Indonesia menjajaki kerja sama dengan Inggris untuk pemantauan laut, terutama dalam mencegah penangkapan ikan ilegal. Teknologi itu dinilai cocok diterapkan di Indonesia karena karakteristik geografis negara ini mirip dengan Inggris.
Namun, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) membatasi kerja sama hanya sebagai penunjang kemandirian membuat satelit. “Jadi, konteksnya bukan membeli meski nanti tetap ada tujuan komersialnya. Pemanfaatan teknologi adalah (ranah) kementerian, sedangkan Lapan dari segi pengembangan teknologi,” ucap Kepala Lapan Thomas Djamaluddin di sela lokakarya Kemampuan Surveilans dan Satelit Inggris dalam Aplikasi Bidang Maritim, yang diprakarsai Lapan dan Lembaga Antariksa Inggris (UKSA), Selasa (1/3), di Jakarta.
Kedua negara sudah menandatangani nota kesepahaman kerja sama, tetapi belum menentukan target waktu penandatanganan dan teknis kerja sama. Lapan masih mengidentifikasi kebutuhan, lalu mencocokkan dengan tawaran teknologi dan mekanisme pendanaan. Di sisi lain, Lapan menanti pembahasan selesai di kementerian terkait, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebutuhan Lapan ialah pengadaan komponen satelit karena ada sejumlah komponen buatan Inggris pada satelit buatan Lapan. Satelit Lapan A2/ORARI diluncurkan September 2015, lalu satelit Lapan A3/IPB ditargetkan meluncur Mei nanti. Sementara Lapan menargetkan membangun dua satelit lagi.
Thomas berharap, jika kerja sama berjalan, Lapan tak perlu membeli sejumlah komponen satelit dengan pola pengadaan barang dan jasa yang biasa, yakni lebih dulu memilih dari sekian alternatif di pasaran. “Untuk komponen tertentu, konsistensi teknologi memudahkan pengembangan,” katanya.
Sebelum dengan Inggris, Lapan bekerja sama dengan Jerman membangun satelit Lapan A1/TUBSat di Jerman. Setelah mendapat pengalaman dari Jerman, Lapan mengembangkan tempat perakitan satelit di Indonesia dan menghasilkan Lapan A2/ORARI serta bekerja sama dengan India agar satelit buatan anak bangsa itu bisa menumpang roket India. Selain itu, Lapan menjajaki kerja sama pengembangan teknologi peluncur satelit dengan Tiongkok.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik menyatakan, kerja sama bidang satelit dan pemantauan dengan Inggris akan membantu pembangunan Indonesia sebagai negara kepulauan amat luas. Contohnya, untuk menjaga sumber daya laut dan kehutanan, mengendalikan risiko kebakaran lahan, serta menjaga wilayah kedaulatan.
“Jika Indonesia ingin menjaga laut, caranya memakai teknologi satelit,” kata Moazzam. Pemanfaatan satelit bagi pembangunan jadi tren di negara berkembang, seperti Kazakhstan dan Nigeria.
Wilayah mirip
Head of International Space Policy UKSA Chris Lee mengatakan, karakter wilayah Indonesia dan Inggris mirip, yaitu kerap tertutup awan sehingga kedua negara butuh radar berupa synthetic aperture radar (SAR). Namun, satelit SAR mahal, butuh biaya lebih dari 100 juta poundsterling (Rp 1,8 triliun).
Kini, Inggris mengembangkan satelit SAR berbiaya murah bernama NovaSAR yang bisa menjadi cakupan kerja sama dengan Indonesia. Meski belum memadai untuk pencitraan daratan, NovaSAR cukup untuk mencitrakan lautan demi membantu pemantauan perairan bagi negara maritim seperti Indonesia dan Inggris. Harga satelit NovaSAR 20 juta-25 juta poundsterling (Rp 372,7 miliar-Rp 465,8 miliar) atau seperempat dari satelit SAR konvensional.
Nani Hendiarti, Asisten Deputi Bidang Iptek Kemenko Maritim dan Sumber Daya, menilai, teknologi satelit perlu untuk menghasilkan data pengindraan jauh kemaritiman. (JOG)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Inggris Tawarkan Teknologi Pemantauan Maritim”.