Dalam 50 tahun terakhir, jumlah perairan terbuka yang tanpa oksigen berlipat empat kali. Ini merupakan salah satu dampak dari kerusakan lingkungan. Ini bisa menjadi bencana besar karena laut merupakan sumber pangan.
Perubahan iklim dan pencemaran yang kian masif menyebabkan meluasnya zona laut mati di dunia, yaitu kondisi perairan tanpa oksigen sehingga kehilangan organisme hidup. Merosotnya kadar oksigen diindikasikan mulai terjadi di perairan Indonesia, terutama di perairan pesisir yang dekat perkotaan.
Kajian yang dipublikasikan tim peneliti dari Global Ocean Oxygen Network, yaitu kelompok kerja yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Komisi Kelautan, di jurnal Science pada 4 Januari 2018, menyebutkan, dalam 50 tahun terakhir, jumlah perairan terbuka yang tanpa oksigen telah berlipat empat kali. Sementara di kawasan pesisir, luas zona perairan minim oksigen berlipat 10 kali sejak tahun 1950-an.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Oksigen merupakan bagian penting kehidupan di laut,” kata Denise Breitburg, ketua tim peneliti yang juga ahli ekologi kelautan dari Smithsonian Environmental Research Center, dalam siaran pers.
”Penurunan oksigen di laut merupakan salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia,” katanya.
Area lautan terbuka yang mengalami penurunan kadar oksigen hingga mendekati 2 miligram (mg) per liter di antaranya Teluk Meksiko, Teluk Benggala, Teluk Oman hingga Laut Arab, Laut Atlantik selatan dan Pasifik di utara Papua. Adapun pesisir yang mengalami penyusutan kadar oksigen berada di hampir semua perairan yang dekat dengan perkotaan.
Di perairan yang mengalami kadar oksigen sangat rendah sehingga dikenal sebagai dead zones, seperti Teluk Chesapeake, Virginia, Amerika Serikat, dan Teluk Meksiko, kadar oksigennya menyebabkan organisme tidak bisa lagi hidup. Penurunan kadar oksigen dalam skala kecil juga berdampak terhadap pertumbuhan binatang, mengacaukan reproduksi, dan pada akhirnya memicu banyak penyakit atau kematian.
Dalam kajian ini disebutkan, perubahan iklim menjadi penyebab utama terjadinya penurunan kadar oksigen di lautan terbuka. Memanasnya permukaan laut menyebabkan oksigen sulit masuk ke laut lebih dalam. Oleh karena itu, seiring dengan pemanasan permukaan air, kadar oksigen lautan secara global juga menurun.
Sementara itu, penurunan oksigen di perairan pesisir terutama dipicu oleh pencemaran limbah organik, baik dari rumah tangga maupun kegiatan pertanian. Hal ini memicu suburnya pertumbuhan ganggang dan ketika mati dan membusuk menyebabkan terkurasnya oksigen di air. Oksigen ini dibutuhkan mikroba untuk mengurai ganggang tersebut.
Kondisi di Indonesia
Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo Pranowo mengatakan, dari survei yang dilakukannya maupun data-data yang dikumpulkan dari penelitian instansi yang lain, kondisi zona laut mati karena kekurangan oksigen belum ditemukan di perairan terbuka di Indonesia. Data ini juga sejalan dengan kajian tim Global Ocean Oxygen Network.
”Misalnya, pengukuran lab kami di perairan Biak, Papua, pada Agustus 2016, suhu muka laut berkisar 29-31 derajat celsius, tetapi oksigen masih tinggi, yakni 6-8 miligram per liter,” kata Widodo.
Kadar oksigen terlarut disebut rendah, sesuai ambang baku mutu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jika di bawah 4 mg per liter. Kadar oksigen terlarut dalam suatu perairan diperlukan oleh organisme untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik.
Meski demikian, menurut Widodo, beberapa perairan Indonesia yang tertutup atau semi-tertutup, seperti kawasan teluk dan kawasan pesisir, banyak yang sudah mengalami penurunan kadar oksigen hingga level di bawah ambang baku. Misalnya, kajian yang dilakukan Emmy Woelansari dari Jurusan Oseanografi Universitas Hang Tuah, Kepulauan Riau (2017), menemukan, kadar oksigen terlarut di pantai timur Surabaya pada level terendah mencapai 2,5 mg per liter.
Adapun Etty Riani dari Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor mengemukakan, secara nasional terjadi tren penurunan kadar oksigen terlarut, terutama di pesisir perkotaan.
”Situasi kadar oksigen terlarut memang dinamis, tetapi pernah saya mengukur di Teluk Jakarta sampai nol kadarnya. Ini berbarengan dengan kematian massal ikan di perairan ini,” kata nya.
Jika tidak diantisipasi, menurut Etty, penurunan kadar oksigen terlarut di laut ini bisa menjadi bencana besar ke depan. Hal ini karena laut yang menjadi sumber pangan kehilangan sumber dayanya. (AIK)
Sumber: Kompas, 10 Januari 2018