Gagasan awal penggabungan fungsi pendidikan tinggi dengan Kementerian Riset dan Teknologi digulirkan oleh Forum Rektor Indonesia di UNS Surakarta. Gagasan tersebut mendapat tanggapan positif dari pemerintahan Jokowi-JK, dengan eksisnya Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada Kabinet Kerja.
Namun banyak juga yang menyampaikan resistensi di antaranya mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef melalui dua artikelnya di media nasional. Pucuk pimpinan Kemdikbud pada kabinet sebelumnya cenderung memilih fungsi pendidikan tinggi tetap di rumah Kemdikbud. Mengapa dan bagaimana prospek penggabungan ini ke depannya?
Dalam sejarah, pemerintahan kita pernah memiliki Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) dengan fungsi riset berada di dalamnya. Integrasi antara pendidikan tinggi dan riset teknologi dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya inovasi yang diabdikan untuk kemakmuran bangsa. Mendasarkan Riset Jika riset menjadi core Tri Darma Perguruan Tinggi maka dua darma yang lain, yakni pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat harus mendasarkan riset.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan riset materi pembelajaran senantiasa updated sehingga lulusan pun menjadi andal dan mampu bersaing di skala regional, nasional, ataupun global. Dengan riset pula diperoleh gagasan dan teori baru yang memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Dari sisi pendidikan diharapkan lahir lulusan yang inovatif, sedangkan dari sisi riset akan muncul inovasi teknologi yang diaplikasikan untuk industri dan terapan lainnya.
Inovasi teknologi ini diharapkan nyambung dengan pengguna (industri, jasa) untuk diaplikasikan. Pola inilah yang disebut sebagai hilirisasi hasil riset perguruan tinggi yang akan menumbuhkan hubungan sinergis academician, business, community, dan government (ABCG). Pola demikian memberikan nilai tambah yang lebih mendorong tumbuhnya ekonomi lokal, regional, dan nasional, yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dasar pemikiran itu klop dengan pemikiran Menteri Ristek dan Dikti. Bahkan Menteri sedang mengusulkan perubahan nomenklatur kementeriannya menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi agar secara filosofis terlihat hubungan hulu dengan hilirnya. Hulunya adalah pendidikan tinggi dengan salah satu darmanya menyelenggarakan penelitian dan di bagian hilirnya hasil penelitian tersebut dikembangkan jadi aplikasi, bahkan komersialisasi. Praktik baik pengintegrasian antara riset dan aplikasi teknologi telah dilakukan Thailand.
Hebatnya lagi, Thailand memfokuskan riset pada basis ekonomi lokal, yakni pertanian sehingga sektor ini menjadi andalan perekonomian. Segalanya yang berbau Bangkok, mulai dari jambu, durian, mangga, hingga pepaya menjadi bukti suksesnya riset untuk pengembangan yang mampu mengangkat produk lokal ke arena global. Rasanya kita tidak terlalu terlambat bila mengikuti pola Thailand memacu sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan, yang jadi gantungan hidup sebagian besar penduduk Indonesia.
Terintegrasinya penelitian pendidikan tinggi dengan pengembangan seharusnya juga menjadi jawaban atas keterpurukan sektor-sektor yang menjadi basis perekonomian kita. Mengapa terpuruk? Industri yang dikembangkan selama ini adalah tipe manufaktur yang berorientasi ekspor dan kurang memiliki keterkaitan dengan basis ekonomi lokal. Implikasi yang timbul adalah minimnya nilai tambah dari kegiatan industri terhadap masyarakat dan tertinggalnya sektor-sektor ekonomi lokal. Menjadi ironi bahwa sebagai negara agraris kita malah menjadi importir beras, gula, terigu, garam, daging sapi dan ikan.
Basis perkenomian kita menjadi rapuh dan mudah goyah jika terjadi goncangan ekonomi global. Sektor rumpun pertanian makin tersisih oleh alih fungsi lahan yang masif, mencapai 100 ribu hektare per tahun, yang sebagian untuk kepentingan industri. Makin merananya sektor pertanian membuat generasi muda tidak lagi tertarik belajar ilmu-ilmu rumpun pertanian.
Dalam 5 tahun terakhir ini minat masukke program-program studi rumpun pertanianmengalami penurunan.Sesungguhnya banyak penelitian perguruantinggi yang layak dihilirisasi menjadiproduk unggulan. Konsep blue economydari sektor perikanan yang memanfaatkansemua bagian biota air menjadi produk yangbermanfaat bukan hanya secara ekonomisakan memberikan nilai tambah bagi masyarakatyang bekerja di sektor perikanan tetapijuga memberi kontribusi mengurangi bebanlingkungan karena blue economy berprinsipzero waste.
Penelitian dosen-dosen FakultasPerikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) mampu mendayagunakan cangkang rajungandiekstrak menjadi bahan khitosan,bahan pengawet pengganti formalin, danbahan farmasi antioksidan.
Residunyadimanfaatkan untuk campuran makanan ternakterutama unggas.Juga pemanfaatan buah mangrove diolahmenjadi tepung untuk bahan kue,pemanfaatan ekstrak kulit tanaman mangroveuntuk tinta batik, pemanfaatan ecenggondok dengan cara difermentasi untukpakan ternak. Contoh tersebut hanyalahsebagian kecil dari inovasi yang merupakanbentuk penelitian aplikasi yang menungguuluran tangan pemerintah dalam pendampinganpembiayaan dan kalangan bisnisuntuk produksi massal dan pemasarannya.
Pengembangan Ilmu Sesungguhnya upaya-upaya untukmendekatkan penelitian perguruan tinggidengan aplikasi (terapan) telah lama diinisiasimelalui penelitian hibah bersaing, unggulan,dan skema-skema penelitian yang lain,bahkan harus menggandeng dunia industri,kendati hasilnya belum dirasakan. Kini saatnyamerevitalisasi upaya-upaya tersebutmelalui rumah baru Dikti dan Ristek.Hanya eforia penelitian terapan diharapkantidak menegasikan penelitian untukpengembangan ilmu itu sendiri.
Dimensiaksiologi dalam filsafat ilmu mengajarkanbahwa nilai sebuah ilmu selain dikembangkanuntuk kemaslahatan umat jugauntuk pengembangan ilmu itu sendiri. Duapandangan ini seharusnya tidak bersifatdikotomis tetapi sinergis.
Pengembangan ilmu terapan (iptek)juga sangat tergantung pengembangan ilmuuntuk ilmu. Prof Liek Wilardjo dalamartikelnya mengemukakan perlunya menerapkanprinsip trisula, yakni pengembanganilmu murni, ilmu terapan, dan moral.Dengan trisula, pengembangan ilmu terapanbukan hanya bermanfaat secara ekonomitetapi juga humanis, memanusiakan manusia.Pandangan ini agaknya sejalan denganberbagai pihak yang berpendapat bahwapendidikan dasar, menengah, dan tinggi merupakan satu kesatuan sistem yang tidakbisa dipisah-pisahkan. Semua jenjang pendidikanitu perlu sentuhan budaya gunamemedomani tindakan dan perilaku, termasukpengembangan dan penerapan ilmupengetahuan. (10)
Sudharto P Hadi, dosen Universitas Diponegoro
Sumber: Suara Merdeka, 29 Desember 2014