Budaya Ingin Tahu Semakin Hilang
Budaya riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia mengkhawatirkan. Penurunan drastis, terutama pada riset dasar, ditandai rendahnya investasi dan sumbangan Indonesia pada riset dasar yang amat rendah, ketinggalan dari negara-negara tetangga.
“Publikasi ilmiah dari Indonesia yang diakui di dunia amat rendah, kalah jauh, bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia, Filipina, dan Thailand, ataupun negara-negara lain yang berpendapatan nasional lebih rendah dari kita,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sangkot Marzuki, di sela- sela “Festival Budaya Melanesia” di Kupang, Kamis (29/10).
Rendahnya publikasi ilmiah ini sejalan dengan rendahnya investasi di bidang riset dasar. “Sejak 2007, pembiayaan riset dasar makin berkurang, bahkan hampir habis, dibandingkan riset terapan. Jika pada 2007 jumlahnya hampir berimbang dengan riset terapan, sekarang persentasenya makin turun,” kata Sangkot.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mestinya riset dasar dan terapan dilakukan sejalan. Namun, ada kecenderungan pengabaian riset dasar,” ujarnya.
Ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo mengatakan, dukungan pendanaan nasional untuk riset-riset dasar sulit diperoleh. “Jika kita tak bekerja sama dengan luar negeri, sangat sulit membiayai riset-riset dasar. Misalnya, riset untuk memetakan genetika manusia Indonesia, kebanyakan karena ada dukungan dari luar,” ujarnya.
Sebelumnya, mantan Kepala Badan Geologi, Surono, mengemukakan, anggaran riset dasar kebumian saat ini dipotong hingga separuhnya. Pemerintah lebih tertarik pada riset-riset yang dianggap bisa berdampak langsung terhadap kebijakan.
“Akibatnya, perguruan tinggi yang seharusnya melakukan riset-riset dasar banyak yang akhirnya memilih riset terapan agar mendapat dana,” ucapnya.
Kepala Research Center for Disaster Mitigation (RCDM) Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano mengatakan hal serupa. Soal kebencanaan, misalnya, dana lebih ke terapan yang dianggap berdampak langsung kepada masyarakat, seperti manajemen pengurangan risiko bencana. “Tanpa riset dasar untuk mengetahui ancamannya, tidak bisa mengurangi risiko,” katanya.
Sekalipun mendapat perhatian lebih, jumlah paten di Indonesia masih sangat rendah, kalah dari Malaysia, Thailand, bahkan Filipina.
Budaya pengetahuan
Sangkot mengatakan, riset dasar berlandaskan rasa ingin tahu untuk menemukan jawaban atas fenomena dan masalah yang ada. “Kalau menemukan jawaban, akan ada pertanyaan baru, begitu seterusnya. Output-nya adalah ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Sementara ilmu terapan lebih didorong kebutuhan masyarakat. Ukuran suksesnya adalah produk yang diterima pasar. “Itu muncul dari dua budaya berbeda, tidak boleh hanya salah satu,” katanya menambahkan.
“Saya khawatir, budaya ingin tahu makin hilang. Misalnya, kasus kebakaran dan kabut asap. Ini sudah bertahun-tahun terjadi, seharusnya bisa dicari jawabannya melalui ilmu pengetahuan. Masalahnya, kebijakan publik juga sering kali belum didasari ilmu pengetahuan, lebih bersifat politis,” kata Sangkot. (AIK)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “Indonesia Krisis Iptek”.