Pemusnahan kelelawar adalah cara yang tidak tepat dan efektif untuk mengurangi risiko timbulnya penyakit, justru cenderung meningkatkan risiko munculnya penyakit pada populasi manusia.
Tindakan pemusnahan kelelawar yang dipicu kekhawatiran terkait wabah Covid-19 sebenarnya tak perlu terjadi. Ini bentuk kepanikan tak berdasar, baik secara ilmiah maupun menurut kaidah kesejahteraan hewan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Edaran Bupati Subang tertanggal 16 Maret 2020, yang salah satu butirnya meminta masyarakat membasmi kelelawar di lingkungan mereka, perlu diperbaiki. Banyak artikel ilmiah menuliskan tentang peran kelelawar sebagai pembawa virus yang dikaitkan dengan penyakit infeksius baru (emerging infectious disease/EID) pada manusia ataupun ternak.
Salah satunya, virus korona dari genus Betacoronavirus. Genus ini memiliki anggota virus yang menginfeksi mamalia, termasuk di dalamnya virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 pada manusia. Adanya kekerabatan genetik antara Betacoronavirus pada kelelawar dan Betacoronavirus pada manusia penyebab SARS, MERS, dan Covid-19 menguatkan teori bahwa virus pada kelelawar ini moyang (ancestor) dari virus-virus penyebab penyakit saluran pernapasan pada manusia itu.
Namun, sebagai reservoir Betacoronavirus itu, kelelawar tidak serta-merta bisa menularkannya ke manusia. Ancestor atau virus moyang bukan berarti bahwa virus-virus tersebut identik dengan virus SARS-CoV, MERS-CoV, ataupun SARS-CoV-2 walaupun mereka memiliki kemiripan genetik. Virus moyang dari kelelawar ini tidak bisa langsung menginfeksi manusia.
Ada proses yang perlu dilalui untuk bisa menginfeksi manusia, yaitu menjadikan dirinya sepenuhnya bisa diterima reseptor di sel-sel manusia. Dalam proses ini, Betacoronavirus kelelawar perlu satwa lain sebagai perantara untuk bisa menularkannya ke manusia. ”Persinggahan” di inang perantara ini memungkinkan adaptasi bagi virus moyang untuk mengalami perubahan untuk kemudian bisa menginfeksi manusia melalui inang perantara.
Perlu waktu cukup lama bagi virus moyang untuk berubah dan menyesuaikan diri di inang perantara sebelum benar-benar bisa menginfeksi manusia. Untuk mengukur ”masa singgah” virus moyang di inang perantara dapat dilakukan beberapa metode, antara lain dengan melakukan evaluasi molekular virus yang dideteksi pada inang perantara, atau menelusuri keterdapatan antibodi virus dari sampel arsip retrospektif. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan.
REUTERS/ANDREAS GEBERT/FILE FOTO–FOTO FILE: Seorang karyawan perusahaan biofarmasi Jerman CureVac, menunjukkan alur kerja penelitian pada vaksin untuk penyakit coronavirus (COVID-19) di sebuah laboratorium di Tuebingen, Jerman, 12 Maret 2020. Foto diambil pada 12 Maret 2020.
Antibodi terhadap MERS-CoV dilaporkan dapat dideteksi pada koleksi sampel arsip serum unta Arab yang dirunut sejak tahun 1980-an, yang membuktikan bahwa unta telah ”membawa” MERS-CoV selama setidaknya 30 tahun sebelum kemudian menularkannya ke manusia pada 2012. SARS-CoV diyakini memiliki masa singgah di inang perantara civet (sejenis luwak) lebih pendek, dan saat ini masih belum ada kesimpulan yang pasti mengenai satwa lain apa yang berperan sebagai inang perantara bagi SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Berbeda dengan Betacoronavirus, virus lain yang dibawa kelelawar, misalnya virus Nipah, walau bisa memanfaatkan inang perantara untuk penularannya, virus ini terbukti bisa ditularkan ke manusia melalui kontak langsung dengan ekskretanya.
Kejadian wabah di Malaysia pada 1998-1999 melibatkan babi sebagai inang perantara, sedangkan kejadian di India dan Bangladesh terbukti jalur penularannya bisa melalui liur, urine, feses, ataupun sisa makanan yang mengontaminasi buah atau nira aren yang dikonsumsi manusia. Sejauh ini, virus Nipah dan rabies merupakan contoh virus yang bisa ditularkan secara langsung ke manusia dan ternak.
Bumerang
WHO mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemik. Kondisi saat ini untuk pengendalian Covid-19 lebih memerhatikan bagaimana mengurangi penularan antar-manusia sehingga semua bentuk mitigasi diarahkan ke peniadaan atau pengurangan penularan. Tidak tepat bila kita melihat kelelawar biang keladi atas keadaan yang sedang berlangsung saat ini.
Bahwa kelelawar bisa membawa virus yang berpotensi sebagai patogen berbahaya pada manusia di kemudian hari, tak berarti kita harus membasminya. Kita dituntut untuk bisa melakukan tindakan mitigatif yang bijaksana sehingga bisa hidup berdampingan secara aman dengan mereka.
Contoh di Bangladesh, langkah mitigasinya adalah dengan mengedukasi orang tidak meminum langsung air nira tanpa diproses, juga menutup wadah tempat menampung air nira.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Siswa mengantre untuk mencuci tangan di SD Negeri Bendungan Hilir 01 Pagi, Jakarta Pusat, Kamis (12/3/2020). Edukasi menjaga kebersihan diri seperti mencuci tangan yang benar serta mengintensifkan fungsi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) merupakan upaya pihak sekolah dalam mengantisipasi wabah Covid-19.
Kevin Olival, di salah satu publikasinya pada 2016, menyampaikan, upaya pemusnahan kelelawar sebagai cara mengurangi risiko penyakit dapat menjadi bumerang dan memperbesar risiko munculnya EID dan zoonosis yang menyebar ke populasi manusia. Pertama, tindakan itu menempatkan orang berkontak lebih dekat dengan satwa sehingga meningkatkan potensi pajanan dengan agen penyakit.
Kedua, pemusnahan di alam justru bisa menyebabkan peningkatan penyebaran penyakit karena memaksa populasi kelelawar bermigrasi dan berkembang di daerah baru. Contoh wabah infeksi virus Nipah di Malaysia, kelelawar buah Pteropus vampyrus sebagai reservoirnya bermigrasi jauh lebih luas di Semenanjung Malaysia karena tekanan perburuan dan perubahan habitat di hutan.
Ketiga, efek lain dari fragmentasi, pengurangan habitat, dan tekanan fisiologis yang terjadi pada populasi kelelawar diduga kuat meningkatkan kemungkinan pelepasan virus, seperti terjadi dengan virus Hendra, kerabat virus Nipah di Australia.
Keempat, pemusnahan kelelawar pemakan serangga berpotensi mengakibatkan peningkatan populasi serangga yang berperan sebagai pembawa agen penyakit (arthropode-borne disease). Singkatnya, pemusnahan kelelawar adalah cara yang tidak tepat dan efektif untuk mengurangi risiko timbulnya penyakit, justru cenderung meningkatkan risiko munculnya penyakit pada populasi manusia.
Sebaiknya dicari upaya yang lebih sistematis, terstruktur, dan koordinatif yang bisa dilakukan ketimbang melakukan tindakan yang lebih bersifat sebagai respons kepanikan. Penutupan pasar yang menjual satwa liar yang dikonsumsi sebaiknya diikuti dengan upaya penghentian perburuannya di alam. Rantai pasar komoditas satwa liar yang dikonsumsi harus diputus, salah satunya dengan menghentikan perburuan.
(Joko Pamungkas Dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB)
Sumber: Kompas, 20 Maret 2020