Jiwa dan Otak

- Editor

Kamis, 18 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

HARIAN Kompas pada tanggal 18 September 1994 (hal 11) menyinggung masalah penelitian otak, dan pada minggu berikutnya (25 September) memperkenalkan ahli fllsafat besar Sir Karl Popper. Barangkali dalam rangkaian ini, dan dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa sedunia yang biasanya diperingati pada tanggal 9 Oktober, serta masih berlangsungnya dekade otak (1990-1999) ada baiknya membicarakan masalah jiwa dan otak.

Hubungan antara jiwa dan otak tidak dapat didekati dengan cara ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi buntu ketika masalah ini muncul. Pendekatan masalah ini haruslah didekati dengan pendekatan filsafat.

Para ahli sebenarnya cenderung manjauhi diskusi masalah ini, karena hal ini merupakan masalah rumit, di mana perdebatan telah berlangsung sepanjang masa. Dalam garis besarnya ada tiga golongan ahli yang mengemukakan pandangan bahwa sebenarnya tak ada jiwa, yang ada adalah otak. Otaklah segala-galanya, di luar itu hanya khayalan saja. Materi adalah kebenaran, idea adalah khayalan. Pengikut paham ini adalah golongan materialis-kapitalis dan juga golongan materialis-Marxis dan di alam bidang kedokteran jiwa, maka Sigmund Freud dapat dimasukkan ke dalam golongan materialis dialektis ini. Pada umumnya mereka berpikir secara vertikal dan sistematik, sehingga sesuatu yang belum diketahuinya dikatakan tidak ada.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Golongan kedua adalah golongan yang menganggap yang ada hanyalah jiwa, sedangkan tubuh dan otak hanya alat semata dari jiwa itu. Jiwa adalah segala-galanya, dan materi hanya alat yang tak berguna, seperti komputer yang tak berguna bila tak ada orang yang menjalankan. Tesis mereka, kemauan bebas (free will), tidak mungkin datangnya dari alat yang tak berguna. Psikiater Jung yang meninggalkan gurunya Sigmund Freud adalah termasuk orang yang meyakini masalah ini.

Pada prakteknya banyak orang yang menganggap pendekatan ini adalah suatu aksioma kebenaran, bahwa jiwa lebih menentukan daripada otak dan mereka sangat tidak setuju pada golongan pertama yang materialistis. Akan tetapi pemikiran mereka sebenarnya sama saja yaitu berpikir vertikal, logika sederhana: bila tidak A maka tentu B. Bila tidak salah maka tentu benar. Bila tidak ya tentu tidak. Tidak ada alternatif.

Golongan ketiga adalah golongan dualisme, yang menganggap materi (otak) sama pentingnya dengan idea (jiwa). Golongan ini terbagi pula dalam dualisme unitarisme yaitu yang menganggap kerja otak, misalnya aktivitas neuronal pada sinaptik, dan keadaan kesadaran adalah dua keadaan yang sama yang dilihat dari sudut berbeda. Pada kerja otak dilihat oleh orang lain, tapi oleh individu sendiri akan dirasakan sebagai suatu kesadaran. Dalam hal ini maka jiwa sendiri direduksi menjadi kerja dari sel-sel neuron otak. Sebagian lagi dari pengikut dualisme, dinamakan dualisme interaksionis. Mereka melihat jiwa dan otak sebagai bagian yang terpisah, akan tetapi pada otak ada suatu organ yang berfungsi sebagai komunikator dengan jiwa. Sebaliknya dalam jiwa ada fungsi-fungsi tertentu seperti persepsi, emosi, berpikir yang dapat berkomunikasi dengan materi.

Pandangan Karl Popper
Dalam harian Kompas 25 September 1994 disebutkan, pemikiran Sir Karl Popper pada tahun 1960-70-an tenggelam di dalam pemikiran Freud dan pemikiran materialis-Marxis. Akan tetapi ternyata pada tahun 1990-an, berbagai pemikiran Sir Karl Popper mendekati kebenaran. Salah satu ramalannya adalah kejatuhan negara-negara komunis di Eropa Timur.

