Ilmu Digali dari Lapangan

- Editor

Kamis, 25 Juni 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kepergian Prof Dr Sediono MP Tjondronegoro tanggal 3 Juni lalu dalam usia 92 tahun meninggalkan kenangan mendalam bagi kalangan ilmuwan, khususnya bidang sosiologi pedesaan. Namanya tercatat tebal.

DOKUMENTASI AHMAD NASHIHI LUTHFI—Prof Sediono MP Tjondronegoro bersama Prof Sajogyo dan Prof Pudjiwati Sajogyo dalam acara Dies Natalis Ke-30 Institut Pertanian Bogor di kampus Dramaga tahun 1993.

Kepergian Prof Dr Sediono Mommy Poerwodo (MP) Tjondronegoro tanggal 3 Juni lalu dalam usia 92 tahun meninggalkan kenangan mendalam bagi kalangan ilmuwan, khususnya bidang sosiologi pedesaan. Namanya tercatat tebal dalam sejarah perkembangan ilmu sosiologi pedesaan, sejajar dengan nama-nama harum ilmuwan Indonesia di bidang itu, misalnya Prof Ir Sayogyo.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Satu warisan yang dikenang sampai sekarang, selain ketekunan, komitmen, dan kecintaan yang membuahkan keahlian, juga menjustifikasi adagium Jawa, ”ngelmu karana laku” (ilmu dihasilkan lewat perjuangan). Karena itu, seperti rekan seprofesi—selain pengajar juga peneliti sosiologi pedesaan—Sayogyo (alm), Sediono meyakini ilmu diperoleh dan digali dari lapangan.

Setiap penelitian, selain mencari bukti dari asumsi-asumsi yang sudah ada, juga menjadi premis bahkan dasar teori baru. Deskripsi cara kerja keilmuan, membenarkan cara kerja ilmu pengetahuan yang disampaikan para filsuf di antaranya Karl Popper. Bahwa pengujian atas suatu teori secara deduktif yang dilakukan sebagai metode pengujian teori secara kritis, bisa menghasilkan prediksi baru yang disebutnya sebagai falsifikasi. Falsifikasi dengan pengujian dari lapangan itulah yang dilakukan Sediono lebih dari separuh hidupnya.

Berkali-kali bertemu untuk liputan jurnalistik dan urusan keanggotaannya dalam Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas pada tahun 1980-1990-an, saya yang tidak berlatar disiplin sosiologi merasa mendapatkan serpihan keahliannya. Tidak seberapa mendalam, sekadar mengais-ngais dari pinggir karena ketertarikan. Saya terkesan oleh sosok ilmuwan yang menggeluti dengan penuh kecintaan bidang yang kurang ”laku” di masa itu, apalagi sekarang.

Bahwa seperti sering dia katakan, menurut banyak orang ilmu itu bebas nilai (netral)—ilmu harus dibebaskan dari kepentingan lain selain demi jati diri keilmuan—tetapi bagi Sediono, dalam hal ilmu sosial, khususnya pedesaan, harus ada keberpihakan khususnya bagi pengembangan masyarakat desa yang kurang tersentuh, tertinggal ,dan terkena dampak positif pembangunan.

Dengan keberpihakan pada masyarakat desa itu—bersama rekan seprofesi di antaranya Sayogyo—penemu kriteria kemiskinan yang menjadi rujukan tahun 1970-an—Sediono berada di luar arus utama ilmu-ilmu sosial yang berkembang menjadi ilmu yang birokratik, tidak reflektif dan a-teoritik karena diabdikan untuk kepentingan rekayasa politik (Ignas Kleden: 2005).

DOKUMENTASI AHMAD NASHIHI LUTHFI—Di Hotel Panghegar, Bandung, dalam acara seminar nasional MPR dalam rangka membahas isi draf TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, 14-16 September 2001.

Didasarkan penelitiannya di lapangan tahun 1970-an hingga tahun 2000-an, Sediono sebagai sosiolog menyuarakan hal-hal yang perlu dikoreksi karena diabaikan atau kurang disentuh para pengambil kebijakan dalam gegap gempitanya pembangunan (Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan. 80 Tahun Prof Dr Sediono MP Tjondronegoro, Departemen Komunikasi Pengembangan Masyarakat IPB, 2008).

Sesama kolega ilmuwan sosiologi pedesaan niscaya segan dengan sosoknya sebagai ilmuwan dan sikap keberpihakannya seperti dianjurkan filsuf Antonio Gramsci. Tanpa sengaja pula mereka belajar dari ilmuwan kelahiran Purwodadi itu—cucu kemenakan pahlawan RA Kartini (adik kakek Sediono).

