CATATAN IPTEK
Kabut asap dari kebakaran hutan telah menyelimuti Sumatera dan Kalimantan, bahkan menyeberang hingga negara tetangga. Selain menghancurkan kekayaan hayati, kebakaran ini mengganggu perekonomian, pendidikan, mengancam kesehatan jutaan orang, bahkan menelan korban jiwa.
Kajian Miriam E. Marlier dari Universitas Columbia, Amerika Serikat dan tim dalam jurnal GeoHealth yang terbit Juli 2019 lalu, paparan asap dari kebakaran hutan di kawasan Asia Tenggara dapat menyebabkan 36.000 kematian prematur per tahun di seluruh Indonesia, Singapura dan Malaysia selama beberapa dekade mendatang.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Kabut asap pekat menyelimuti ruas Jalan Ahmad Yani di samping Bandar Udara Syamsudin Noor Banjarmasin di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (11/9/2019) pagi.–KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tragedi ini sebenarnya bukan hal baru, namun tak juga teratasi, bahkan cenderung kian parah. Arsip berita Kompas edisi 2 November 1967 menyebutkan, kabut asap akibat kebakaran hutan menggelapkan Kota Palembang dan menghentikan lalu lintas di Sungai Musi.
Setidaknya terdapat 1.788 artikel di koran ini terkait dengan kebakaran hutan dan kabut asap sejak tahun 1967 hingga September 2019. Sejak awal, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera ini selalu dikaitkan dengan perusakan hutan dan pembukaan lahan.
Seiring dengan waktu, akar masalahnya menjadi lebih kompleks karena lahan yang dibuka semakin luas dan melibatkan perusahaan besar. Apalagi, sejak dua dekade belakangan terjadi pengeringan lahan gambut yang kemudian mengubah pola kebakaran.
Kajian Eko Yulianto, Hirakawa dan Tsuji (2004) merekam perubahan pola kebakaran ini. Dengan pendekatan paleoekologi yang merekam perubahan endapan karbon di lapisan tanah, Eko menemukan, kebakaran hutan di Kalimantan Tengah telah terjadi sejak fase awal pembetukan lahan gambut sekitar 10.000 tahun lalu. Selama ribuan tahun, pola kebakaran itu bersifat sporadis dan terlokalisasi.
Pola kebakaran menjadi masif dan merembet luas sejak tahun 1980-an dan memuncak pada tahun 1997/1998. Seluas 11,7 juta hektar hutan terbakar pada tahun 1997/1998 dan tercatat yang terbesar dalam sejarah.
Eko dkk menyimpulkan, kebakaran hebat di Kalimantan pada tahun itu dipicu Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar untuk pertanian. Lahan gambut yang ribuan tahun selalu basah diperas hingga kering melalui kanal-kanal. Seperti PLG di Kalimantan, pengeringan gambut di Sumatera, terutama untuk pembukaan perkebunan sawit.
ANTARA/RONY MUHARRMAN–Petugas Manggala Agni Daops Pekanbaru menyemprotkan air ke lahan gambut yang terbakar di Desa Karya Indah, Kabupaten Kampar, Riau, Rabu (3/4/2019). Satgas Karhutla Riau terus melakukan upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan agar bencana kabut asap dampak dari karhutla tidak terulang kembali di Provinsi Riau.
Pengeringan itu menjadi malapetaka besar bagi lahan gambut yang memiliki karakter seperti spon dengan ketebalan mencapai belasan hingga puluhan meter. Dengan karakter ini gambut bisa menyimpan banyak air, bahkan di musim kemarau lapisan terbawahnya tetap basah sehingga secara alami bisa mengendalikan api di permukan.
Namun begitu dikeringkan dan dibakar, upaya memadamkannya nyaris mustahil. Kecuali oleh hujan yang bisa membanjiri lapisan terbawah. Jika hanya disiram permukaannya, lapisan di bagian dalam masih bisa membara dan kembali menyala.
Sejak kebakaran masif pada 1997-1998, kebakaran hutan yang juga hebat terjadi pada tahun 2015. Luasan lahan yang terbakar menurut data Bank Dunia mencapai 2,6 juta ha dengan kerugian mencapai Rp 221 triliun. Padahal, dampak kesehatan jangka panjang jutaan warga yang terpapar belum diperhitungkan.
Seperti tahun-tahun yang lalu, kita sudah saling tahu bahwa terbakarnya hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera, khususnya di lahan gambut, adalah ulah manusia. Beberapa kebakaran memang membesar karena bersamaan dengan El Nino kuat, yaitu anomali iklim yang menyebabkan berkuranganya hujan di Indonesia, misalnya pada tahun 1997 dan 2015.
Namun, iklim hanya memperparah skala kebakaran, bukan akar pemicunya. Misalnya, El Nino parah pada tahun 1982 tidak terjadi kebakaran hutan sedahsyat 1997 dan 2015. Tahun ini, El Nino juga dalam kategori lemah.
Jelas bahwa, kejadian berulang ini jelas bukan bencana alam, apalagi musibah yang harus diterima dengan ikhlas, seperti dicuitkan salah satu pejabat tinggi negeri dalam akun resmi twitternya.
Kabut asap ini adalah wujud nyata kegagalan kita dalam mengelola alam. Upaya mengatasinya tidak bisa dengan pendekatan petugas pemadam kebakaran yang datang setelah api menyala, namun harus dari akar masalahnya, yaitu perbaikan tata kelola hutan dan lahan, terutama lahan gambut.–AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 18 September 2019