Jakarta menempati posisi pertama sebagai kota paling berisiko menghadapi bahaya lingkungan. Hari Ulang Tahun Ke-494 Jakarta ini seyogianya dapat menjadi momen untuk mencari solusi menyelamatkan Jakarta.
”Jakarta Bangkit” menjadi tema besar HUT Ke-494 Jakarta tahun 2021. Tema tersebut dipilih sebagai sebuah semangat untuk bangkit dalam berbagai aspek kehidupan yang ada di Jakarta. Sikap optimistis ini juga ditandai dengan mulai terbentuknya kekebalan komunitas melalui vaksinasi dan adanya geliat positif dari sektor ekonomi, sosial, dan budaya.
Namun, kebangkitan tersebut terancam menjadi slogan semata. Pasalnya, perusahaan riset Verisk Maplecroft pada 12 Mei 2021 menyatakan bahwa Jakarta menempati posisi pertama sebagai kota paling berisiko menghadapi bahaya lingkungan. Apabila bahaya lingkungan ini tidak segera dicegah, seluruh aspek yang sedang dibangkitkan tersebut hanya akan terpuruk kembali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masalah lingkungan di Jakarta memiliki keterkaitan erat dengan pesatnya industrialisasi dan kepadatan penduduk. Meminjam teori Athur Lewis tentang pembangunan ekonomi, wilayah dengan struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor industri memiliki laju positif terhadap kepadatan penduduk. Umumnya, kepadatan penduduk disebabkan oleh arus urbanisasi.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, jumlah penduduk Jakarta mencapai 10,56 juta jiwa (3,9 persen penduduk Indonesia). Industrialisasi dan kepadatan penduduk memperparah kondisi lingkungan Jakarta menjadi semakin kompleks. Oleh sebab itu, dalam rangka HUT yang ke-494 ini seyogianya dapat menjadi momen untuk mencari solusi inklusif yang dapat menyelamatkan Jakarta dari ancaman keterpurukan tersebut.
Tumpang tindih permasalahan lingkungan
Jakarta terletak di dataran aluvial rendah-datar dengan daerah rawa yang luas secara historis. Rawa di Jakarta banyak dikeringkan untuk pembangunan sehingga mengakibatkan tidak adanya daerah resapan air. Hal ini menjadi salah satu pemicu permasalahan banjir yang sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Tarumanegara (Kompas.com, 22/02/2021).
Meskipun terletak di kawasan delta yang dilalui oleh 13 sungai, ternyata genangan air di Jakarta belum mampu ditampung. Hal ini menimbulkan pertanyaan antara volume limpasan yang terlalu tinggi atau sungai di Jakarta yang menjadi dangkal dan menyempit.
Masalah banjir di Jakarta pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selain disebabkan oleh perubahan iklim yang meningkatkan curah hujan, salah satu faktor penting yang memengaruhi, yaitu penurunan permukaan tanah (land subsidence).
Penurunan permukaan tanah di Jakarta sebagian besar disebabkan oleh ekstraksi air tanah, beban konstruksi dan konsolidasi alami dari tanah aluvial. Menurut Abidin dkk, secara umum permukaan tanah di Jakarta diperkirakan turun 1-15 sentimeter (cm) per tahun bahkan 20-25 cm per tahun pada lokasi tertentu.
Pembangunan infrastruktur tidak hanya menyebabkan adanya beban konstruksi yang memperparah land subsidence. Pembangunan infrastruktur yang masif juga memicu peningkatan jumlah penduduk melalui urbanisasi yang kemudian berkorelasi positif terhadap kebutuhan air.
Apabila diasumsikan setiap penduduk Jakarta sebagai kota metropolitan membutuhkan air bersih sebanyak 150 liter per hari (Ditjen Cipta Karya, 2006, Materi Pelatihan Penyegaran SDM Sektor Air Minum), maka kebutuhan air bersih di Jakarta mencapai 578 gigaliter per tahun.
Sedangkan potensi air bersih yang diproyeksikan dari curah hujan Jakarta, yaitu 1.600 mm per tahun. Dengan luas wilayah 662,33 km diketahui potensi air permukaan di Jakarta 1,062 teraliter. Maka, diperoleh Indeks Pemakaian Air di Jakarta sekitar 54 persen.
Menurut Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, pemakaian air di suatu wilayah sekitar 50-100 persen tergolong kategori kritis sedang dalam klasifikasi indeks pemakaian air (IPA). Apabila dibandingkan wilayah lain di Indonesia, persentase tersebut merupakan persentase tertinggi.
Indeks pemakaian air yang kritis tersebut diperparah dengan kondisi sungai yang tidak memadai. Sungai yang seharusnya dapat menampung air untuk kehidupan penduduk Jakarta pada kenyataannya telah tercemar dan tidak sesuai dengan baku mutu peruntukannya. Hal ini pun mengakibatkan kebutuhan air tanah semakin tinggi. Diketahui dari portal statistik DKI Jakarta pada tahun 2019 penggunaan air tanah di Jakarta meningkat.
Tidak hanya tercemar oleh limbah cair, limbah padat juga tidak kalah melimpah. Tahun 2020 Jakarta memproduksi sampah sebesar 7.600 ton per hari dan sebagian masuk ke sungai. Dilansir dari Kompas.com (16/12/2019) sembilan sungai di Jakarta, yaitu Dadap, Angke, Pluit, Ciliwung, Kali Item, Koja, Marunda, dan Kali Bekasi, menyumbang sampah ke lautan. Hal ini mengindikasikan bahwa sungai-sungai di Jakarta masih menjadi tempat pembuangan sampah favorit bagi masyarakat.
Selain tidak mampu menampung air bersih karena kondisi sungai yang kotor, sungai di Jakarta sebagian besar juga tidak mampu menampung genangan air dalam volume yang tinggi. Hal ini dikarenakan sungai di Jakarta tidak luput dari sedimentasi. Sedimentasi memiliki kaitan erat dengan perubahan penggunaan lahan di bagian hulu.
Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian ataupun pertanian menjadi permukiman, seluruhnya mengakibatkan terjadinya erosi. Erosi menyebabkan tanah bagian permukaan terbawa oleh air ke sungai sehingga menyebabkan sungai menjadi semakin dangkal dan dipenuhi lumpur. Dangkalnya sungai dan banyaknya sumbatan sampah membuat air hujan tidak dapat ditampung di sungai sehingga meluap. Oleh sebab itu, banjir tidak dapat dihindari, krisis air tetap terjadi, dan penurunan permukaan tanah semakin parah.
Polusi udara
Tidak terbatas pada permasalahan banjir saja, permasalahan lingkungan lain yang berbahaya bagi masyarakat Jakarta adalah polusi udara. Penyumbang polusi udara di Jakarta sebagian besar didominasi transportasi (30-40 persen) dan oleh pembangkit listrik tenaga uap (20-30 persen).
Padatnya transportasi di Jakarta menjadi isu yang tidak pernah usai. Selama ini, pembangunan infrastruktur transportasi lebih banyak berorientasi pada kendaraan bermotor semata. Gubernur Jakarta mulai mencanangkan program transportasi yang mengutamakan perpindahan manusia, bukan kendaraan atau motor pribadi, tetapi belum sepenuhnya memperoleh dukungan.
Berbagai polemik masih terjadi seperti desakan untuk menghapus jalur sepeda permanen di Jalan Sudirman-Thamrin hingga kritik bahwa pesepeda yang tidak membayar pajak layaknya kendaraan bermotor dianakemaskan. Padahal apabila ditelaah kembali, selama ini kendaraan bermotor telah banyak diberikan keutamaan namun tetap saja macet dan tentu saja menyebabkan polusi.
Tersedianya infrastruktur yang aman bagi pesepeda dapat menjadi alternatif bagi penduduk Jakarta untuk bike-to-work. Apabila jarak tempat tinggal dan kantor lumayan jauh, sepeda dapat menjadi transportasi awal menuju transportasi umum, atau transportasi setelah menggunakan transportasi umum. Karena pada dasarnya untuk mengatasi kemacetan kuncinya adalah transportasi umum. Dan jalur sepeda pun tetap dapat dipertahankan, karena pekerja bersepeda seperti starling (penjual kopi keliling) dan kurir sepeda juga berhak memperoleh jalur yang aman.
Penyumbang polusi udara lain yang tidak kalah penting adalah keberadaan PLTU. Berdasarkan laporan Greenpeace tahun 2017, Jakarta menjadi ibu kota yang dikelilingi oleh PLTU terbanyak di dunia dalam radius 100 km. Hal ini diperparah dengan peraturan dan penerapan standar emisi untuk polutan utama (particulate matter/PM) 2,5; sulfur dioksida (SO2); sulfur dioksida (NO2); dan debu) yang masih sangat lemah di Indonesia.
Apabila dibandingkan dengan PLTU di negara lain, PLTU baru di Indonesia diperbolehkan untuk mengeluarkan emisi SO2 sebanyak 20 kali lebih tinggi dari PLTU baru di China dan 7 kali lebih tinggi dari PLTU baru di India. Padahal SO2 sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, yaitu dapat menurunkan fungsi paru-paru, iritasi mata, penyakit jantung, dan memperparah asma. Sulfur dioksida juga penting diperhatikan karena mampu membentuk partikel PM 2,5 yang mematikan. Bagi lingkungan, SO2 merupakan penyebab utama hujan asam yang dapat merusak berbagai infrastruktur ataupun ekosistem.
Oleh sebab itu, pada HUT Jakarta yang sudah mencapai angka 494 tahun ini seharusnya mendapatkan kado dari pemerintah dan PLN untuk segera melakukan transisi energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Meskipun PLN mengatakan bahwa akan mengeksklusi batubara di tahun 2023 atau 2025, tetapi tindakan kontradiktif, yaitu pembangunan PLTU baru sebesar 27 gigawatt sebelum 2023 atau 2025, tetap dilaksanakan. Hal ini akan memperparah polusi udara di Jakarta dan menghambat tercapainya target Indonesia untuk mencegah kenaikan suhu di atas 1,5 derajat celsius.
Jakarta dan kota-kota lain tidak bisa menunggu lebih lama. Penghentian penggunaan energi fosil sebaiknya dilakukan sejak saat sekarang. Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi besar untuk penggunaan energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya. Hal ini menjadi wacana strategis untuk menyelamatkan lingkungan di Indonesia termasuk di Jakarta.
Berbagai permasalahan lingkungan yang tumpang tindih di Jakarta pada dasarnya tidak dapat diselesaikan oleh satu sektor semata. Pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat memiliki peran masing-masing dalam mencegah terpuruknya Jakarta setelah dibangun sekian lama. Pembentukan regulasi yang tepat, eksekusi yang sesuai dan edukasi kepada masyarakat yang masif harus menjadi prioritas. Langkah-langkah tersebut dapat menjadi kado ulang tahun dari seluruh elemen masyarakat di Jakarta untuk merawat Jakarta yang sudah menua dan di ambang bahaya.
Retno Suryandari, Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Editor: YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 22 Juni 2021