah ke arah situasi ekologis yang tak selalu menguntungkan tatanan sosial dan ekonomi kemanusiaan. Lebih lagi ialah memahami pandangan provokatif Schwarts (Scientific American, 1 Agustus 2018) yang menerangkan kita tidak perlu menyerah kepada laut kalau kita bisa mengetahui sifat-sifatnya.

Banyak penduduk tepian pantai sudah tahu dari kebijakan kuno bahwa mereka harus menyingkir dari tepian pantai dan membangun di zona aman di ketinggian. Sayangnya sejarah hunian pantai di tepian laut kita kini berubah.

Perizinan membangun hunian dan pedepokan wisatawan dan falsafah keamanan terhadap ancaman alam masih bergerak menurut naluri kebenarannya sendiri, belum terpadu atas dasar data yang sahih.

Kembali kepada keinginan Bachtiar ialah betapa perlunya kita memperhatikan pendidikan lingkungan yang tidak harus menjadi hafalan semata, tetapi juga merengkuhnya sebagai falsafah dan ajar kehidupan.–BAMBANG HIDAYAT

Sumber: Kompas, 17 Januari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB