Inisiatif Kota Lestari

- Editor

Selasa, 9 Juli 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di tengah kemacetan lalu-lintas dan asap knalpot, ada perempuan-perempuan cantik pekerja kantor yang bermasker atraktif. Mereka berupaya mencegah polutan masuk ke paru-paru, tetapi tetap trendi. Sadar atau tidak, dengan bermasker mereka sebenarnya tengah ”melawan” ketidakadilan pemerintah kota yang membiarkan udara kota tercemar.

Jakarta memang darurat polusi udara. Air Visual, situs penyedia peta polusi harian di kota-kota besar dunia, lagi-lagi menempatkan Jakarta (25/6) pada tingkat polusi tertinggi dengan nilai Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index/AQI) 240 (sangat tidak sehat).

Sepanjang 2018, Jakarta hanya memiliki kualitas udara baik 34 hari, udara sedang 135 hari, dan tidak sehat 196 hari (Greenpeace Indonesia, 2019). Polusi udara telah menjadi pembunuh senyap (WHO, 2018) dan masuk peringkat pertama penyebab kematian global (Global Environment Outlook, 2019).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Warga mengenakkan masker saat melakukan kegiatan luar ruang di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, untuk mengurangi paparan polusi udara, Rabu (26/6/2019). Menurut data AirVisual, situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia, Jakarta pada Rabu pukul 13.45 menempati urutan kedua kota dengan tingkat polusi tertinggi. Nilai Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta adalah 160 (unhealthy/tidak sehat). KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Kita sudah lama lupa bahwa udara kota yang bersih, segar, dan sehat adalah hak kita, warga kota. Kita memang sudah (sengaja) dilupakan terhadap hal-hal yang seyogianya merupakan hak dasar warga, seperti air bersih, rasa aman bepergian, atau berjalan kaki, bersepeda, bermain di taman dengan udara bersih. Tetapi siapa peduli?

Warga sudah lama dibiarkan tak tahu hak-hak mereka, termasuk hak mengetahui apa yang tengah terjadi di kotanya dengan polusi udara buruk. Kita perlu membangun kota yang lestari.

Kota lestari adalah kota yang dibangun dengan menjaga dan memupuk aset-aset kota-wilayah, seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan terbangun, keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektual, karunia sumber daya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana.

Hal ini selaras dengan amanat UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Jalan dan Lalu Lintas, dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Mengembangkan kota lestari berarti pembangunan manusia kota yang berinisiatif, partisipasif, dan bergerak bersama membangun perubahan. Penataan kota yang partisipatif dan mengadaptasi modal dan relasi sosial masyarakat akan menghasilkan penataan kota lestari dengan kriminalitas dan pengangguran yang minimal.

Kota lestari mendorong pengembangan jaringan kerja pemerintah daerah dengan para pemangku kepentingan perkotaan, menciptakan reformasi birokrasi dalam kegiataan penataan kota yang mengakomodasi inisiatif warga.

Proses partisipasi bukan sekadar soal sudah atau belum, tetapi juga keterjangkauan: apakah sudah sampai ke tingkat keberadaan dan aktivitas keseharian warga?

Caranya adalah dengan membekali warga peta dasar pengembangan kota mulai tingkat lingkungan RT/RW, kelurahan, kecamatan, hingga kota. Peta dalam bahasa yang mudah dimengerti masyarakat luas dengan desain menarik.

Dengan demikian, warga, misalnya, dapat mengembangkan peta rute jalur pejalan kaki dan pesepeda ke sekolah, pasar, kantor, taman, atau tempat ibadah. Berbekal peta itu warga dapat menuntut pemerintah kota menyediakan trotoar yang aman dan nyaman, serta infrastruktur sepeda meliputi rambu dan marka, parkir, dan sebagainya.

Kawasan kota dikembangkan berbasis pergerakan manusia (transit oriented communities/TOC). Pengembangan TOC berdasarkan 6D yakni destination (tujuan), distance (jarak), design (rancangan), density (kepadatan), diversity (keberagaman), serta demand management (mengelola kebutuhan).

Penerapan pembatasan kendaraan bermotor dalam kawasan dengan tujuan menekan emisi karbon dan polusi udara perlu disertai ketersediaan angkutan internal ramah lingkungan (bertenaga listrik, biogas) dan penghijauan. Warga tidak seharusnya dibiarkan berjuang sendiri melawan polusi udara.

NIRWONO JOGA PUSAT STUDI PERKOTAAN

Sumber: Kompas, 5 Juli 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB