Di Indonesia, menjadi ilmuwan bukanlah pekerjaan mudah. Bukan hanya soal terbatasnya dana atau alat penunjang penelitian, budaya meneliti pun belum berkembang di banyak perguruan tinggi. Karena itu, mereka yang mencoba teguh menjalankan panggilan keilmuannya harus tangguh menantang badai.
Repotnya menjadi ilmuwan di Indonesia itu membuat sebagian peneliti memilih berkarier di luar negeri. Itu bukanlah pilihan mudah karena tarikan nasionalisme dan rasionalisme untuk memenuhi hasrat keilmuwannya. Meski demikian, masih banyak peneliti yang bertahan di Indonesia.
Aiyen B Tjoa, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, dalam Simposium Sains Australia-Indonesia (AISS) di Canberra, Australia, Kamis (1/12), mengatakan, kesenjangan kualitas manusia, kurang mendukungnya infrastruktur riset, dan tak tersedianya tenaga pendukung adalah tantangan ilmuwan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Untuk meneliti dengan baik, ilmuwan butuh dukungan banyak pihak yang berkualitas katanya. Di negara maju, suasana riset di perguruan tinggi sangat terasa hingga ke sudut-sudut kampus. Kelompok riset yang dipimpin profesor yang kompeten di bidangnya ada di mana-mana. Diskusi ilmiah pun bisa di mana saja dan kapan saja, tanpa terlalu terikat aturan birokrasi.
Di Indonesia, kelompok riset terfokus sulit ditemui. Meski banyak dosen, sebagian besar fokus ke pengajaran atau jadi konsultan proyek. Tenaga pendukung pun kurang ahli atau terpaku pada soal administrasi. Bahkan, ada yang ke kampus sekadar memenuhi syarat kehadiran.
Tidak membudayanya riset membuat mereka yang berusaha konsisten menjalankan penelitian sembari mengerjakan tuntutan pekerjaan rutin sebagai dosen, justru sering kali dianggap ”makhluk aneh”. Tak jarang mereka jadi sumber iri hati rekan sejawat lainnya.
”Mau berbicara bahasa Inggris dianggap tak nasionalis, mau mengadakan diskusi ilmiah dianggap sok rajin, menjalin hubungan dengan peneliti luar negeri untuk memperluas jaringan dan keilmuan justru dianggapi sombong,” tambah Aiyen.
Di tengah keterbatasan infrastruktur riset dan kurang mendukungnya budaya riset, bekerja sama dengan peneliti asing bisa jadi solusi. Kemitraan itu bukan berarti kemampuan peneliti Indonesia lebih rendah, tetapi banyak pengetahuan keilmuan dalam konteks Indonesia bisa dibagi dan ingin dipelajari ilmuwan mancanegara.
Selain itu, peneliti negara maju umumnya tak memandang rendah ilmuwan negara lain. Bahkan sering kali membantu dan memberi saran atas berbagai hambatan yang dihadapi. Meski saling bersaing, mereka tak ragu saling membantu.
”Kalau penelitian kita ditolak di jurnal internasional, sangat wajar. Semua peneliti akan mengalami. Hanya butuh ketidakbosanan untuk terus memperbaiki dan mengirim kembali,” kata Aiyen yang memfokuskan riset pada pengukuran logam berat di tanaman dan emisi tanah akibat pemupukan dan penggunaan lahan.
Di sisi lain, sejumlah dosen Indonesia yang baru menyelesaikan studi di luar negeri justru banyak yang diangkat menjadi pejabat struktural di kampus, mulai tingkat program studi hingga rektorat. Itu membuat waktu meriset makin terbatas.
Rendahnya kesejahteraan peneliti atau dosen perguruan tinggi juga tak bisa dipandang sebelah mata. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro seusai membuka AISS, Senin (28/11), mengakui rendahnya kesejahteraan dosen membuat sebagian dosen lebih sibuk mengajar atau menjadi konsultan proyek.
”Kebutuhan individu dosen untuk bertahan hidup membuat mereka kurang banyak meneliti,” katanya. Kondisi itu tak jadi soal bagi peneliti negara lain.
Ahli oseanografi dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB Alan F Koropitan mengatakan, lemahnya budaya riset dan kurangnya sistem pendukung riset adalah fenomena umum pada semua universitas di Indonesia. ”Banyak pihak membicarakan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Namun, banyak yang lupa bahwa system pendukung riset juga penting,” katanya.
Rendahnya budaya rlset dan sistem pendukung riset di Indonesia itu dinilai Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (AlMI) Jamaluddin Jompa sebagai tanda rendahnya perhatian dan kepedulian negara pada peneliti. ”Tidak ada bangsa maju tanpa inovasi dan tidak ada inovasi tanpa peneliti,” katanya.
Dana riset
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sangkot Marzuki menilai, rendahnya budaya riset di Indonesia harus segera diatasi. Kelompok-kelompok riset di bidang tertentu itu harus dibangun. Di luar negeri, kelompok riset itu biasanya dipimpin profesor yang kompeten dan beranggota peneliti berpendidikan doktor, serta mahasiswa program doktor dan magister.
Tanpa kelompok riset yang terarah itu, penelitian di perguruan tinggi sulit berkembang. ”Ini adalah persoalan mendasar riset Indonesia dan butuh dukungan besar semua pihak untuk mewujudkannya,” katanya.
Keberadaan kelompok riset itu, lanjut Sangkot, diharapkan bisa didorong dengan Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI). Meski skalanya masih kecil diharapkan terus berkembang. Menurut Wakil Ketua AIPI Satryo Soemantri Brodjonegoro, DIPI yang baru berjalan kurang dari satu tahun itu dirancang memfasilitasi riset. Dana itu terbuka bagi semua peneliti yang mengajukan proposal penelitian, baik individu maupun berkelompok, satu bidang keilmuan atau lintas ilmu, serta dari lembaga sama atau berbeda.
”Penilai proposal ilmuwan terkemuka di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Australia. Beberapa penilai penerima Hadiah Nobel,” katanya. Dana riset yang diberikan bukan hanya bisa dimanfaatkan untuk membiayai proses risetnya, tetapi juga berbagai kegiatan memfasilitasi riset, mulai pembentukan kluster-kluster ris set tertentu hingga menyekolahkan anggota peneliti ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Menurut Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristek dan Dikti Muhammad Dimyati, pemerintah berusaha menyelesaikan berbagai masalah dari hulu hingga hilir. Di hulu, berbagai regulasi yang menghambat perlahan diperbaiki. Di hilir, keterkaitan riset dengan industri terus diselesaikan.
Hanya dengan memperbaiki iklim riset, inovasi, dan daya saing Indonesia bisa diperbaiki. Dengan inovasi itu, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan bernilai tambah demi meningkatkan kesejahteraan bangsa bisa dilakukan. (N ZAID WAHYUDI)
Sumber: Kompas, 5 Desember 2016