Hutan hujan. Nama inilah yang lebih dikenal oleh para pecinta alam dan masyarakat umum, sementara para ilmuwan lebih memilih istilah teknis ”hutan tropika humida”. Dengan curah mencapai 2.000-3.000 per tahun, maka hujan membentuk tirai-tirai lebat di dalam hutan, sebagaimaha layaknya alam asli tropika. Hujan reda, maka kabut tebalpun naik perlahan dari lantai hutan, bagaikan hujan baru yang berbalik arah.
Hutan primer di Gunung Halimun (halimun = kabut, Bhs. Sunda) merupakan contoh ekosistem alami yang belum terganggu. Dari puncak bukit-bukitnya, hutan tampak bagaikan lautan hijau. Luasnya diperkirakan 40.000 hektar, dengan ketinggian mendekati 2.000 meter.
Sebagaimana layaknya hutan primer hutan tersebut didominasi pohon-pohon tinggi besar dan berkayu, banyak di antara dari famili Dipterocarpaceae dan beringin (Moraceae). Menurut Prof Sambas Wirakusumah struktur pepohonan demikian sering mengingatkannya akan istana maupun katedral yang paling megah. Tumbuhan bersaing untuk mendapatkan cahaya dengan berbagai strategi, misalnya, dengan hidup sebagai tumbuhan penempel (epifit). Penggunaan ruang pun menjadi efektif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berbagai life form tumbuhan tersebut akhirnya membentuk 4-5 lapisan di hutan tropika, sementara lantai hutan pun relatif bersih. Anggapan sementara orang bahwa hutah tropika humida ditumbuhi oleh semak belukar yang rapat ternyata tidak benar.
***
DI hutan-hutan demikianlah terdapat Owa Jawa Hylobates moloch, primata bertungkai panjang yang hanya ditemukan di Pulau Jawa. Menurut Dr Joe Marshall dan Dr Jito Sugardjito, terdapat 6 jenis Owa (marga Hylobates) di bumi Indonesia, yaitu di Sumatera, Kalimantan dan Jawa.
Menurut IUCN (Badan Pelestarian Alam dam Sumber Daya Alam Internasional), dua jenis tersebut dikawatirkan punah selamanya, yaitu Owa Kloss (Hylobates klosii) dari Mentawai dan yang lebih mengkhawatirkan Owa Jawa.
Owa Jawa hidup dalam kelompok keluarga kecil yang tendiri atas induk, bapak dan satu atau dua anak. Penelitian Mark Kappeler dan Karen Kool menunjukkan bahwa ukuran kelompok berkisar antara tiga dan empat. Dengan pola demikian, terungkap bahwa Owa dewasa hanya dapat hidup dalam pasangan-pasangan tetap(bersifat monogami).
Owa Jawa mempunyai suara yang khas. Biasanya, betina yang lebih aktif bersuara, dengan great call (panggilan) bernada staccato “houo-wwaaa…” yang berulang, makin tinggi dan makin cepat. Para peneliti lapangan mengakui bahwa suara panggilan Owa Jawa, always fortissimo, sudah dapat disebut musik (sic). Nyanyian yang paling kuat dan indah yang dapat terdengar di hutan manapun di Jawa.
Warren Brockelman manggambarkan bahwa semua jenis Owa merupakan jiwa dan suara dari hutan-hutan. Fungsi dari panggilan tersebut belum diketahui, tetapi mungkin berguna untuk menjaga jarak antar kelompok.
TIDAK kalah menakjubkan dari suara Owa di hutan raya adalah cara mereka bergerak di antara tajuk pepohonan. Owa Jawa biasanya menggunakan lapisan-lapisan teratas dari pepohonan, dengan ketinggian 10-20 meter dari muka tanah. Badan yang ringan, lentur beserta tungkai yang kuat dan panjang memungkinkan mereka melakukan lompatan-lompatan jauh di ketinggian. Bagaikan bersayap, mereka berpindah gesit dari satu tajuk ke tajuk lain. Owa, satwa arboreal (pepohonan) sejati.
Owa lebih sering menggunakan tangan untuk berpindah. Tangan yang panjang memungkinkan untuk meraih dahan manapun dengan mudah. Hampir setiap saat Owa menghabiskan waktu bergelantungan, seakan-akan seluruh berat tubuh mereka bertumpu di pundak dan kekuatan tangan. Jemarinya sangat panjang, sehingga dapat membentuk kait dengan efektif.
Tanpa ragu, seekor Owa akan melakukan terjun bebas dari ketinggian 20 meter, melewati beberapa cabang dan tiba-tiba mengkaitkan jemarinya dengan tepat pada suatu cabang pohon hanya 10 meter di atas tanah.
Mereka pun dapat terjun langsung dari puncak pepohonan yang tinggi dan jatuh terduduk di cabang yang dituju.
Menurut Kappeler, Owa Jawa memakan 125 spesies tumbuhan di hutan tropika humida. Kelangsungan hidup mereka tergantung pada kelangsungan hidup hutan tropika humida yang ada di Pulau Jawa.
Apakah proses ini hanya satu arah?
Hanya peneliti ekologi yang dapat mengungkapnya. Yang jelas, data sementara menunjukkan bahwa berbagai jenis pemakan buah di hutan ternyata dapat pula membantu menyebarkan buah dan biji sehingga membantu regenerasi hutan.
Dalam pertemuan Conservation Breeding Specialist Group di IUCN bulan Mei 1994 di Taman Safari Cisarua, Bogor, para ahli ekologi pelestarian berskala internasional Seperti Dr Jatna Supriatna, Dr Kunkun Djaka Gurmaya, Ir Wahyudi Wardoyo MSc, Ir Tonny Suhartono MSc, Dr Ron Tilson, dan Dr Ullyses Seal memperkirakan bahwa pada saat ini jumlah Owa Jawa kurang dari 2.000.
Usaha konkret diperlukan untuk melestarikan mereka, namun dengan kendala dana dan ilmu pengetahuan tentang Owa pada saat ini masalahnya sekarang adalah waktu. Akankah nyanyian Owa Jawa dapat terus terdengar di hutan? Generasi mendatang yang akan dapat menjawab.
(M. Indrawan, peneliti ekologi pada Yayasan Bina Sains Hayati Indonesia, dan Dedi Supriyadi, peneliti primata pada Pusat Studi Biodiversitas Universitas Indonesia)
Sumber: Kompas, Kamis, 30 Mei 1996