Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat terus membahas mengenai Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Padahal, rancangan undang-undang itu menuai penolakan banyak pihak.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Spanduk penolakan buruh terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terlihat di Jalan Penjernihan, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (13/4/2020). Bagi kalangan buruh, pengaturan kluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja tidak lebih baik daripada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pemerintah dan DPR tetap ngotot memaksakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19. Selain dituding menutup telinga pada suara masyarakat, langkah eksekutif dan legislatif tersebut juga dinilai menyakiti masyarakat yang tak bisa ”bersuara” karena bayang-bayang penularan virus SARS-CoV-2 tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rancangan undang-undang (RUU) yang diharapkan menjadi sapu jagat penyelesaian bagi berbagai UU yang dianggap tumpang tindih ataupun tak sinkron ini hendak mengolaborasikan sedikitnya 79 UU. Mulai dari UU Perfilman, UU Kebidanan, hingga UU Panas Bumi yang sulit dicari benang merah ini hendak diringkas dalam satu undang-undang super.
Sejak awal dinyatakan Presiden Joko Widodo seusai pelantikan periode kedua, 20 Oktober 2019, omnibus law ini terus mengundang tanya sejumlah pihak, baik akademisi maupun organisasi masyarakat sipil. Pasalnya, RUU yang memiliki tujuan populis, seperti judul RUU—menciptakan pekerjaan atau cipta kerja—ini disusun secara eksklusif dalam dirigen Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Penyusunan yang sangat tertutup menyebabkan selama beberapa bulan tiada naskah akademis ataupun draf yang keluar untuk bisa dipelajari masyarakat. Baru kemudian saat draf sudah diserahkan kepada DPR pada 12 Februari 2020, kementerian tersebut mengunggah draf itu di situs resminya.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Para buruh dan mahasiswa memperingati Hari Perempuan Internasional dengan berunjuk rasa di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta, Senin (9/3/2020). Selain mengecam kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap pekerja perempuan, mereka juga menyampaikan penolakannya terhadap omnibus law RUU Cipta Kerja. Omnibus law dianggap menerapkan konsep sapu jagat terhadap hal-hal yang menghambat investasi, tetapi banyak pihak yang menilai omnibus law bakal banyak melanggar hak-hak dasar warga negara jika disahkan.
Menuai penolakan
Setelah disimak, isinya pun menimbulkan penolakan dari masyarakat, dari kaum buruh yang tak ingin hak-hak kesejahteraannya dihilangkan hingga organisasi masyarakat sipil yang tak ingin hak atas lingkungan hidup yang layak dikorbankan demi kepentingan investasi. Penolakan ini tak mengherankan mengingat penyusunnya terdiri dari kalangan pengusaha dengan perspektif kepentingannya.
Ketiadaan partisipasi publik di awal penyusunan ini ditanggapi pemerintah dengan menyatakan hal itu bisa dilakukan saat pembahasan di DPR. Pihak Badan Legislasi DPR yang menerima tugas untuk membahas RUU ini pun berpendapat, DPR harus membahas usulan pemerintah ini. Terkecuali Presiden menarik surat presiden yang dikirim ke DPR.
Apalagi dalam pembahasan pertama kemarin di Badan Legislasi yang ditayangkan langsung secara daring, fraksi-fraksi menyatakan belum menerima draf RUU. Mereka membutuhkan draf tersebut sebagai bahan pertimbangan waktu untuk menanggapi dalam pendapat fraksi.
Badan Legislasi DPR terus melaju dalam pembahasan. Mereka menyatakan akan membahas kluster-kluster yang tidak menimbulkan kontroversi, seperti kemudahan, pemberdayaan, serta perlindungan usaha menengah kecil dan mikro (UMKM), dukungan riset dan inovasi, juga administrasi pemerintahan. Kluster lain, seperti penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, pengenaan sanksi, dan investasi pengadaan lahan, akan dibahas saat Indonesia telah terlepas dari pandemi Covid-19.
Dalam rapat Badan Legislasi DPR dengan Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pemerintah pun menyatakan RUU yang akan menjadi UU ini nanti diharapkan membuat Indonesia cepat bangkit dari krisis ekonomi akibat Covid-19. Kemudahan berusaha dan mempermudah perizinan disebut sebagai jurus jitu untuk meningkatkan perekonomian warga.
Sayangnya, obat RUU Cipta Kerja yang ditawarkan itu berbeda dengan diagnosis yang dilihat dunia usaha. Menurut survei Global Competitiveness (2017-2018) yang dilakukan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum), penghambat utama investasi Indonesia adalah masalah korupsi.
Pemberantasan korupsi
Terkait korupsi, pemerintah dan DPR malah merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai sebagai bentuk pelemahan KPK sehingga sempat mengundang demonstrasi berhari-hari di Jakarta dan sejumlah kota.
”Jadi, penting kalau Pak Presiden mau mengejar pertumbuhan ekonomi dengan benar, fokusnya seharusnya pemberantasan korupsi,” kata Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Dengan kata lain, solusi pemerintah dengan menyusun RUU Cipta Kerja dengan impian menarik investasi sebesar-besarnya tersebut tidak nyambung. Itu berarti obat yang diracik tak sesuai dengan penyakit yang diderita.
Selain itu, dari sisi ketertarikan berinvestasi di Indonesia, menurut survei the Economist pada 2019, menempatkan Pemerintah Indonesia berada di peringkat ketiga di Asia di bawah China dan India dalam hal minat berbisnis. Jadi secara umum Indonesia masih menarik untuk menjadi tujuan investasi. Apalagi jika hal-hal seperti korupsi seperti survei sebelumnya dibereskan.
Selain itu, kaitan kemudahan berinvestasi dengan kontribusi pengurangan kemiskinan. Data BPS menunjukkan, kemudahan investasi tak berkontribusi pada pengurangan kemiskinan.
Angka-angka menunjukkan upaya kemudahan investasi yang dielukan pada 2015-2019 masih jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Artinya, keran investasi yang dibuka lebar tidak berdampak signifikan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin dan pengangguran.
Sebagai contoh, target pengurangan kemiskinan dalam RPJMN tertulis tingkat kemiskinan ditargetkan 7-8 persen. Dalam capaian 2019, angka kemiskinan masih 9,3 persen. Dengan makna sama, penanggulangan kemiskinan dalam periode lima tahun hanya mencapai 52 persen dari target RPJMN. Sementara terkait pengangguran, tercatat target 4 persen pada 2019, tetapi pada 2019, jumlah pengangguran masih di angka 5,2 persen.
Apabila permasalahan utama sebenarnya yang dikeluhkan adalah korupsi, Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), menyatakan, persoalan itu terdapat pada praktik korupsi perizinan, termasuk izin lingkungan. Dengan demikian, respons pengobatannya cukup pada tataran praktik, bukan regulasi yang tidak menguatkan pemberantasan korupsi.
Kalau mau menyentuh regulasi adalah mengembalikan kewenangan KPK yang dikebiri dalam UU baru. Ini baru sesuai antara penyakit dan obatnya.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 17 April 2020