Jam di ruang makan Kapal Riset Baruna Jaya I baru menunjukkan pukul 02.00, Sabtu, tiga hari setelah perayaan Tahun Baru 2015. Meski ombak tinggi Laut Jawa menggoyang kapal serta diterpa hujan deras dan angin kencang, sejumlah teknisi dan peneliti bersiap menurunkan multibeam echosounder, peralatan pendeteksi perbedaan kedalaman laut.
Misi pencarian bangkai pesawat AirAsia QZ 8501 dengan nomor registrasi PK-AXC oleh kapal milik Balai Teknologi Survei Kelautan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), itu pun dimulai kembali.
Pencarian sebenarnya sudah dimulai dua hari sebelumnya, tepat lima hari setelah pesawat hilang kontak. Namun, ancaman badai dan ombak setinggi 4-5 meter di Laut Jawa membuat kapal harus berlindung di Teluk Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat itu, lokasi pencarian berjarak 690 kilometer timur laut Jakarta atau 150 kilometer barat daya Pangkalan Bun. Lokasi itu disurvei karena sebelumnya ditemukan satu jenazah terapung di permukaan laut. Karena itu, lokasi jatuhnya pesawat diduga tak terlalu jauh dari lokasi penemuan korban.
Dengan menggunakan peralatan keselamatan kerja lengkap berupa helm, pelampung kerja, dan sepatu karet, mereka bahu-membahu menurunkan multibeam echosounder. Kapal yang terus oleng dihantam ombak serta geladak kapal yang basah dan licin membuat risiko keselamatan kerja amat besar.
”Lengah sedikit, risikonya tercebur ke laut,” kata teknisi di dek utama Kapal Riset Baruna Jaya I (KR BJ I), Mochamad Djakfar yang akrab disapa Jack.
Jika dilihat dek KR BJ I yang tak diberi pagar, hanya diberi pembatas rantai, ancaman itu nyata. Beberapa bagian dek itu dibuat terbuka untuk memudahkan menurunkan peralatan survei saat dibutuhkan. Bahkan, bagian belakang dek nyaris tanpa pagar karena biasa dipakai untuk menurunkan peralatan berukuran besar, seperti buoy pendeteksi tsunami.
Setelah multibeam echosounder terpasang, kapal yang dinakhodai Kapten Ishak Ismail itu bergerak mengikuti jalur survei yang ditentukan. Panjang jalur survei bisa mencapai beberapa kilometer dan jarak antarjalurnya bervariasi 150-300 meter, tergantung dari kerapatan survei yang diinginkan.
Saat kapal memasuki jalur survei, para peneliti mulai fokus mengamati citra yang dikirimkan multibeam echosounder di komputer. Perlu ketelitian dan kecermatan tinggi agar tak ada dugaan obyek yang dicurigai sebagai bongkahan atau serpihan pesawat terlewatkan.
Jarak antarlintasan yang rapat itu membuat kapal harus bersiap agak jauh sebelum berpindah ke jalur lintasan baru. Gerak kapal yang bolak-balik mengikuti jalur survei itu disebut gerakan ”setrika”. Kecepatan kapal saat survei hanya 4 knot atau 7,5 kilometer per jam.
”Kecepatan kapal tak bisa terlalu tinggi saat survei karena akan membuat data yang diperoleh tak optimal,” kata Ketua Tim Pencarian Pesawat AirAsia QZ 8501 KR BJ I Rahadian.
Namun, pencarian seharian itu belum membuahkan hasil. Karena itu, Minggu (4/1), KR BJ I berpindah ke lokasi pencarian baru berjarak lebih dari 90 kilometer dari lokasi sebelumnya.
Itulah lokasi pencarian KR BJ I yang sesungguhnya sesuai rencana. Lokasi itu ditentukan berdasar pemodelan yang dilakukan Balai Pengkajian Dinamika Pantai BPPT Yogyakarta terhadap waktu hilang kontaknya pesawat serta memperhatikan arah dan kecepatan arus laut. Lokasi baru itu terentang dari sisi selatan Selat Karimata dan memanjang sejauh 45 kilometer ke arah tenggara di sisi barat laut Laut Jawa.
Penyisiran kembali dilakukan dari sisi timur lokasi baru. Kali ini, multibeam echosounder, sidescan sonar untuk mengetahui dimensi dan bentuk obyek di dasar laut, serta magnetometer pendeteksi benda logam diturunkan bersamaan.
Kesulitan utama pencarian adalah tak jelasnya lokasi jatuhnya pesawat di laut. Informasi yang dimiliki hanya waktu hilang kontaknya pesawat di ketinggian 32.000 kaki atau sekitar 10 kilometer ketika berada di sekitar Selat Karimata.
”Sejak hilang kontak itu, pesawat bisa bergerak ke berbagai arah dan menempuh jarak jauh,” kata salah satu peneliti, Anan Fauzi. Karena itu, penyisiran lokasi yang diduga tempat jatuhnya pesawat atau tempat bangkai pesawat di dasar laut berada harus dilakukan.
Kerja bersama
Sementara peneliti bekerja, para teknisi tetap harus siaga mengantisipasi adanya kendala alat. Demikian pula para kru yang menjalankan kapal dan mengurusi mesin kapal. Kerja tim penting dilakukan karena kendala di salah satu bagian akan membuat survei terganggu.
Penyisiran dilakukan selama 24 jam nonstop secara bergiliran. Setiap kelompok peneliti maupun teknisi mendapat tugas kerja delapan jam sehari yang terbagi dalam dua waktu kerja.
Meski sudah bekerja optimal selama tiga hari di lokasi itu, tim belum menemukan tanda-tanda ada obyek besar di dasar laut. Tim yang sudah seminggu melaut dan menghadapi ketidakpastian tinggi itu mulai dihinggapi rasa bosan. Selain ritme kerja monoton dan ruang gerak di kapal terbatas, tim terisolasi dari dunia luar, tanpa berita televisi, sinyal telepon, apalagi internet.
Satu-satunya hiburan saat bosan melanda adalah memutar film dari keping cakram video yang pilihannya juga tak banyak. Alhasil, film sama harus diputar berulang-ulang.
Pilihan lain adalah mengobrol dengan tim lain sambil menikmati semilir angin laut ditemani secangkir kopi. Itu hanya bisa dilakukan jika tak hujan dan tak ada angin kencang.
Selasa (6/1), tim mendapat informasi, Kapal MGS Survey berhasil menemukan obyek yang diduga ekor pesawat. Basarnas pun meminta KR BJ I merapat ke lokasi penemuan untuk membantu memastikan dugaan obyek itu. Namun, KR BJ I justru tak diperkenankan mendekat ke lokasi pencarian sehingga hanya bisa menunggu tanpa bisa melakukan apa pun.
Saat menunggu itu, Kapal Pelni lewat di dekat lokasi pencarian. Kapal yang dilengkapi pemancar sinyal telepon itu sontak membuat tim berbondong-bondong mendekati arah lintasan kapal untuk mencari sinyal telepon paling kuat. Meski keberadaan sinyal itu tak terlalu lama, itu cukup memuaskan anggota tim untuk sekadar berbagi kabar dengan keluarga.
Setelah sehari lebih menunggu izin untuk masuk ke lokasi penemuan ekor pesawat tanpa kejelasan, KR BJ I akhirnya memilih melanjutkan survei.
Saat itu, Basarnas memastikan ekor pesawat ditemukan. Karena itu, fokus pencarian tim di KR BJ I dipersempit, yaitu untuk menemukan lokasi kotak hitam atau badan pesawat lain.
Kabar menggembirakan datang pada Kamis (8/1). Tim berhasil menemukan obyek gundukan terbuat dari logam. Untuk memastikan, citra visual dugaan obyek itu perlu diambil menggunakan remotely operated vehicle (ROV), sejenis drone yang digunakan di dalam laut dilengkapi kamera bawah laut.
Penggunaan ROV sempat beberapa kali gagal. Salah satu pemicu adalah kuatnya arus laut. ”Arus terlalu kuat membuat ROV sulit dalam kondisi stabil di dasar laut,” kata Abubakar Djau, supervisor ROV dari PT Patra Dinamika, rekanan BPPT.
Dengan ROV itu, terlihat jelas dasar Laut Jawa yang memiliki kedalaman sekitar 30 meter. Karakter dasar Laut Jawa umumnya datar, tak banyak karang, serta dasarnya berupa lumpur dan pasir. Kondisi itu membuat jarak pandang atau visibilitas di dalam laut tak baik.
Meski penggunaan ROV itu belum berhasil membuktikan adanya badan pesawat, tim KR BJ I terus berusaha. Sabtu (10/1), tim menggunakan pinger locater frekuensi tunggal 37,5 kHz untuk mendeteksi posisi kotak hitam. Hasilnya, sinyal ping kotak hitam tertangkap dan koordinat posisi kotak hitam berhasil ditentukan dan dilaporkan ke Basarnas.
Namun, saat akan memastikan keberadaan kotak hitam itu dengan ROV, tim hanya punya waktu setengah jam karena penyelam dari kapal lain akan diturunkan untuk mengambil kotak hitam menggunakan ping locater yang dipinjam dari KR BJ I. Dengan waktu singkat itu, tentu sulit memastikan keberadaan obyek di dasar laut.
Meski kecewa, tim bangga bisa berkontribusi besar dalam misi kemanusiaan pencarian pesawat AirAsia QZ 8501 walaupun peran mereka kerap diabaikan.
Oleh: M Zaid Wahyudi
Sumber: Kompas, 18 Januari 2015