Secara garis besar pemikiran Karl Popper, mengenai otak dan jiwa dapat digambarkan sebagai berikut. Di dalam tubuh manusia ada materi yang di dalamnya ada otak dengan segala keaktifannya. Dunia itu dinamakan dunia pertama, yaitu dunia fisik dan materi. Di samping itu ada dunia kedua yang dinamakan kesadaran subyektif. Dunia kedua ini dapat dibagi lagi menjadi sistem sensing pertama yaitu panca indra, dan sistem sensing kedua yang terdiri dari pemikiran, perasaan, khayalan, motif, dan ingatan. Di dalamnya lagi terletak yang dinamakannya pure-ego atau soul. atau rohani.

Jelas Karl Popper membedakan antara jiwa (mind) dan rohani (soul). Jiwa dalam arti mind, berinteraksi dengan otak (brain) dalam suatu interaksi brain-mind-interaction. Jiwa dalam arti rohani, tersimpan di dalam, dia hanya bisa berinteraksi dengan mind yaitu pada sensing pertama dan sensing kedua.

Penelitian lebih langut menunjukkan hubungan otak dan jiwa dilakukan hanya pada belahan otak yang dominan (dominant hemisphere), sedangkan minor hemisphere selalu dalam keadaan tidak sadar dari segi jiwa. Penelitian yang dilakukan Sperry yang memenangkan hadiah Nobel 1991, menunjukkan peranan penting belahan-belahan otak (lihat Kompas Minggu 18 September hal 11). Fungsi dominant hemisphere adalah untuk proses verbal, ideasional analitikal, sekuensial dan aritmatikal. Sedang fungsi nondominan (minor) hemisphere untuk nonverbal, musikal, piktorial (gambar), holistik, geometrik dan spatial (ruang). Hubungan antara otak dengan jiwa selalu dari bagian dominant hemiphere, melalui proses linguistik ideasional.

Akan tetapi walaupun demikian, pemikiran Karl Popper dan juga Eccels, masih meninggalkan misteri yang belum terpecahkan. Misalnya apakah jiwa dengan demikian melayang-layang berinteraksi dengan neuronal, ataukah bentuk jiwa itu suatu medan elektromagnetik yang mempunyai tenaga untuk menggerakkan sistem neuronal. Sampai akhir hayatnya Karl Popper tidak menjawab masalah itu dan hal itu diserahkan ada bidang lain untuk menekuninya.

Implikasi
Dalam hal ini pemikiran Karl Popper sangat tepat, bahwa bila berbicara tentang jiwa maka haruslah dijelaskan dan dibedakan antara jiwa dalam arti mind, dan jiwa dalam arti rohani atau soul. Jiwa dalam arti rohani (soul), sampai saat ini ilmu pengetahuan tidak mengetahuinya. Pengetahuan tentang ini hanya mungkin didekati dari segi agama, dan sulit didekati dari segi ilmu pengetahuan manusia.

Sebaliknya ada beberapa gangguan jiwa, sebenarnya hanyalah gangguan dari sistem neuronal. Dapat diambil sebagai contoh misalnya halusinasi dapat dibuat secara eksperimental dengan cara memberikan zat-zat yang merangsang dopamin di otak. Peningkatan noradrenalin atau prolaktin di otak dapat menimbulkan kecemasan dan kegelisahan. Sedangkan depresi dapat dilakukan dengan memberikan zat- zat yang menyebabkan gangguan pada serotonin.

Implikasi dari ini adalah bahwa berbagai gangguan yang dikatakan gangguan jiwa, sebenarnya hanyalah gangguan neuronal dan neurotransmiter di otak. Halusinasi dapat dihilangkan dengan obat yang dapat memblok dopamin seperti thioridazin dan haloperidol, dan depresi dapat diatasi oleh zat yang dapat meningkatkan serotonin seperti sertralin.

Yul Iskandar, psikiater dan sekretaris Kelompok Studi Psikiatri Biologik Jakarta

Sumber: Kompas, tanpa diketahui tanggal terbit

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 37 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB