Kajian Forest Watch Indonesia pada 2013-2016 menunjukkan tumpang tindih pada 8,9 juta hektar penggunaan lahan dan hutan di delapan provinsi. Hal itu terjadi di antara izin pembalakan, hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan.
“Tumpang tindih ini berdampak pada deforestasi dan konflik sosial,” kata Soelthon Gussetya Nanggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), dalam diskusi di Forest Expo 2017, Sabtu (9/12), di Bogor.
Kajian tersebutdirilis FWI dalam laporan Silang Sengkarut Pengelolaan Hutan dan Lahan di Indonesia. Studi dilakukan di Provinsi Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Riau, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sumatera Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menanggapi laporan ini, Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, menyebutkan tumpang-tindih penggunaan lahan dan hutan tersebut terkesan dipelihara karena menjadi ladang yang menguntungkan pejabat/oknum tertentu.
“Tumpang tindih menjadi medium untuk memainkan izin,” kata tenaga ahli di Komisi Pemberantasan Korupsi ini.
Secara peraturan, katanya, perusahaan pemegang konsesi telah memenuhi syarat-syarat administrasi. Namun legitimasi pemenuhan syarat itu seringkali dipertanyakan karena masih terjadi konflik sosial.
Hariadi mencontohkan lahan gambut di Provinsi Riau yang hanya akan disisakan 21.000-an hektar sebagai kawasan lindung dalam rencana tata ruang Provinsi Riau. Angka ini jauh dari Peta Kesatuan Hidrologis Gambut yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yaitu Riau memiliki 2,4 juta ha gambut berfungsi lindung. Modus revisi tata ruang – yang memang terbuka dan legal dengan mekanisme tertentu dalam perundangan – kerap dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Foto dari udara dengan drone menunjukkan ratusan hektar lahan yang baru ditanami kelapa sawit di kawasan Maredan, Kabupaten Siak, Riau, Agustus 2016. Lahan milik pengusaha asal Malaysia tersebut hanya sebagian kecil dari ribuan hektar perkebunan sawit produktif yang sudah ada di kawasan itu.
Pejabat Fungsional Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik Badan Informasi Geospasial A Apriyanto menyebutkan, tumpang tindih lahan bisa terjadi karena perbedaan sumber peta yang digunakan instansi. Ia mengatakan kebijakan Satu Peta (One Map) masih terus diselesaikan untuk meminimalkan tumpang tindih.
Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Kepresidenan Abetnego Tarigan mengatakan, pihaknya bersama sejumlah pihak sedang membantu membangun Sistem Informasi Perkebunan di Kementerian Pertanian. Ini untuk membantu Kementerian Pertanian memiliki data valid izin-izin perkebunan yang diterbitkan daerah.
“Izin-izin yang ada di daerah tidak wajib dilaporkan ke Kementerian Pertanian sehingga menyulitkan untuk mendapatkan data-datanya. Padahal data ini penting untuk mengambil kebijakan,” katanya.
Hutan tersisa
Dalam kajian FWI 2017, kondisi hutan di delapan provinsi tersebut menyisakan 27,3 juta ha atau 41 persen dari luas daratannya. Provinsi dengan luas hutan terbesar adalah Kalimantan Timur, sekitar 5,9 juta ha dan luas hutan terkecil Sumatera Selatan, seluas 0,73 ha.
Soelthon menyebutkan kajian itu juga menunjukkan kehilangan hutan atau deforestasi seluas 1,8 juta ha di delapan provinsi. Perubahan tutupan hutan tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Timur seluas 472.000 ha diikuti Sulawesi Tengah 373.000 ha, dan Kalimantan Barat 241.000 ha.
“Kajian FWI 2017 juga menunjukkan kehilangan hutan atau deforestasi seluas 1,8 juta ha di delapan provinsi.”
Temuan lain FWI, kawasan hutan seluas 1,4 juta ha telah dibebani izin perkebunan kelapa sawit. Sekitar 61 persen (891.000 ha) lokasi tumpang tindih berada di kawasan hutan dengan fungsi produksi yang peruntukannya untuk aktivitas pembalakan (logging) dan hutan tanaman.
“Adanya izin perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan produksi semakin memperlihatkan buruknya tata kelola hutan khususnya dalam sektor perizinan,” katanya.
Potensi konflik dengan masyarakat pun semakin berpotensi terjadi karena menurut Pengkampanye FWI Linda Rosalina, hutan seluas 1,5 juta ha di delapan provinsi itu tumpang tindih dengan konsesi tambang, sawit, hutan tanaman, dan logging.
“Tumpang tindih pengelolaan hutan dan lahan dengan wilayah kelola masyarakat menjadi permasalahan yang tak pernah terselesaikan,” katanya.–ICHWAN SUSANTO DAN BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 12 Desember 2017