Tiap generasi ada zamannya, tiap zaman ada generasinya. Kini, generasi Phi atau generasi Z Indonesia mulai menunjukkan eksistensinya. Meski banyak cap negatif disematkan pada mereka, nyatanya mereka juga memiliki kepedulian terhadap negaranya.
Demonstrasi mahasiswa dan pelajar sekolah menengah di berbagai kota beberapa hari terakhir menunjukkan eksisnya generasi Phi atau generasi Z Indonesia. Mereka yang selama ini dianggap apolitis, egois, suka hura-hura dan hal instan, nyatanya juga memiliki kepedulian terhadap bangsanya.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Ribuan mahasiswa dari beragam kampus turun menyuarakan aspirasi di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (26/9/2019). Aksi yang berujung bentrok dengan pihak kepolisian ini menyebabkan dua orang meninggal dunia. Sejumlah pihak mengecam tindakan represif aparat yang sampai menghilangkan nyawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanpa ada komando tunggal, generasi Phi berbondong-bondong ke lokasi demontrasi. Di Jakarta, sebagian besar peserta menuju lokasi unjuk rasa menggunakan angkutan umum dan sepeda motor, bukan bus-bus seperti yang digunakan satu generasi sebelumnya saat mereka berunjuk rasa.
Media sosial dimanfaatkan secara efektif untuk berkomunikasi. Meski berasal dari kampus dan sekolah yang berbeda, mereka tetap mampu mengoordinasikan diri serta menyuarakan sikap dan keresahan yang sama.
“Karakter utama generasi Phi adalah hiperkolektif, gemar berkomunitas,” kata pendiri Youth Laboratory Indonesia yang juga penulis buku Generasi Phi (Pengubah Indonesia), Muhammad Faisal di Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Generasi Phi adalah sebutan untuk pengelompokan generasi di Indonesia berdasarkan situasi sosial-politik Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang saat reformasi 1998 berumur kurang dari 10 tahun hingga belum mampu memaknai reformasi saat itu yang mengubah Indonesia.
Padanan generasi Phi dengan pengelompokan generasi yang digunakan secara global adalah generasi Z. Pengelompokan generasi Z disusun berbasis kondisi sosio-politik di Amerika Serikat. Sebutan ini disematkan pada orang yang lahir antara tahun 1995-2010 atau saat ini berumur antara 9-24 tahun.
Meski demikian, karakter kedua generasi itu relatif sama. Mereka lahir saat teknologi informasi berkembang pesat hingga kehidupan mereka sangat dipengaruhi gawai dan internet. Mereka juga mengalami tsunami informasi hingga mudah terjebak pada informasi kurang dalam atau tidak lengkap.
Karakter hiperkolektif generasi Phi, lanjut Faisal, sebenarnya mirip dengan karakter generasi Alfa, yaitu generasi para pendiri bangsa Indonesia yang masa remajanya berkisar antara tahun 1900-1930. Kedua generasi ini sadar akan posisi mereka sebagai kelompok yang berperan mengubah bangsa dan sama-sama suka berkomunitas. Jika generasi Alfa berkumpul berdasarkan kelompok etnis atau agama, maka generasi Phi berkumpul atas kesamaan minat atau hobi.
Kondisi hiperkolektif itulah yang membedakan generasi Z Indonesia dengan negara lain. Media sosial dan internet di negara maju membuat generasi Z makin kehilangan privasi hingga makin individualis dan stres. Sedangkan di Indonesia, internet justru makin merekatkan mereka dan membuat lebih bahagia.
“Namun, cara berpikir generasi Phi lebih mirip dengan Angkatan 1966 yang tidak sefilosofis generasi pendiri bangsa, namun mengutamakan pergerakan dan lebih cepat,” tambahnya.
Berbagai karakter khas itulah yang membuat aksi demonstrasi mereka beberapa hari terakhir mengejutkan banyak kalangan. Generasi Phi yang selama ini dianggap tak peduli politik dan lingkungan sekitarnya, gemar bersenang-senang dan pragmatis, ternyata peduli dengan masa depan bangsa. Karena itu, banyak orang dari generasi sebelumnya memandang remeh aksi mereka.
Selain itu, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Rahmat Hidayat menilai generasi Z Indonesia lebih konservatif dan religius dibanding generasi baby boomer (setara dengan generasi beta) yang lebih liberal.
