Ilmuwan Indonesia Diincar

- Editor

Jumat, 28 Oktober 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Anggaran Penelitian Cuma Sekitar 0,3 Persen dari APBN

POSTUR PENELITIAN DI INDONESIA

Sejumlah ilmuwan dan peneliti muda asal Indonesia diincar sejumlah negara. Mereka diiming-imingi berbagai fasilitas, tempat riset yang memadai, dan gaji besar asalkan bekerja di sana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Perburuan terhadap ilmuwan-ilmuwan muda tersebut sangat agresif. Selain datang ke kampus-kampus di luar negeri dan berburu mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil program doktoral, mereka juga datang ke sejumlah lembaga riset di Tanah Air.

Mereka mengetahui, perhatian Pemerintah Indonesia terhadap ilmuwan dan peneliti sangat minim. Selain gaji kecil dan fasilitas penelitian sangat terbatas, peneliti juga sangat sulit mendapatkan hak paten atas penemuan yang sudah dilakukan. Mengetahui kelemahan ini, negara lain menawarkan fasilitas yang tidak diberikan oleh Pemerintah Indonesia.

”Perguruan tinggi di Malaysia sempat menawarkan gaji total (take home pay) 5.000 dollar AS (sekitar Rp 45 juta) per bulan,” kata Lukijanto, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, di Jakarta, Sabtu (22/10). Tawaran itu disampaikan saat Lukijanto akan ujian akhir doktoral di bidang pesisir dan kelautan di Kyushu University, Jepang, tahun 2009. Sejumlah mahasiswa doktoral lainnya mengungkapkan hal yang sama, ditawari menjadi dosen atau peneliti di negara lain dengan fasilitas sangat memadai.

Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara mengatakan, gaji berikut tunjangan seorang profesor riset LIPI saat ini sekitar Rp 5 juta per bulan. Jumlah ini jauh dibandingkan dengan profesi yang sama di Amerika Serikat yang diberikan gaji sekitar Rp 90 juta per bulan atau di Jepang sekitar Rp 600 juta. Adapun di Pakistan, gaji ilmuwan terkemuka bisa tiga kali dari gaji seorang menteri.

Namun, selain gaji, yang sangat didambakan seorang peneliti adalah fasilitas riset yang memadai. ”Fasilitas ini yang sangat kurang di Indonesia,” kata Endang Sukara. Tak heran jika kemudian, pada tahun 1990-1992, ada 177 peneliti LIPI yang pindah ke swasta, instansi lain, dan keluar negeri.

Selain fasilitas penelitian yang kurang, untuk mendapatkan hak paten di Indonesia juga sangat sulit, berbelit-belit, dan lama, bisa sampai sembilan tahun. Padahal, paten adalah kebanggaan dan pengakuan terhadap peneliti sekaligus tambahan keuangan dari royalti yang dia dapatkan.

”Selama 2001-2010, paten milik 237 juta penduduk Indonesia hanya 115,” kata Nani Grace Berliana dari Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI.

Perhatian kurang

Perhatian pemerintah terhadap orang-orang cerdas dan berprestasi, termasuk ilmuwan dan peneliti, hingga saat ini masih minim. Sejumlah lomba penelitian digelar, tetapi tak jelas kelanjutannya.

Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang diselenggarakan sejak 1969, atau 42 tahun lalu, misalnya, hingga saat ini para juaranya tak terlacak keberadaannya. Begitu pula para juara Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) yang memasuki tahun ke-10 dan Pemilihan Peneliti Muda Indonesia (PPMI), yang terakhir dilaksanakan 2009, tidak dipantau perkembangan prestasi para penelitinya. Belum lagi para juara olimpiade internasional.

Memang sejak tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar para juara olimpiade internasional difasilitasi untuk dapat kuliah hingga jenjang doktor.

”Kenyataannya, untuk mendapat beasiswa itu butuh waktu lama dan berbelit-belit sehingga banyak yang mencari beasiswa dari luar negeri,” kata Penasihat Tim Olimpiade Fisika Indonesia Yohanes Surya.

Anggaran minim

Bukan cuma perhatian yang kurang. Anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk kegiatan penelitian juga sangat kecil. Selama 1999-2007, anggaran penelitian hanya sekitar 0,3 persen dari APBN.

Kecilnya anggaran ini menyebabkan dana penelitian harus dibagi-bagi untuk 62.995 orang yang bergerak di bidang penelitian, yakni peneliti, teknisi, dan staf pendukung. Anggaran yang tidak sebanding menyebabkan penelitian tidak bisa berlanjut. Penelitian harus ditunda beberapa tahun menunggu kucuran dana selanjutnya.

”Berbagai kendala ini, ditambah suasana lembaga penelitian yang tidak kondusif, menyebabkan peneliti-peneliti menerima tawaran dari luar negeri,” kata Fahmi Amhar, profesor Riset Geomatika di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar mengatakan, negara sebenarnya bisa memanfaatkan orang-orang berprestasi tersebut asalkan diberikan kesempatan. Namun, sayangnya, kesempatan itu sangat kecil sehingga mereka memilih mengembangkan kemampuan di luar negeri.

Meski demikian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah tidak bisa memaksa orang-orang berprestasi tersebut kembali ke Indonesia.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso juga tidak keberatan jika siswa-siswa berprestasi di Indonesia memilih bekerja di luar negeri. ”Namun, penerima beasiswa memang seharusnya pulang karena pendidikannya sudah dibiayai oleh pemerintah,” kata Djoko.

Namun, Djoko tidak sependapat jika keterbatasan sarana menjadi alasan kepindahan ke luar negeri. ”Keterbatasan sarana mestinya menjadi tantangan untuk tetap bekerja,” ujarnya.

(AIK/MZW/LUK/NAW/ISW/YUN)
ILUSTRASI: JITET GRAFIK: DICKY

Sumber: Kompas, Senin, 24 Oktober 2011
——————————
Negeri Ini Tak Nyaman bagi Peneliti

Oleh Luki Aulia dan Yuni Ikawati

Indonesia sebenarnya bisa jauh lebih maju dibandingkan dengan negara tetangga. Saat negara lain masih dilanda konflik, 42 tahun lalu, Indonesia sudah bisa menyelenggarakan Lomba Karya Ilmiah Remaja. Tepatnya tahun 1969. Namun, lomba yang diselenggarakan itu hanya sebatas lomba.

Tidak pernah ada pencatatan dan pemantauan terhadap para juara Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang sebenarnya pemuda-pemuda berprestasi. Begitu pula para juara olimpiade internasional.

Memang sejak tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan untuk memfasilitasi para juara olimpiade internasional agar dapat melanjutkan kuliah hingga jenjang doktor. Namun, kenyataannya, untuk mendapatkan beasiswa tersebut membutuhkan waktu lama dan berbelit-belit.

Di Singapura, sejumlah mahasiswa Indonesia yang meraih juara olimpiade internasional memang benar mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Indonesia. Namun, pencairan dana beasiswa tersebut sering terlambat, baru cair sekitar Oktober. Padahal, pembayaran uang kuliah paling lambat September.

Untuk menutupi biaya kuliah, mahasiswa terpaksa meminjam ke bank (tuition loan) di kompleks kampus. Meski tanpa agunan, pinjaman tersebut harus dikembalikan setelah mahasiswa lulus dan bekerja dengan masa pengembalian bisa sampai 20 tahun.

Kondisi ini memaksa mahasiswa yang sudah lulus bekerja di luar negeri agar bisa membayar cicilan pinjaman ke bank.

Sebagian mahasiswa lain terpaksa menerima subsidi biaya kuliah (tuition grant) sekitar 15.000 dollar Singapura (sekitar Rp 112,5 juta) per tahun atau bantuan biaya hidup yang jumlahnya lebih kecil dari itu.

”Sesuai kontrak, setelah lulus kami harus bekerja di Singapura selama tiga tahun,” kata Stephen Haniel Yuwono, peraih medali perunggu Olimpiade Internasional Kimia tahun 2010 yang kini berkuliah di Jurusan Kimia National University of Singapore (NUS).

”Jadi, jangan anggap kami tidak nasionalis kalau kelak bekerja di luar negeri karena ini bagian dari kontrak,” ujarnya.

Meredup

Meski budaya penelitian sudah dimulai 1969, budaya itu kini terasa kian redup. Beragam faktor menjadi penyebab, mulai dari tidak adanya grand design pembangunan nasional di Indonesia yang menempatkan penelitian dalam arus utamanya, tidak adanya pembinaan, minimnya anggaran, hingga beragam faktor lain.

Mien Rifai, mantan Deputi Ilmu Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melihat ada yang tidak tepat dalam program kompetisi karya iptek belakangan ini. Karena hal ini tidak bertujuan untuk mendorong siswa menguasai ilmu, akibatnya segelintir siswa dapat medali olimpiade, tetapi rata-rata scientific literacy siswa Indonesia hanya 399, jauh di bawah rata-rata ideal dunia yang 500. Artinya, siswa Indonesia tak mampu menggunakan pengetahuan yang sudah dipelajari untuk memecahkan masalah kecil sehari-hari di kehidupannya.

Dalam Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) tingkat SMP yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional, awal Oktober lalu, Ketua Dewan Juri Prof Dr Wahyudin Latunreng mengungkapkan, siswa yang berprestasi di bidang karya ilmiah hanya segelintir yang bercita-cita menjadi peneliti. Sebagian besar dari mereka justru bercita-cita menjadi pegawai bank, pegawai pajak, polisi, dokter, dan psikolog.

”Tidak ada yang salah dengan profesi tersebut, tetapi profesi meneliti lebih penting karena menjadi salah satu penentu kemajuan suatu bangsa,” kata dia.

Hal yang sama dikemukakan Fahmi Amhar, juri LPIR tingkat SMP yang menjadi pemenang LPIR tiga tahun berturut-turut (1984-1986). Dari pemenang seangkatannya, hanya segelintir yang kemudian menjadi peneliti.

Fahmi, Guru Besar Geomatika di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, juga merupakan siswa SMA yang mendapat beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan sekolah di luar negeri.

Dari mereka yang mendapat beasiswa sarjana ke luar negeri ini, hanya sekitar 30 persen yang kembali ke institusi yang memberikan beasiswa ikatan dinas. Sebagian besar kemudian bekerja di luar negeri atau kembali ke Indonesia, tetapi bekerja di perusahaan swasta atau mendirikan perusahaan sendiri.

”Banyak peserta beasiswa yang kemudian berkiprah di luar negeri karena kondisi riset di Tanah Air tak kondusif,” ujar Fahmi. Rekannya asal Indonesia ada yang menjadi profesor di Chiba University, Jepang, dan profesor di Cornell University, Amerika Serikat. Ada pula yang menjadi astronom di Jepang dan profesor Ilmu Komputer di Universitas Utrecht, Belanda.

Suasana riset yang kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi riset juga dirasakan oleh Rosaria Saleh, doktor dan guru besar bidang semikonduktor. Fasilitas laboratorium tak memadai dan tidak adanya program pengembangan keilmuan yang dia kuasai sejak tahun 1990-an membuat Rosaria Saleh kemudian beralih pada penelitian nanopartikel. Padahal, semikonduktor film-tipis yang dia kuasai lebih dulu memiliki prospek cerah di dunia.

Itulah salah satu potret suram penelitian di Indonesia….

Sumber: Kompas, | Senin, 24 Oktober 2011 | 05:03 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB