Banjir bandang yang menerjang Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (22/9), pekan lalu, makin meneguhkan dugaan yang sudah hampir menjadi kebenaran, bahwa telah terjadi krisis lingkungan hidup yang sangat parah di Pulau Jawa. Krisis lingkungan hidup ini cepat atau lambat—kalau tidak segera diatasi—bisa menyebabkan Pulau Jawa tenggelam.
Ini kejadian bukan yang pertama kali. Dalam sekitar 10 tahun belakangan ini, setiap tahun terjadi peristiwa berulang banjir bandang di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta di DAS Citarum di Jawa Barat. Tahun ini kejadian serupa menimpa DAS Cimanuk. Bukan tidak mungkin akan disusul lagi oleh DAS lain di Jawa.
Kejadian terus berulang tersebut oleh para pemerhati lingkungan hidup telah dikategorikan sebagai hancurnya ekosistem DAS utama di Jawa. Fakta ini telah dengan sangat kuat menunjukkan bahwa daya dukung dan daya tampung ekosistem Jawa sudah hancur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan kata lain, daya dukung dan daya tampung ekosistem Jawa sudah tidak mampu lagi menunjang pembangunan dan segala aktivitas utama di Jawa. Ini soal hukum alam: alam bereaksi secara alamiah sesuai dengan hukumnya ketika beban aktivitas di atas dan di dalamnya jauh melebihi daya dukung dan daya tampungnya.
Kehancuran ekosistem yang sedemikian dahsyat telah berulang menelan korban jiwa dan harta benda. Bukan hanya rumah penduduk yang diterjang, sawah dengan padinya yang menguning siap dipanen di sepanjang DAS utama penghasil beras di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat pun hancur diterjang banjir.
Hal ini telah dengan kasatmata membuktikan bahwa kita telah salah urus, salah kelola, dan salah dalam membangun Jawa. Jawa terlalu dipadati manusia dengan segala aktivitas pembangunan dalam skala masif tanpa memedulikan daya dukung dan daya tampungnya. Kita salah menganggap “membangun Indonesia sekan-akan hanya Jawa” atau memang karena itulah keistimewaan Jawa sebagai pusat pembangunan.
Gejala kehancuran daya dukung dan daya tampung Jawa juga bisa dibaca dari kehancuran infrastruktur pantai utara Jawa berupa kerusakan jalan pantura Jawa yang hampir terjadi tiap tahun. Hal itu dengan kasatmata menunjukkan bahwa jalan lintas utara Jawa terlalu berat dipadati lalu lintas transportasi—tak hanya manusia, tetapi khususnya ekonomi—melampaui daya dukung dan daya tampungnya. Sampai kapan pun terus diperbaiki, masalahnya tak akan dapat diatasi secara permanen. Sekali lagi, ini masalah hukum alam.
Pembangunan Indonesia sentris
Secara tidak langsung, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah punya solusi mendasar atas masalah lingkungan hidup Jawa dengan sejak awal kampanye menyodorkan salah satu Nawacita: membangun dari desa dan pinggiran. Jawa dalam teori ekonomi pembangunan dikategorikan sebagai sentral atau pusat dan bukan pinggiran.
Artinya, solusi atas krisis lingkungan hidup di Jawa dijawab Jokowi-Kalla dengan menggeser episentrum pembangunan Indonesia ke pinggiran, keluar Jawa. Dengan demikian, Jawa dibebaskan dari beban pembangunan yang sudah melampaui daya dukung dan daya tampungnya.
Presiden Jokowi bahkan mempertegas visi pembangunannya itu dengan menegaskan pada peringatan Hari Pahlawan tahun lalu di Surabaya, bahwa pembangunan Indonesia bukan lagi Jawa sentris, melainkan sekarang ini adalah Indonesia sentris. Dengan cara ini, Jawa diselamatkan dari beban pembangunan yang menghancurkan ekosistemnya.
Deindustrialisasi ke Indonesia timur
Untuk mewujudkan Nawacita membangun dari pinggiran, Presiden Jokowi getol membangun infrastruktur di Indonesia timur, termasuk tol laut. Kiranya ini harus dilengkapi dengan terobosan lain secara holistis, komprehensif, sinergis untuk membangun industri di luar Jawa, khususnya Indonesia timur.
Untuk itu, bebaskan pajak bagi semua investor yang akan membangun industri skala besar di Indonesia timur. Syaratnya, mereka membangun infrastruktur jalan, pelabuhan, pembangkit, dan air untuk semua kebutuhan industrinya. Daripada pajak yang dibayarnya akan juga dipakai pemerintah untuk membangun infrastruktur, lebih baik investor saja yang langsung membangun infrastruktur yang dibutuhkannya. Namun, dampak ekonomi, politik, dan sosial dari kebijakan tersebut akan sangat dahsyat dan sejalan dengan mimpi Nawacita: membangun dari pinggiran.
Pertama, akan tercipta efek berganda yang akan menghidupkan kegiatan ekonomi turunan dengan kehadiran industri besar di daerah tersebut. Akan tercipta lapangan kerja yang sangat banyak di daerah, sekaligus mencegah orang daerah ke Jawa, bahkan menarik orang di Jawa untuk keluar Jawa. Lapangan kerja ini tidak hanya muncul dari aktivitas industri tersebut, tetapi juga dari aktivitas produktif penunjang lain yang melibatkan masyarakat setempat.
Tentu saja, pemerintah dan pemerintah daerah harus membuka sekolah-sekolah kejuruan dan politeknik bekerja sama dengan industri yang bersangkutan untuk menyiapkan tenaga terampil dan terdidik dari daerah itu untuk diserap oleh industri tersebut. Persiapan tenaga kerja terampil ini penting demi mencegah kecemburuan baru seandainya lebih banyak tenaga terampil dibawa dari luar daerah setempat.
Kedua, terjadi pemerataan pembangunan ke arah perwujudan keadilan antarwilayah Republik Indonesia sesuai dengan dasar falsafah Pancasila. Dampak lanjutannya, problem sosial akibat perasaan ketidakadilan sedikit banyak secara perlahan-lahan diminimalkan.
Ketiga, dari segi lingkungan, secara tidak langsung persoalan kehancuran ekosistem di Jawa perlahan-lahan dipulihkan sembari menata ulang hulu-hilir ekosistem Jawa secara akademik, lepas dari kepentingan politik dan ekonomi pihak mana pun.
Potensi daerah
Pertanyaan yang segera mengemuka adalah: adakah potensi Indonesia timur untuk pembangunan industri di sana? Jawabannya tegas: sangat banyak. Ada potensi pariwisata, perikanan dan kelautan, garam, cengkeh, kopi, kemiri, mete, kelapa, pala, bahkan tambang, petrokimia, semen, dan lain-lain disertai segala macam industri kreatif rumah tangga dalam skala kecil dan menengah sebagai pelengkap.
Persoalannya, kita mau atau tidak. Tentu saja, selain pembebasan pajak, pemerintah perlu sedikit mengimbau dan mendorong pengusaha nasionaluntuk ambil bagian dalam mimpi besar ini, dan itu akan menyelamatkan mereka juga. Mau sampai kapan Jawa ini dibebani terus dengan laju pembangunan (industri) yang berakibat negatif juga bagi industri di Jawa?
Presiden telah menegaskan, saatnya pembangunan Indonesia sentris. Tinggal para menteri menerjemahkannya dalam langkah konkret di lapangan agar Jawa tidak sampai tenggelam.
A Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup 1999-2001
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2016, di halaman 6 dengan judul “Jawa Bisa Tenggelam”.