Musim kemarau kali ini tergolong normal dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, kekeringan cukup parah melanda sejumlah daerah, terutama di Jawa dan Nusa Tenggara. Kondisi ini menunjukkan telah terjadi defisit air akibat kerusakan lingkungan. Dibutuhkan solusi jangka panjang untuk mengatasi persoalan ini karena tren iklim ke depan, intensitas hari tanpa hujan akan meningkat.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), saat ini lebih dari 3,9 juta orang di 105 kabupaten/kota di Jawa dan Nusa Tenggara mengalami kekeringan. “Tren wilayah yang mengalami kekeringan bertambah. Dibandingkan dengan 2014, yang mengalami kekeringan ada di 86 kabupaten/kota,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Rabu (13/9), di Jakarta.
Padahal, dari aspek cuaca, kondisi saat ini cenderung normal. “Musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia diperkirakan mulai akhir Oktober hingga November 2017. Beberapa wilayah ada yang mundur dan maju musim hujannya, tetapi sebagian besar sama dengan rata-ratanya atau relatif normal,” kata Kepala Bidang Informasi dan Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ramlan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan data BMKG, daerah yang mengalami hari tanpa hujan tertinggi adalah Jawa bagian timur, sebagian Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). “Di NTT ada daerah yang mengalami 120 hari tanpa hujan, sedangkan di Jawa, sebagian daerah mengalami hari tanpa hujan lebih dari 60 hari, tetapi sebagian besar sekitar 30 hari tanpa hujan. Kondisi ini masih sama dengan musim hujan sebelumnya,” kata Ramlan.
Semakin panas
Di Jawa Tengah, krisis air bersih terjadi di 217 desa di 23 kabupaten/kota dari total 35 kabupaten/kota yang ada. Jumlah desa yang krisis air tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang mencapai 400 desa. “Tetapi, wilayah Banjarnegara yang pada 2016 tidak kekeringan, saat ini sudah ada 24 desa yang dilanda kekeringan dan krisis air bersih,” kata Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jateng Sarwa Pramana, di Semarang.
Kondisi tersebut, kata Sarwa, menunjukkan musim kemarau tahun ini sangat panas. Wilayah lereng Gunung Sindoro-Sumbing yang tahun lalu tak terdampak kekeringan kini juga terdampak. Daerah yang saat ini kekeringan agak parah terutama di Kabupaten Pati, Rembang, Blora, Grobogan, Sragen, Demak, Kendal, sebagian Wonogiri, Tegal, Banyumas, dan Brebes.
Warga Desa Kaliajir, Kecamatan Purwanegara, Banjarnegara, Sudarno (45), juga merasakan musim kemarau kali ini lebih panas ketimbang tahun lalu. “Kemarau baru berlangsung tiga minggu, persediaan air di sumber-sumber air langsung surut,” katanya. Warga pun, katanya, bergantung pada bantuan air bersih. Padahal, tahun lalu, desanya tidak krisis air bersih.
Di Kabupaten Gresik, warga mulai memanfaatkan air telaga untuk mencuci dan memasak karena air sumur telah kering. Di Sidoarjo, krisis air pada musim kemarau ini mulai memicu konflik irigasi antarpetani. Sekitar 42 hektar sawah yang digarap 60 petani di Desa Besuki juga terancam gagal panen karena kekurangan air.
Defisit air
Menurut Sutopo, secara nasional saat ini ketersediaan air masih mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga, perkotaan, irigasi, industri, dan lainnya. “Namun, beberapa pulau sudah mengalami defisit ketersediaan air, khususnya di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara,” katanya.
Studi neraca air yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum pada 1995 menunjukkan, surplus air di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara hanya terjadi pada musim hujan dengan durasi sekitar lima bulan, sedangkan pada musim kemarau terjadi defisit selama tujuh bulan. “Artinya, ketersediaan air sudah tak mampu memenuhi kebutuhan air bagi penduduk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara,” ujarnya.
Studi yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 2007 menunjukkan, ketersediaan air pada musim kemarau di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah tak mencukupi. Sekitar 77 persen kabupaten/kota rata-rata mengalami satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun.
Menurut Sutopo, defisit air ini karena kerusakan daerah aliran sungai, degradasi lingkungan, berkurangnya kawasan resapan air, dan tingginya tingkat pencemaran air. “Daya dukung lahan telah terlampaui,” katanya.
Krisis air ini akan makin meningkat di masa mendatang. Selain bertambahnya jumlah penduduk, hal ini juga dipengaruhi tren perubahan cuaca. Menurut peneliti cuaca dan iklim BMKG, Siswanto, ke depan, curah hujan di Indonesia akan semakin basah pada musim hujan, sebaliknya pada musim kemarau akan bertambah ekstrem. “Fenomena perubahan iklim memicu semakin ekstremnya cuaca,” katanya.
Siswanto menambahkan, daerah-daerah di Jawa hingga Nusa Tenggara Timur mengalami hari kering yang cukup panjang karena puncak musim kemarau yang dikendalikan aliran angin timuran yang berembus dari Benua Australia. Aliran angin monsun Australia ini bersifat cenderung mengalirkan udara kering dengan kelembaban lebih rendah 50 persen. (AIK/WHO/ACI/NIK)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 September 2017, di halaman 1 dengan judul “Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Defisit Air”.