Dalam rangka liputan jurnalistik pula, saya pun ikut mengais-ngais sosok keberpihakan dan terutama kecintaan seorang ilmuwan sejati pada pengembangan masyarakat desa. Kekaguman saya sama seperti kepada beberapa rekan ilmuwan sekolega seperti Prof Dr Sjamsoe’oed Sadjad—ahli benih—atau Gunawan Wiradi, peneliti pedesaan khususnya pertanian, dan tentu saja Sayogyo.

Mereka meninggalkan warisan berharga untuk bangsa ini, khususnya deskripsi dan keberpihakan kepada masyarakat pedesaan lewat pengembangan membangun good will (niat baik) dan penyadaran (konsientisasi) bersama.

Komplet dan integratif
Merunut sosoknya, selain bertemu dan bersahabat dengannya, liputan media dan bacaan karya-karyanya, saya temukan buku tipis otobiografi Sediono Tjondronegoro. Judulnya Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua (Penerbit SAINS, Bogor 2008) di antaranya. Buku terbit dalam rangka merayakan 80 tahun usia Sediono—lahir 4 April 1928—bersamaan dengan terbitnya Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan dan kumpulan tulisan Sediono yang lain berjudul Negara Agraris Ingkari Agraria; Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia (Yayasan Akatiga, Bandung, 2008). Mungkin ketiga buku itulah warisan komitmen, kepedulian, dan kecintaan, selain memoarnya, Mencari Ilmu…, walaupun hanya kumpulan karangan adalah warisan paling berharganya. Tentu saja termasuk pula Kumpulan Karangan Dasawarsa 1—Abad 2001, terbit 2015, serta Kriteria dan Indikator Kemiskinan, terbit 2008—yang keduanya diterbitkan Yayasan Akatiga.

Lahir sebagai anak ketiga dari empat saudara, ayahnya bupati ke-17 trah Tjondronegoro—sebelum sebagai bupati Semarang bernama Sutiyoso Sosrobusono—kakeknya (Sosrobusono) bupati Ngawi, adiknya RM Sosrokartono, kakak pahlawan nasional RA Kartini. Dengan berpegang pada buku primbon, bahwa bila seorang anak lahir dari pasaran Jawa sama dengan ibunya, maka harus diangkat keluarga lain. Begitu juga Sediono. Karena lahir Rabu Pahing, bersamaan dengan hari lahir (weton) ibunya, maka ia diangkat oleh keluarga lain.

Pendidikan dasar yang diselesaikannya di Tegal (1940), menengah di Surabaya (1948)—berpindah-pindah kota seiring dengan perpindahan lokasi tugas ayahnya sebagai pamong praja—membuat Sediono sejak kecil sudah dekat dengan kondisi keberagaman dan permasalahan masyarakat desa.

—-Sediono MP Tjondronegoro (7 November 2015)

Disiplin sosiologi pedesaan yang ditempanya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di tiga benua (Eropa, Amerika, Asia) selama lebih dari 13 tahun mematangkannya dalam berbagai khazanah politik, khususnya demokrasi ekonomi. Salah satunya Reforma Agraria, yang bukan berupa pembagian lahan atau peninaboboan masyarakat perdesaan, melainkan dengan pemberdayaan masyarakat perdesaan dan masyarakat miskin.

Sediono seorang ilmuwan yang komplet-lengkap. Tidak hanya menguasai disiplin ilmu sosiologi khususnya pedesaan secara teoretik dari bangku kuliah dan pustaka, tetapi juga melakukan penelitian lapangan, terjun ke sumber pertama di berbagai daerah. Karena itu, wajar ia punya keyakinan, adagium ngelmu karana laku, ilmu digali dan ditemukan dari lapangan.

Ia berjuang tidak hanya lewat kegiatan ilmiah, tetapi juga jauh sebelumnya sebagai pejuang fisik dalam masa-masa awal Indonesia merdeka, kemudian mundur dari ketentaraan setelah tangannya terkena pecahan mortir di Legundi, Mojokerto.

Terentang riwayat perjuangan melawan penjajah sejak di sekolah menengah atas, mulai dari pertempuran fisik maupun bergerak di bawah tanah sebagai intel, menekuni disiplin sosiologi pedesaan, birokrat, pengajar, peneliti, perumus kebijakan, dan pendamping masyarakat desa dan kelompok miskin.

Merunut perjalanan hidupnya, Sediono adalah seorang sosok yang berjuang demi kebebasan sebuah negara merdeka, kemudian perjuangan demi kemandirian bagi mereka yang terlupakan. Berjuang secara fisik hingga tidak lengkapnya jari terkena pecahan mortir pesawat Belanda dalam era perjuangan arek Suroboyo itu, menjadi intel bagi negara ketika bertugas belajar di AS, hingga berjuang sebagai ilmuwan dan guru besar di bidang sosiologi pedesaan IPB, Bogor; seorang yang integratif terhadap keyakinan ilmiahnya, sekaligus terbuka terhadap masukan baru, termasuk dari generasi muda.

Kemandirian desa
Tahun 1963 saat pulang dari studi selama lebih dari 13 tahun di Belanda dan berbagai lembaga pendidikan tinggi di AS, Sediono menghadapi kehidupan masyarakat Indonesia yang menyedihkan, termasuk masyarakat perdesaan dan kelompok miskin. Saat itu dia sudah yakin, yang diperlukan adalah kemandirian, dan bagi petani kemandirian itu berarti tanah sebagai aset yang tidak diartikan sebagai pembagian tanah, tetapi bisa dilakukan dengan cara pemajakan tinggi bagi pemilik lahan yang luas seperti di Inggris.

Pemajakan progresif ini pernah dijalankan, tetapi kemudian dihapuskan. Untuk membangun kemandirian masyarakat, yang dibutuhkan kebersamaan yang berawal dari niat baik. Kemandirian dan kebersamaan menjadi roh perjuangan dan komitmen. Dengan kondisi Indonesia adalah negara agraris, tidak dalam arti negara mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang ekonomi, tetapi mengandalkan sumber daya agraria sebagai penopang kehidupan ekonomi. Sumber daya agraria itu meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Selama bertahun-tahun, Sediono prihatin terhadap kondisi merosotnya kemandirian dan kebersamaan masyarakat perdesaan. Budaya menang perang yang dibawa budaya industri merontokkan semangat kebersamaan milik asali bangsa Indonesia. Untuk menghidupkan kembali semangat kebersamaan diwujudkan dengan pemerataan. Masyarakat desa akan terus ketinggalan ketika tidak ada niat pemegang kuasa melakukan pemerataan.

Sebagai sosiolog yang propemerataan, dan pernah sebagai asisten Prof Sumitro Djojohadikusumo di Bappenas, juga sebagai direktur transmigrasi, ia pernah mempertanyakan pelaksanaan UU Agraria tahun 1960 dan bagaimana Indonesia mengembangkan daerah perdesaan.

Reforma Agraria yang menjadi obsesi dari teorinya dan diperkuat penelitian lapangan, dia artikan sebagai penataan kembali basis pembangunan adalah perdesaan, dalam arti yang mengandalkan sumber daya agraria untuk menopang ekonomi negara. Indonesia sebagai negara agraris yang mengingkari agraria, menurut Sediono, harus tidak diartikan secara sempit negara mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang utama perekonomian, tetapi negara yang mengandalkan sumber daya agraria sebagai penopang perekonomian (Negara Agraris Ingkari Agraria, 2008).

Masalah kemiskinan dan keterbelakangan menyebabkan ketertinggalan masyarakat perdesaan—atau sebaliknya—diakuinya sudah menjadi perhatian pemerintahan Indonesia yang merdeka. Karena kenyataannya perdesaan memiliki jumlah penghuni lebih banyak dari perkotaan. Terutama di era pemerintahan saat ini dengan RUU Pemerintahan Desa yang pembahasannya di DPR belum juga putus.

Tidak mudah memang, sebab perdesaan di Indonesia memiliki keanekaragaman yang besar dan sarat kebijakan lokal (local wisdom). Dari permukiman yang hanya belasan keluarga hingga ribuan keluarga, dan diakuinya sudah beragam kreativitas para kepala daerah yang dalam hal ini bupati berikut sampai aparat terbawahnya, kepala desa, termasuk kekayaan lingkungannya. Sediono termasuk ilmuwan yang optimistis berkembangnya kemandirian masyarakat desa.

Industrialisasi perdesaan—lokasi industri ditempatkan di desa-desa antara lain sebagai bentuk konkret—ternyata tidak mudah dijalankan. Perdesaan di Indonesia sudah semakin beragam bentuknya. Kepemilikan tanah tidak lagi menjadi aset utama akibat mobilitas dan profesi warga. Tetapi, tetap saja, faktor geografis dan kekayaan alam lingkungan menjadi faktor utama perhatian dalam membangun kemandirian desa dengan keragaman sosial budaya yang menjadi modal kekayaan perdesaan.

Ditinggalkannya kegiatan pertanian oleh generasi muda menjadi tantangan berat bagi para petinggi pemerintahan dari pusat hingga ke perdesaan. Tetapi, tidak berarti keadaan itu harus disikapi dengan melupakan perdesaan ditinggalkan sebagai masa lalu dan perkotaan sebagai masa depan. Karena itu, Sediono tertarik dengan China yang membangun perkotaan dan kehidupan modern dari basis perdesaan; suatu obyek penelitian sosiologi pedesaan yang menarik dan niscaya menjadi bahan kebijakan para pengambil kebijakan di negara kita.

(St Sularto, Wartawan Kompas 1977-2017)

Sumber: Kompas, 24 Juni 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 15 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB