Indonesia Krisis Ilmuwan

- Editor

Rabu, 5 November 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Untuk memperingati Sumpah Pemuda ke-86, Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) bersama Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Selasa (21/10), menyelenggarakan diskusi umum. Acara ini diisi peluncuran dan diskusi buku ”Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru” karya Andrew Goss.

Tasha Agrippina, pengurus PPMI yang menjadi moderator, saat membuka diskusi berpendapat, buku yang baru diterbitkan oleh penerbit Komunitas Bambu itu penting bagi generasi muda. ”Jika kelak mereka menjadi ilmuwan (harus) tetap memprioritaskan ilmunya bagi rakyat,” katanya.

Diskusi yang berlangsung di Galeri Cemara, Menteng, Jakarta, ini menghadirkan Sangkot Marzuki (Ketua AIPI) dan Toeti Heraty Noerhati Rooseno (budayawan) sebagai pembicara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sangkot Marzuki mengatakan, Indonesia mengalami krisis ilmuwan karena adanya kontrol negara yang berlebih terhadap ilmuwan. ”Berlebihnya kontrol negara membuat ilmuwan menjadi tumpul dalam meneliti dan berinovasi,” tuturnya.

Dia melanjutkan, di negara maju, jumlah ilmuwan linear dengan taraf kemakmuran rakyat. ”Ilmuwan harus bisa menaikkan taraf hidup rakyat dengan keilmuan yang dia miliki. Ilmu harus berpihak kepada rakyat kecil,” katanya.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat, sampai tahun 2014 rasio ilmuwan atau peneliti Indonesia hanya 205 orang per satu juta penduduk. Sementara di negara lain misalnya Korea Selatan memiliki 4.627 ilmuwan, Jepang 5.573 orang, dan Singapura 6.088 orang. Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 72 negara berdasarkan data United Nations Development Programme (UNDP).

Untuk menyiasati kurangnya ilmuwan dan hasil penelitian, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan memberikan dana untuk setiap penelitian. Namun, Sangkot menilai kebijakan itu keliru.

”Sistem pendanaan penelitian hanya membuat ilmuwan mahir merekayasa hasil laporan penelitian, bukan menciptakan penemuan baru,” katanya.

Tak independen
Adapun Toeti menyatakan, selama ini hasil penelitian dari ilmuwan digunakan pemerintah untuk melegitimasi kekuasaan yang memihak segelintir orang. Modal dan negara merupakan kekuatan yang membahayakan independensi ilmuwan.

Banyak ilmuwan gagal menjaga independensi penelitiannya. Mereka hanya menjadi ilmuwan meja tulis. ”Ini sistem yang membuat keilmuan di Indonesia mengalami kegagalan,” kata Toeti.

b485ce15c10f4555bc2538479d5aacc9Sosiolog Thamrin Amal Tomagola yang hadir dalam acara itu menambahkan, hegemoni negara terhadap semua sendi kehidupan rakyat sangat kuat. Hal tersebut membuat tidak adanya sekat antara ilmuwan dan birokrat.

”Banyak ilmuwan menjadi birokrat. Karena jadi birokrat, eksperimen jadi dibatasi,” tutur sosiolog yang mengajar di Universitas Indonesia ini.

Thamrin menegaskan, adanya pembatasan bereksperimen menjadi musabab ilmuwan Indonesia lebih memilih bekerja di luar negeri. Alhasil, di dalam negeri, Indonesia kekurangan ilmuwan.

Ciptakan peluang
Sementara itu, sejarawan JJ Rizal menyatakan, ada masalah pada transfer pengetahuan terhadap generasi muda. ”Pendidikan kembali menjadi sorotan. Sebab, tidak ada generasi muda yang mau menciptakan peluang. Mereka sangat berkompromi dengan hidup, seperti orang tua,” ucapnya.

Menurut Rizal, situasi tersebut mengakibatkan sebuah masalah sistemik, yang membuat kondisi Indonesia kembali mengulang seperti 100 tahun yang lalu. ”Ada sistem yang dibuat dengan sedemikian rupa oleh Orde Baru. Ini yang membuat kita kembali terjebak pada situasi awal abad ke-20,” ungkap Rizal.

Ia menjelaskan, pendidikan hanya dijadikan gengsi, siswa atau mahasiswa tak lagi memikirkan kemampuan apa yang dimiliki selama belajar di lembaga pendidikan. Namun, yang mereka pikirkan adalah bagaimana bisa mendapat ijazah dan bekerja.

Sejarawan itu kemudian menanyakan peran mahasiswa setelah lulus dari kampus, ”Ke mana lulusan Fakultas Pertanian? Indonesia masih impor pangan. Lalu, ke mana lulusan Fakultas Teknik? Jarum saja masih buatan Tiongkok,” kata Rizal.

Menurut Rizal, tantangannya adalah membuat pendidikan yang mampu menciptakan anak muda yang tersadarkan.

”Melalui pendidikan, kita harus punya pemuda-pemuda yang sadar dan melampaui dirinya sendiri. Sebab, pada hakikatnya pemuda dan ilmuwan itu sama, yakni menciptakan peluang dan bertindak untuk rakyat. Agar tidak ada lagi ilmuwan yang disebut sarjana tukang,” ujarnya.

Oleh: VIRDIKA RIZKY UTAMA Mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Sumber: Kompas, 4 November 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Maung, Mobil Nasional yang Tangguh dan Cerdas: Dari Garasi Pindad ke Jalan Menuju Kemandirian Teknologi
Berita ini 144 kali dibaca

Informasi terkait

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Berita Terbaru

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB