Para birokrat baru tersadar bahwa anggaran riset secara nasional selama ini sangatlah rendah. Hal ini menyebabkan iklim penelitian di Indonesia tidak kondusif sehingga banyak dosen atau peneliti yang melakukan penelitian sekadarnya, hanya untuk mencari kum (angka kredit) guna kenaikan pangkat.
Padahal, mereka dulu disekolahkan pemerintah ke berbagai perguruan tinggi di mancanegara dengan biaya ratusan juta rupiah sampai meraih gelar master atau doktor.
Kini timbul penyesalan, seolah-olah kita rugi menyekolahkan sampai ke luar negeri kalau ternyata output-nya tidak maksimal. Output di sini dapat diartikan karya-karya ilmiah yang berbobot, terpublikasi di jurnal internasional, ataupun riset-riset yang mampu memberikan kontribusi bermakna bagi pembangunan negara kita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sesungguhnya bukan hanya pemerintah yang merasa rugi. Para peneliti pun sungguh sangat kecewa karena kemampuan ilmiahnya mubazir berhubung tidak dapat melaksanakan tugasnya secara optimal sebagai peneliti yang baik.
Peneliti yang hidup di negara sedang berkembang memang tidak akan pernah mendapatkan kondisi riset yang ideal sebagaimana pengalamannya ketika bersekolah di negara maju. Di Indonesia, dana sebuah riset yang bernilai Rp 40 juta setahun diperebutkan oleh ratusan peneliti atau dosen. Padahal, dari dana tersebut biasanya 30 persen dialokasikan untuk honorarium. Jadi, bisa dibayangkan kualitas riset macam apa yang dapat dihasilkan dari anggaran yang hanya Rp 28 juta?
Sibuk sendiri-sendiri
Para dosen/peneliti akhirnya menjadi apatis karena sangat kompetitifnya dana riset yang jumlahnya tak seberapa itu. Sebagian dari mereka lebih menikmati pekerjaan sebagai konsultan swasta, ada yang menjadi birokrat (staf ahli menteri, dirjen, atau sekjen), atau sibuk mengajar di berbagai perguruan tinggi swasta. Jadi, lengkap sudah penderitaan bangsa ini karena orang yang pintar-pintar pun akhirnya sibuk sendiri-sendiri.
Sebagian dosen/peneliti di Indonesia adalah lulusan S-2/S-3 dari mancanegara. Mereka telah membuktikan diri sebagai mahasiswa yang andal di negeri orang. Keberhasilan mereka ditunjukkan dengan kemampuan mereka mengatasi kendala bahasa asing dan juga dari hasil riset yang ditulis dalam bentuk tesis atau disertasi. Bahkan, banyak di antara mereka memublikasikan hasil-hasil riset mereka selama belajar di luar negeri dalam jurnal ilmiah prestisius. Ini menjadi indikator bahwa dosen/peneliti Indonesia sebenarnya mempunyai kemampuan sama baiknya dengan peneliti dari mancanegara dalam hal menulis hasil penelitian untuk diterbitkan dalam jurnal ilmiah.
Sayangnya, setelah berada di Tanah Air, mereka tadi menjadi kurang produktif karena harus berkejaran dengan semangat mempertahankan hidup di tengah hiruk-pikuk perilaku konsumtif masyarakat di sekitarnya. Karena itu, untuk membenahi pudarnya budaya riset di perguruan tinggi atau lembaga penelitian, pemerintah harus turut bertanggung jawab.
Wujud tanggung jawab pemerintah dalam hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, tingkatkan penghargaan kepada dosen/peneliti dengan memberikan insentif berupa gaji yang memadai. Pemerintah adalah big manager. Manajer yang baik akan menggaji karyawannya sehingga seluruh anggota keluarga karyawan tersebut (anak/istri) bisa hidup layak. Kedua, tingkatkan ketersediaan dana riset sehingga mereka betah berada di kampus atau institusi riset masing-masing. Mereka harus punya kesibukan yang membanggakan, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) melalui riset. Sangat terbatasnya dana penelitian yang disediakan pemerintah akan memupuskan semangat meneliti.
Idealnya, penyediaan dana riset di perguruan tinggi memang bukan melulu tanggung jawab pemerintah. Sektor industri harus ikut memberikan kontribusi menyumbangkan dana riset. Karena itu, peningkatan mutu penelitian sebaiknya dipikul bersama antara pemerintah dan industri.
Yang terjadi saat ini adalah perguruan tinggi atau lembaga riset asyik sendiri dengan melakukan riset-riset yang mungkin tak laku dijual ke pihak industri. Sementara industri merasa bisa berkembang dengan hanya membeli teknologi dari luar negeri atau mendirikan divisi litbang. Padahal, lembaga penelitian adalah institusi yang mempunyai sumber daya manusia peneliti bermutu tinggi. Selain itu, juga tersedia fasilitas penelitian (laboratorium) yang canggih yang belum optimal pemanfaatannya.
Dana riset
PT Bogasari pernah memberikan dana riset dengan total nilai Rp 600 juta untuk para mahasiswa pascasarjana dan dosen perguruan tinggi yang bersedia melakukan kajian dengan topik yang terkait dengan terigu. Ini langkah awal yang perlu ditiru oleh industri lainnya. Memang diperlukan keterbukaan kedua belah pihak, antara universitas atau lembaga riset dan industri, tentang riset apa yang bisa dilakukan dan berapa dana yang dapat disediakan industri.
Masalah lain yang masih terkait dengan pengembangan riset adalah keterbatasan jurnal ilmiah bermutu yang dapat digunakan sebagai wahana penyampaian perkembangan iptek. Sebenarnya ini merupakan kritik untuk para pengurus organisasi profesi. Jangan hanya sibuk menyelenggarakan seminar atau kongres lima tahun sekali, namun melalaikan kegiatan ilmiah lainnya. Kita harus becermin dan belajar bagaimana organisasi profesi di luar negeri bisa memberikan sumbangan signifikan dalam menyediakan wahana diseminasi iptek dalam bentuk penerbitan jurnal ilmiah yang bermutu baik.
Di Indonesia, jurnal ilmiah justru lahir di jurusan atau fakultas di suatu universitas. Akhirnya muncul fenomena yang menggelikan, penulis artikel ilmiah adalah dosen di Jurusan A, redaksinya juga dosen di Jurusan A, dan pelanggannya juga berasal dari Jurusan A. Jadi, benar-benar sesuai dengan moto dari kita untuk kita. Dunia ilmiah di Indonesia memang benar-benar sangat sempit.
Ali Khomsan Guru Besar IPB
Sumber: Kompas, Kompas, 23 Mei 2006-