Indonesia Butuh Banyak Profesor Riset

- Editor

Rabu, 16 November 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Idealnya, Indonesia punya 30 persen profesor riset. Dari 9.477 peneliti fungsional di lembaga riset dan kementerian, saat ini baru ada 465 profesor riset atau sekitar 5 persen. Namun, hanya 232 profesor riset yang aktif, sementara 233 profesor riset sudah pensiun, meninggal, ataupun diberhentikan.

Sekretaris Majelis Pengukuhan Profesor Riset (MPPR) Enny Sudarmonowati, seusai mengukuhkan dua profesor riset di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Jakarta, Kamis (10/11), mengatakan, jumlah profesor riset itu akan berkurang lagi karena akhir November ada beberapa orang pensiun.

Selain jumlah peneliti terus berkurang, mereka juga menua. Sejumlah lembaga riset berharap agar bisa dikecualikan dari program moratorium perekrutan pegawai negeri sipil (PNS) yang dilakukan pemerintah. Namun, hingga kini, mereka tak bisa merekrut pegawai baru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Kami hanya minta ganti yang pensiun, bukan menambah, tetapi tetap tidak bisa,” kata Enny, yang juga Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Profesor riset yang dikukuhkan kemarin ialah Erna Sri Adiningsih dan Muchlisin Arief. Keduanya adalah profesor riset bidang teknologi penginderaan jauh (inderaja). Dalam orasi ilmiahnya, Erna memaparkan pemanfaatan inderaja untuk mendeteksi bencana hidrometeorologi. Adapun Arief mengulas pemanfaatan matematika untuk mengolah citra digital inderaja.

Kepala Lapan Thomas Djamaluddin menambahkan, tambahan dua profesor riset itu membuat Lapan punya lima profesor riset aktif. Total profesor riset Lapan berjumlah 16 orang, tetapi sebagian besar sudah pensiun atau kembali ke perguruan tinggi.

Selain bidang inderaja, profesor riset aktif Lapan lain berasal dari bidang sains atmosfer dan antariksa 2 orang serta dari bidang kajian kebijakan penerbangan dan antariksa 1 orang.

“Tak ada lagi profesor riset bidang teknologi penerbangan dan antariksa, baik teknologi roket, satelit, maupun aeronautika, karena belum ada ganti profesor riset sebelumnya yang pensiun,” ucapnya.

Menurut Enny, dari pengelompokan ratusan bidang kepakaran profesor riset yang disusun MPPR, banyak bidang belum punya profesor riset. Jadi, MPPR mendorong agar kian banyak peneliti dari 42 lembaga riset dan kementerian jadi profesor riset.

Insentif
Masalah insentif peneliti yang dulu jadi penghambat, kata Enny, seharusnya tak lagi jadi soal. Kini tunjangan peneliti fungsional, termasuk profesor riset, hampir sama dengan PNS yang menduduki jabatan struktural dari golongan yang sama. Sebagian perolehan dari paten bisa dinikmati peneliti.

Hal itu seharusnya memacu peneliti untuk melanjutkan pendidikan formal hingga program doktoral. Di sisi lain, mereka harus lebih giat meneliti, menulis jurnal, atau menjalankan fungsi layanan ke publik sesuai bidang keahlian. “Jika aktif, peneliti bisa naik pangkat lebih cepat, hanya 2 tahun dari kondisi normal 4 tahun sekali,” kata Thomas.

Agar bisa menjalankan semua tugas, Enny menilai, peneliti harus pandai membagi waktu agar tugas utama sebagai peneliti tak terlupakan. Peneliti juga harus berkolaborasi dengan peneliti lain. Dengan berjejaring, proses riset dan penulisan jurnal ilmiah akan jadi lebih mudah. (MZW)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 November 2016, di halaman 14 dengan judul “Indonesia Butuh Banyak Profesor Riset”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 17 Juli 2025 - 21:26 WIB

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Berita Terbaru

fiksi

Cerpen: Taman di Dalam Taman

Jumat, 18 Jul 2025 - 21:45 WIB

Artikel

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya

Kamis, 17 Jul 2025 - 21:26 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Kota di Bawah Masker

Kamis, 17 Jul 2025 - 20:53 WIB

fiksi

Cerpen: Simfoni Sel

Rabu, 16 Jul 2025 - 22:11 WIB