HUT Kebun Raya Cibodas;159 Tahun Jadi Bagian “Surga”

- Editor

Sabtu, 16 April 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

”If paradise still exists on earth, then Cibodas must have been part of it! Andai saja surga masih ada di muka bumi, Cibodas pastilah bagian dari surga itu.” Demikian diucapkan Kepala Unit Pelaksana Teknis Kebun Raya Cibodas Didik Widyatmoko dalam sambutan memperingati Hari Ulang Tahun Ke-159 Kebun Raya Cibodas, Senin (11/4).

Kalimat puitis itu dicuplik Didik dari ungkapan ilmuwan Belanda, Frits Warmolt Went (1903-1990). Ia pernah singgah dan meriset tumbuhan di Kebun Raya Cibodas.

Went kemudian dikenal dunia sebagai penemu auksin, hormon yang sangat penting dalam mengatur pertumbuhan tanaman.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Auksin terdapat pada sel ujung batang, akar, dan pembentukan bunga. Auksin mengatur pembesaran sel. Bagian-bagian tumbuhan yang mengandung auksin ini tumbuh bertambah panjang dan besar.

Ungkapan Went yang menyatakan Cibodas bagian dari surga di muka bumi, bisa saja untuk menyiratkan indahnya pemandangan di kebun raya yang terletak di kaki Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Kebun raya ini didirikan pada 11 April 1852 oleh Johannes Ellias Teijsmann.

Pada zamannya, Teijsmann adalah kurator Kebun Raya Bogor. Kebun Raya Cibodas semula diberi nama Bergtuin te Tjibodas (Kebun Pegunungan Cibodas).

Tidak sekadar surga karena keindahannya, Kebun Raya Cibodas adalah surga bagi para ilmuwan untuk menguak pengetahuan dari berbagai fenomena tumbuh-tumbuhan di alam.

”Dari sini hasil publikasi internasional hasil riset mikoriza pertama kali dilakukan,” ujar Didik.

Mikoriza adalah jamur di dalam tanah yang mampu menginfeksi akar berbagai tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan.

Anehnya, akar yang terinfeksi bukannya meradang, tetapi malah makin memiliki kemampuan mengikat unsur hara seperti fosfat.

Menurut Didik, publikasi ilmiah mikoriza ditulis JM Janse dari Belanda pada periode tahun 1890-1897. Usia Kebun Raya Cibodas waktu itu beranjak dari 38 tahun.

Ada dua publikasi ilmiah mengenai mikoriza. Pada masa itu belum diperkenalkan dengan istilah mikoriza, tetapi sebagai endofita atau truffe (jamur kecil).

Kedua judul publikasi itu Les Endophytes Radicauz de Quelques Plantes Javanaises (Endofita Akar dari Beberapa Tumbuhan Jawa) dan Quelques Mots sur le Development d’une petite truffe (Beberapa Catatan tentang Pengembangan dari Jamur Truffe kecil).

”Karya Janse itu menggugah penelitian fenomena mikoriza lebih lanjut di dunia,” kata Didik.

”Quo vadis”

Pengetahuan yang terkandung di Kebun Raya Cibodas mampu mengguncang dunia. Didik menuturkan, kebun raya ini menjadi kiblat kegiatan introduksi dan domestifikasi tumbuhan pada masa kolonial Hindia Belanda.

”Peran ini justru melemah ketika Kebun Raya Cibodas dikelola bangsa sendiri. Quo vadis (hendak ke manakah) Kebun Raya Cibodas,” kata Didik.

Kebun Raya Cibodas dirancang menjadi lokasi penyesuaian iklim tanaman produktif yang didatangkan dari wilayah negara lain. Yang paling terkenal adalah introduksi dan domestifikasi pohon kina (Cinchona calisaya).

Di bawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kebun Raya Cibodas berupaya memberikan kontribusi. Kepala LIPI Lukman Hakim menyebutkan, pada peringatan 159 tahun Kebun Raya Cibodas diluncurkan produk inulin hasil isolasi dari umbi dahlia.

”Produk inulin adalah bahan prebiotik hasil kerja sama Kebun Raya Cibodas dengan Pusat penelitian Kimia LIPI di Bandung,” kata Lukman.

Di tengah melemahnya peran introduksi dan domestifikasi saat ini, Didik mengatakan, masih patut untuk membanggakan Kebun Raya Cibodas. Koleksi 235 jenis lumut di Taman Lumut Kebun Raya Cibodas yang dipertahankan di luar ruang lebih menarik dibanding taman lumut di Jerman dan Singapura yang berada di dalam ruang.

”Sebanyak 395 pohon sakura yang didatangkan dari Himalaya juga mampu tumbuh dengan baik,” kata Didik.

Menurut Didik, nilai penting sebenarnya tidak hanya dari koleksi tanaman. Namun, pada hasil-hasil riset di masa Hindia Belanda, seperti karya Janse atau Went. Saat ini masih banyak ilmu yang bisa diungkap dari koleksi kebun raya itu. [Nawa Tunggal]

Sumber: Kompas, 16 April 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB