Visi kemaritiman pemerintahan Joko Widodo membawa angin segar bagi industri galangan kapal di Tanah Air. Implementasi konsep tol laut dan pengembangan perikanan tangkap diharapkan dapat mengatasi lesu darah industri galangan sekaligus menyongsong perdagangan bebas era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dimulai akhir 2015.
”Sejak ada larangan ekspor mineral mentah, pasar tongkang dalam negeri kelebihan pasokan. Selama ini, pasar itu penyerap terbesar tongkang-tongkang Batam,” ujar Suri Teo, manajer di PT Nexus Engineering Indonesia—industri galangan kapal di Batam, Kepulauan Riau.
Pemberian insentif penghapusan bea masuk untuk impor kapal kepada perusahaan pelayaran semakin mengurangi pesanan galangan kapal nasional. Industri galangan kapal dalam negeri selama ini terpuruk juga karena terkendala pembiayaan serta bahan baku yang tergantung impor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Bayangkan saja, bunga perbankan yang diberikan kepada industri galangan kapal sama seperti untuk membuat properti. Padahal, untuk membuat satu kapal butuh biaya besar,” kata Direktur PT PAL Indonesia Firmansyah Arifin. Sebanyak 70-80 persen biaya pembuatan kapal berasal dari pinjaman.
Besarnya biaya itu, antara lain, disebabkan sebagian besar bahan baku masih bergantung komponen dari luar negeri. PT Nexus Engineering Indonesia, misalnya, mengimpor 70 persen bahan baku, 40 persen di antaranya dari Tiongkok.
Untuk bahan baku kapal dalam negeri, hanya pelat baja yang bisa dipenuhi perusahaan di Indonesia, yaitu PT Krakatau Steel. ”Masalahnya, pasokannya tidak selalu cukup,” kata Manajer Asosiasi Pemilik Galangan Kapal Batam Novi Hasni. Selain itu, pengiriman juga lebih lama daripada jika mengimpor.
Akhirnya, impor bahan baku menjadi keharusan. ”Tidak ada industri hulu di dalam negeri yang menopang bahan baku pembuatan kapal,” kata Firmansyah.
Dukungan pemerintah
Tingginya suku bunga pinjaman untuk membuat kapal dan penetapan pajak komponen impor 10 persen dan bea masuk komponen impor 5-12 persen membuat harga kapal produksi dalam negeri lebih tinggi 20-30 persen dibandingkan dengan kapal dari luar negeri.
”Malaysia, contohnya, tidak memberlakukan cukai,” kata Ketua Asosiasi Galangan Kapal Indonesia dan Presiden Direktur Steadfast Marine Eddy K Logam akhir Oktober lalu di Pontianak, Kalimantan Barat.
Jika pemerintahan baru serius dengan visi maritimnya, persoalan-persoalan yang sebetulnya berkutat di dalam negeri itu harus diatasi. Soal kualitas, produksi kapal dalam negeri tidak kalah dari buatan luar negeri. Bahkan, beberapa industri galangan kapal sudah merambah pasar luar negeri.
Steadfast Marine, misalnya, menjual 10-15 kapal per tahun ke Singapura. Sementara PT Mariana Bahagia di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, biasa melayani pembuatan kapal berbendera asing.
Produk yang dipasarkan di dalam negeri pun berkualitas ekspor. Steadfast Marine baru-baru ini meluncurkan kapal keruk dengan bobot mati 3.000 ton yang berkapasitas 2.500 meter kubik lumpur kering. Ini merupakan kapal keruk pertama buatan Indonesia yang dikerjakan tenaga ahli dalam negeri di bawah supervisi Damen Shipyards Gorinchem, Belanda.
Steadfast Marine juga memproduksi jenis kapal lain, seperti kapal tunda (landing craft transport), kapal pendukung
penyelaman (diving support vessel), serta kapal cepat pengangkut penumpang (fast crew supplier).
PT Mariana Bahagia baru-baru ini juga menyelesaikan pembuatan KMP Sebuku, kapal jenis roll on roll (roro) berbobot 5.000 gros ton. Kapal pesanan Kementerian Perhubungan ini merupakan salah satu kapal terbesar yang pernah dibuat di dalam negeri. Kapal yang akan melayani penyeberangan Merak-Bakauheni ini berkapasitas 800 penumpang dan puluhan kendaraan roda empat.
Potensi besar
Pesanan kapal dipastikan akan lebih banyak lagi jika tol laut terwujud. Program ini akan menjadi potensi pasar yang besar bagi industri galangan kapal nasional. ”Tol laut, kan, sarana pendukungnya kapal. Ini kesempatan yang bagus bagi semua galangan kapal dan industri pendukungnya untuk bisa berkiprah,” kata Firmansyah.
”Bagi kami, itu berarti akan lebih banyak dibutuhkan anjungan pengeboran baru, kapal-kapal logistik, belum lagi kapal-kapal militer. Mudah-mudahan pemenuhan dari dalam negeri bisa lebih diprioritaskan,” ujar Suri Teo.
Kemampuan industri galangan kapal mengekspor produknya ke luar negeri menunjukkan industri ini berdaya saing. ”Tinggal bagaimana kebijakan pemerintah mendukung industri itu,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman.
Karena itu, konsep tol laut harus didukung dengan regulasi dan kebijakan kapal yang digunakan untuk tol laut yang dibuat di galangan kapal dalam negeri. Hampir semua kebutuhan kapal dalam negeri bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Dalam hal ini, menurut Eddy, harus ada transparansi kebutuhan kapal dalam jangka menengah dan panjang dari pemerintah. Dengan demikian, galangan kapal bisa mempersiapkan diri memproduksi kapal yang diperlukan.
Selain itu, regulasi pendukung, seperti bea masuk impor, juga harus diupayakan untuk mendukung pengembangan industri kapal dalam negeri. Subsidi bunga pinjaman juga perlu diberikan agar industri galangan kapal mudah mengakses permodalan.
Ini bukan hanya membangkitkan industri kapal dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga agar mampu bersaing dengan industri kapal luar negeri. Jika tidak, kebutuhan kapal yang tinggi akan terisi kapal-kapal dari luar negeri. Dan, perdagangan global era MEA yang seharusnya menjadi kesempatan besar bagi industri kapal dalam negeri bukan tak mungkin justru akan membuat mereka sekadar menjadi penonton.
Oleh: Kris R Mada/Emanuel Edi Saputra/Harry Susilo/D Herpin Dewanto Putro/ Irene Sarwindaningrum
Sumber: Kompas, 28 November 2014