CATATAN IPTEK
Dalam struktur kekuasaan yang antisains, ilmu pengetahuan hanya menjadi aksesoris politik, Hal itu mengakibatkan banyak intelektual di lingkungan birokrasi berakrobat membela kekuasaan meski itu mengingkari sains.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dikenal sebagai sosok antisains dan kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial, termasuk dalam menyikapi pandemi Covid-19. Mulai dari teori konspirasi bahwa virus korona pemicu penyakit ini buatan laboratorium di Wuhan, China, hingga mengusulkan pemberian disinfektan pada pasien Covid-19, jadi contoh pernyataan Trump.
Namun, Amerika Serikat (AS) juga memiliki Anthony Fauci, sosok ilmuwan yang dengan berani melawan presidennya. Dengan data dan fakta sains yang kukuh, Fauci menyanggah teori konspirasi Trump dan berbagai pernyataan lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fauci merupakan ilmuwan terkemuka di bidang penyakit menular yang juga Kepala National Institute of Allergy and Infectious Disease sejak tahun 1984. Dia telah menjadi penasihat presiden AS sejak era Presiden Ronald Reagen. Namun, sekalipun berada di lingkaran puncak birokrasi, Fauci masih menjadi seorang ilmuwan yang menolak tunduk pada kekuasaan.
Sosok ilmuwan seperti Fauci inilah yang sulit ditemui di Indonesia saat ini. Sekalipun terdapat ilmuwan yang kritis terhadap penanganan Covid-19 di Indonesia yang juga bertendensi antisains (Kompas, 15/4/2020), mereka rata-rata berada di luar pusaran kekuasaan sehingga suaranya nyaris tak didengar.
Para ilmuwan di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman misalnya, sejak bulan Januari 2020 telah mengingatkan kemungkinan terjadinya negatif palsu dari pemeriksaan spesimen virus yang saat itu dimonopoli Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Bahkan, mereka telah menawarkan menjadi laboratorium pembanding, namun itu diabaikan hingga pertengahan Maret 2020.
Demikian halnya, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono telah sejak awal mengingatkan agar pemerintah mengedepankan sains dalam menangani pandemi ini. Bahkan, Pandu dan sejawatnya beberapa kali membuat pemodelan terkait lonjakan pasien yang tak bisa ditampung rumah sakit, jika kita tidak segera melakukan intervensi yang serius (Kompas, 12 Maret 2020).
Namun, Pandu yang bersuara kritis di media ini, suatu ketika menyampaikan rasa putus asa, karena kajian dan model yang dibuatnya diabaikan. Belakangan muncul epidemiolog dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, yang memaparkan selama ini Indonesia ternyata belum memiliki kurva epidemi yang sahih. Padahal, kurva epidemi ini dibutuhkan untuk mengukur sukses atau tidaknya intervensi yang dilakukan, termasuk kapan harus melonggarkan.
Fakta yang dipaparkan Iqbal ini menguatkan kekhawatiran Pandu sebelumnya, bahwa sains belum menjadi dasar kebijakan dalam penanganan pandemi. Padahal, di sekeliling kekuasaan juga terdapat para intelektual, namun kenapa kebijakan kita antisains?
Jawaban ini agaknya bisa tergambar dari cerita yang dituturkan seorang epidemiolog muda yang pernah diundang mempresentasikan pemodelannya di jajaran birokrasi. Dia pun mengeluh putu asa, karena menurutnya, para birokrat hanya mau mencari model yang dimaui, bukan ilmu pengetahuan.
Pada titik berseberangan, seorang epidemiolog muda lain, lulusan universitas terkemuka di luar negeri, juga merasakan tekanan birokrasi saat diminta menjustifikasi rencana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), padahal angkanya tidak mendukung itu. Seperti kita lihat saat ini, pemerintah semakin gencar melonggarkan PSBB.
Karakter kepemimpinan antisains dan penjinakan ilmuwan oleh kekuasaan ini bukan hal baru di negeri ini. Dalam diskusi di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pekan lalu, peneliti komunikasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Inaya Rahmani menyebutkan, penundukan intelektual di Indonesia oleh kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kolonialisme.
Pada masa penjajahan Belanda misalnya, inteletual di Indonesia adalah amtenar atau pegawai pemerintah yang menjadi perpanjangan tangan birokrasi kolonial.
Setelah dihabisinya banyak ilmuwan kritis pada era 1965, ilmu pengetahuan dan intelektual di Indonesia kemudian menjadi alat justifikasi kebijakan pembangunan di era Orde Baru. Sempat muncul ilmuwan kritis yang turut menjatuhkan Presiden Soeharto di era Reformasi.
Namun, mereka kemudian terjebak dalam birokratisasi dan berorientasi pasar marketisasi, yang lebih melayani kepentingan kekuasaan dan pasar, dibandingkan pengetahuan. Beberapa di antara mereka yang masuk dalam lingkaran kekuasaan, dengan cita-cita mengubah dari dalam, justru ditundukkan oleh kekuasaan dan menggelorakan populisme.
Akademisi Universitas Airlangga Surabaya, yang juga Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik Herlambang P Wiratraman mengatakan, dalam struktur kekuasaan yang antisains, ilmu pengetahuan hanya menjadi aksesoris politik, dan ilmuwan yang berada dalam lingkaran birokrasi hanya badutnya. Tidak heran banyak intelektual di lingkungan birokrasi selalu berakrobat membela kekuasaan, meski itu mengingkari ilmu pengetahuan.
Oleh Ahmad Arif, wartawan Kompas
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 13 Mei 2020