Sulit mencari satu definisi makhluk apa itu intelektual. Intelektualisme dan intelektual hanya bisa dipahami melalui kasus dan konteks.
Pendefinisian hanya melahirkan kartu normatif yang bisa berjumlah banyak di meja definisi. Mungkin sama rumitnya ketika mendefinisikan kebudayaan dalam satu frasa. Kebudayaan adalah kata jamak makna, akan tereduksi jika dipaksa padat dalam sebuah kalimat.
Julien Benda, Karl Marx, Antonio Gramsci, Tan Malaka, Ali Shariati, Edward W Said, dan Daniel Dhakidae sudah mendefinisikan intelektual dan perannya. Namun, kali ini saya ingin mengambil definisi dari Daoed Joesoef, profesor lulusan Universite Pluridisciplinaire de Paris I, Sorbonne, Perancis. Ia juga pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983). Gagasannya itu disampaikan dalam acara persiapan 100 Tahun Muhammadiyah di Jakarta. Saat itu saya hadir karena undangannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tentu, sebagai intelektual, Prof Daoed Joesoef juga sering disalahpahami. Kesalahpahaman itu karena ia tak mau nyaman dengan satu peran dan selalu membuka ruang melalui kritik demi kenyamanannya sebagai intelektual. Ia tak silau oleh popularisme, tak tunduk oleh histeria mayoritas. Ia bertaruh memilih jalan rentan.
Pada masanya muncul kebijakan NKK/BKK, tak meliburkan sekolah di bulan puasa, mengurangi pelajaran agama, dan sebagai gantinya menghidupkan pendidikan nonformal agama berbasis surau/langgar/meunasah. Pada suatu waktu, ia pernah menyampaikan ke Presiden Soeharto untuk tidak mengembangkan teknologi kedirgantaraan. Soeharto ketika itu terpukau oleh Habibie. ”Soeharto itu cerdas, tapi mewakili keluguan masyarakat desa Jawa yang gumun (kagum) melihat besi terbang.”
Menurut dia, Indonesia harus dibangkitkan dari aspek kemaritiman dan mengembangkan politik agraria yang adil. ”Interupsi” itu dianggap tak patut oleh ”pikiran Jawa” sang presiden. Akhirnya, ia hanya menjabat menteri satu periode, berkebalikan dengan Habibie yang terus jadi menteri berperiode-periode.
Intelektualisme
Menurut Joesoef, intelektualisme itu: 1) menghayati peran vokasi yang berbobot budaya; 2) memilih peran sosio-politis untuk perubahan; 3) kesadaran mengacu kepada universalitas; 4) menciptakan ide-ide kultural dan menjalankannya; 5) pembangkangan yang bertanggung jawab; dan 6) suatu pancaran nurani yang bersih dan berimbang.
Dari definisi ini terlihat intelektual tak mengacu pada satu profesi. Para akademisi belum tentu intelektual. Namun, pekerja vokasional berelan kultural bisa disebut intelektual. Seperti agamawan yang marah kepada umat yang mengobarkan kebencian, juga seorang intelektual. Teman saya, PNS di kantor gubernur, di akhir tahun anggaran ia kerap diminta atasan jalan-jalan tanpa sebab, menggenapkan anggaran perjalanan dinas yang belum habis. Ia menolak melakukannya. Dalam konteks itu, ia berperan sebagai intelektual.
Kembali kepada akademisi, karena dibekali pendidikan baik dan sistematis, seharusnya mereka jadi intelektual. Pengetahuan yang berpadu dengan pancaran nurani akan jadi pijakan kuat melakukan perubahan, mulai dari sivitas akademika hingga sosial. Namun, sayangnya pilihan ini jarang dijejaki. Tak jarang akademisi yang kebetulan menjabat di birokrasi di kampus dan pemerintahan jadi konformis: tak melakukan hal-hal penting, nyaman tanpa berpikir kritis, bahkan ikut mempraktikkan ketidakadilan dan manipulasi.
Intelektualisme berhubungan dengan peran berpikir dan merefleksikan. Kata al qalb dalam Islam sering salah dipahami sebagai ’hati’ karena secara biologis itu adalah lever, tempat darah dialiri seluruh tubuh. Menurut Quraish Shihab, al qalb dalam Al Quran berhubungan dengan kata al aql, yaitu pikiran dalam bentuk kata kerja (ta’qiluun), bukan kata benda yang tak lain adalah ’otak’ (al mukhn). Ini bertemu dengan maksud filsuf Jerman abad pencerahan, Immanuel Kant: kebenaran hanya mungkin diperoleh dengan bekerjanya pikiran jernih, yaitu hati nurani atau nalar. Hati nurani bukan naluri karena naluri malas dan tidak diasah akan tersesat dan berbelok (Kant, The Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh DMJ Meiklejohn, 2010).
Posisi rentan
Kritik yang selama ini muncul, dunia pendidikan tak kunjung menjadi poros intelektual, bahkan tertinggal dari poros-poros lain, seperti industri, komunitas kreatif, pusat gerakan sosial, pusat riset non-kampus, dunia penerbitan, dan pers.
Di era otonomi daerah, dunia kampus malah terjebak pada kepalsuan (ilusif), besar kepala, dan bangga berjajar eselon dengan pimpinan daerah. Rektor, dekan, dan ketua jurusan kerap jadi ”borjuis kecil”. Mereka tak menjalankan organisasi pendidikan dengan sensitivitas yang bertumpu pada kepatutan, kebenaran, dan kemanusiaan. Jarang kita temukan rektor seperti Anies Baswedan atau Komarudin Hidayat. Tidak sekadar administrateur, tapi juga pemikir dan penggugah sosial.
Maka, jangan heran ketika perubahan dan peran intelektual tidak lagi dijalankan perguruan tinggi, tapi dilakukan aktivis politik, seniman, wartawan, agamawan, dan dosen secara individual. Mereka resah dengan situasi ketidakadilan dan keburukan wajah dunia dan mau mengoreksinya.
Maka, saya hormat kepada sosok seperti Eva Susanti Bande. Perannya mengadvokasi petani Banggai, Sulawesi Tengah, melawan perusahaan sawit menyebabkannya ”disekolahkan” di dalam penjara. Saya salut dengan ketegasan Prof JE Sahetapy mengkritik kebijakan hukum dan politik hingga usia uzur. Padahal, ia bisa memilih cara nyaman yang pasti akan mendapat kemudahan dari negara. Pilihan kritisnya malah tak disukai sejawat profesor birokrat.
Saya kagum dengan pejuang kemanusiaan di Papua: Markus Haluk, Fien Jarangga, Socrates, dll, karena protes tak kenal lelah kepada Jakarta, menyebabkan mereka berada pada posisi rentan. Kehidupan mereka tak pernah damai karena selalu dimata- matai. Mereka sangat mudah difitnah separatis, di-OPM-kan, atau masuk penjara.
Beberapa waktu lalu, Universitas Malikussaleh telah melakukan pemilihan rektor. Pemenangnya adalah petahana. Yang ditunggu, apakah proses itu akan melahirkan perubahan fundamental atau rutinitas kekuasaan di dunia kampus yang datang dan hilang, tanpa bekas intelektual?
Penting diingat, seharusnya kita semua terpanggil menjalankan peran intelektual, mengubah situasi, dan tidak sekadar menikmati pragmatisme jabatan. Kita semua harus terpanggil pada suara kenabian dan kebenaran, apa pun profesinya.
Teuku Kemal Fasya, Dosen di Universitas Malikussaleh dan Pekerja Sosial
Sumber: Kompas, 7 Juli 2014