Di masa lalu, dosen di sejumlah kampus biasa dipanggil dengan sebutan Mas atau Mbak saja. Saat ini, di banyak kampus, mahasiswa antre mencium tangan dosen saat bertemu atau ketika selesai kuliah. “Literasi agama generasi Z Indonesia memang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya,” katanya.
Namun pada saat bersamaan, generasi Phi juga lebih terbuka dengan hal-hal berbau seksual. Lihatlah media sosial sebagian generasi Phi yang tak tabu membicarakan soal kesehatan reproduksi, sebagian tak malu memamerkan gaya pacarannya. Munculnya poster-poster saat unjuk rasa yang menuliskan kata-kata berbau seksual makin mengukuhkan hal itu.
“Internet membuat cara pandang generasi Phi tentang isu seksual maupun kesetaraan jender tidak lepas dari perspektif global,” tambah Faisal.
Kondisi itulah yang dinilai Rahmat memunculkan paradoks. Di satu sisi, generasi Z sangat konservatif dengan penegakan nilai-nilai yang berorientasi pada kemapanan hidup, namun mereka juga egois. Mereka juga mengalami indoktrinasi nilai keagamaan yang konservatif, meski teknologi dan lingkungan sosial memberikan mereka kesempatan besar untuk lebih berfokus pada kepentingan diri.
“Tujuan demonstrasi bukan semata untuk kepentingan politik, namun juga momentum untuk meluapkan unek-unek mereka secara terhormat dan diapresiasi,” katanya.
Interpretasi
Menurut Faisal, generasi Phi memiliki interpretasi yang bebas tentang negara, bangsa dan demokrasi. Mereka tidak pernah mengalami indoktrinasi seperti yang dialami generasi sebelumnya.
Di era Orde Lama, pembangunan nasionalisme dan karakter bangsa mendominasi hingga mewujud pada pelarangan musik “ngak-ngik-ngok”. Sementara di Orde Baru, budaya populer Barat lebih bebas masuk, namun tidak boleh membicarakan ideologi bangsa di kampus dan sekolah.
Selain itu, selama lebih satu dekade sejak reformasi berlangsung, terjadi kekosongan narasi kebangsaan bagi pemuda. Saat itu, negara tengah fokus menata sistem politiknya serta pemberantasan korupsi. “Isu pemuda nyaris tidak pernah dibicarakan,” katanya.
Tumbuh di masa transisi dari zaman otoritarian ke alam demokrasi yang lebih terbuka membuat generasi Phi harus berusaha ekstra mencari identitas, keyakinan dan ideologinya. Saat nilai konservatif yang ada di sekitar mereka, maka nilai itulah yang mereka ambil. Demikian pula dengan nilai kedaerahan yang muncul sejak era desentralisasi. Akibatnya, pandangan generasi Phi lebih berwarna-warni.
Meski generasi Phi lebih egois, mereka tetap membutuhkan afirmasi atau bertanya kepada generasi sebelumnya. Karena itu, tak mengherankan jika banyak anak muda itu meminta izin untuk ikut demosntrasi kepada orangtua atau dosen mereka, hal yang janggal bagi generasi sebelumnya.
Pandangan generasi pendahulu, lanjut Rahmat, akan mengukuhkan sikap mereka. Situasi itu yang membuat kehadiran ‘orangtua’, baik di keluarga, sekolah, kampus, masyarakat dan negara menjadi penting. Para ‘orangtua’ itu perlu mendukung anak muda itu untuk menyuarakan pandangannya sebagai bagian dari pendidikan politik maupun kebebasan berekspresi.
Karena itu, ancaman Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk memberikan sanksi kepada rektor yang mengerahkan mahasiswanya ikut unjuk rasa sebagai hal yang kontraproduktif. Sanksi itu hanya akan melanggengkan stereotipe generasi Z yang apolitis, tidak peduli dengan sekitar, hedonis, dan berbagai pandangan negatif lain yang sering disematkan pada mereka.
Usai demonstrasi, tambah Faisal, diskusi setara antara mahasiswa dan pelajar dengan generasi pendahulunya perlu dilakukan. Tanpa diskusi itu, konsep Indonesia yang pasti tetap akan sulit mereka dapatkan. Padahal, 10-20 tahun lagi, merekalah yang akan jadi pemagang tongkat estafet kepemimpinan bangsa.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 28 September 2019