Aviani Malik, penyiar di Metro TV, berkomentar tentang kampanye partai politik yang bernada datar dan tanpa gereget yang bisa mengangkat harkat.
Walaupun ditingkahi nyanyian dan tarian, kemiskinan liberatif dan ajakan membangun budaya abad ke-21 tetap terasa. Padahal, negara sedang dirundung berbagai kemalangan yang tanpa kecerdasan politik dan wawasan pengetahuan dan teknologi akan terseret masuk negara gagal.
Sepinya kampanye berencana aksi masih terasa. Beberapa artikel di Kompas muncul dengan tuntutan memperbaiki cara kampanye agar ikut mendidik warga Indonesia paham program bernegara (Daoed Joesoef, 5/5/2014; Ikrar Nusa Bakti, 5/4/2014). Kedua ilmuwan itu menginginkan pemilih, apalagi pengumbar janji, lebih cerdas dan bernalar memetakan agenda pembangunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Daoed Yoesoef malah mengajak kita semua memunggah mutu pendidikan. Agenda pendidikan bukan upaya dadakan, tetapi program berencana dan bersangkakala. Konteks rencana dan program itu perlu menekankan pematangan persiapan yang beralaskan pengetahuan bertaut dengan sistem sosial, kemajuan zaman, dan data.
Basis pengetahuan
Metodologi ilmu pengetahuan, yang berasas pengamatan dalam sosio-ekonomi-budaya, tidak bisa dilepaskan dari metrik sosiologi kurun waktu. Hal itu dapat merupakan kartu pemenang bagi perancang masa depan.
Pengangkatan derajat kelompok kurang beruntung, sebagai contoh, tampak sederhana tetapi tidak lepas dari kaidah ilmiah pembukaan lapangan kerja. Itu sebabnya program pembangunan milenium PBB tidak hanya menghapus kemiskinan, tetapi juga menghalau kelaparan dan berbagai penyakit endemik dan jenis baru. Langkah pemerintah melindungi warga Indonesia dari MERS, jenis penyakit baru, patut dihargai tetapi telaah musabab penyakit tersebut harus menjadi porsi ilmu pengetahuan.
Masalah lingkungan yang rawan tidak dapat ditangani hanya dengan pengaturan alih daya guna lahan dan hutan. Kepekaan etika ekologi diperlukan sebab masalah intinya tidak terletak dalam ranah ekonomi transaksional. Pengubahan tata guna lahan dewasa ini mengusik nurani karena pembangunan seolah tereduksi menjadi ekonomi pemilikan tanah saja.
Kenyataan ini perlu dilihat dengan kewaspadaan karena mengancam kekayaan keanekaan hayati dan keinginan negara untuk menyumbang kesejahteraan dan kenyamanan dunia, yang semua itu bergantung pada kiat kita mengelola hutan dan pesisir. Di situ tersimpan daya picu keilmuan untuk mengelola. Bahkan, permodelan ekonomi terbaru pun tidak lepas dari pengetahuan mengenai parameter ubahan iklim. Nature, 14 Mei 2014, mewanti agar tidak menyepelekan CO2, salah satu faktor perubahan iklim, karena semburan molekul tersebut ke atmosfer telah mengganggu keseimbangan elemen atmosfer lain.
Peserta kontes kepemimpinan nasional punya kesempatan luas untuk mengeruk permasalahan alam Indonesia yang dapat disajikan sebagai programa masa depan. Ini dapat memoles citra pembaharuannya, idiil, dan praktis, terutama untuk memperoleh tempat dan kepercayaan dalam pikiran dan hati publik. Pemunculan butir programatik memang harus dirancang dan ditelaah secara saksama atas dasar kebijakan berlandas ilmu pengetahuan. Kesempatan itu tak mampir ke tangan, tetapi harus diraup dan disaut dari hamparan masyarakat yang dinamik berkultur jamak. Pemilihan tematik itu, umpama, lenyapnya spesies tertentu sampai kepada salah mongso-nya El Nino, masih harus diikuti pengumpulan data, tidak cukup hanya dengan eufemisme keunggulan demografik. Tabir data akan terbuka dengan pikiran jernih, waktu, tenaga, dan dana.
Segmen konstruktif masyarakat, perguruan tinggi, sektor pendidikan formal dan nirformal, pegiat penelitian ilmiah memerlukan dan menunggu elite politik bersikap bersahabat dengan masa depan di luar rentang 5 tahun, selang waktu antarpemilu.
Kualitas manusia
Betapa pentingnya kualitas manusia dalam pembangunan sudah sering dipaparkan di harian ini. Hendra Gunawan (Kompas, 20/5/2014) mengajak mengintip masa depan kekuatan daya pikir manusia kita.
Warna yang diperoleh memang tidak terlalu cemerlang, tetapi para calon pemimpin bangsa tentunya bisa memberi imbuhan bumbu untuk mengangkat kualitas manusia Indonesia melalui program kampanye yang realistis. Dengan imbuhan dana dan ubahan parameter keberhasilan yang terukur, kampanye akan lebih bermutu.
Pembangunan sumber daya manusia yang menggugah bukan hal sederhana. Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang (Science, 11 April 2014) mencontohkan pemahamannya melalui cita rasa kognitif dan afektif untuk mempercepat pendidikan anak pedesaan di Tiongkok. Ia membantu mereka memasuki universitas ternama. Pendekatan seperti ini tak salah diterapkan, tentu disesuaikan kepentingan program pembangunan manusia kita.
Kenyataannya, walau tidak seluruhnya keliru, yang terjadi masih terbatas pada pembentukan koalisi antarsahabat seperjalanan. Itu sah karena memang persekutuan seiring harus mengajak bersama menapak lintasan menuju cita konstruktif: bisa saling mengisi program, memperbaiki tujuan yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat banyak.
Namun, melihat kejadian belakangan ini, timbul rasa heran karena itu semua lepas dari kenyataan. Opsinya terlukis hanya keinginan bersama dalam tenggang waktu antarpemilu. Rangsangan pikiran yang ada seolah hanya bergelut dengan konsep sosial sesaat tanpa memperhatikan titik besar yang bernama tujuan kenegaraan.
Agenda besar bangsa melingkupi pendidikan karena hasil pendidikan itulah yang kelak akan menanggung beban hidup dalam milenium ketiga ini. Mereka itu calon warga bangsa yang harus dibekali dengan pemikiran kritis menanya, menimbang, dan membandingkan, tetapi pendidikan juga pilar untuk membebaskan diri dari ketakutan, trauma kegagalan, serta ancaman.
Tarli Nugroho (Mei 2014), peneliti dari lembaga Mubyarto di Yogyakarta, menulis esai mengenai pendidikan sebagai strategi kebudayaan. Dia mencontohkan dalam proses pendidikan itu terkandung pilar kebangsaan dan kebudayaan, bahkan konstitutif bagi kebudayaan.
Bambang Hidayat, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sumber: Kompas, 7 Juni 2014