Target produksi siap jual (lifting) minyak di Indonesia tahun ini, 830.000 barrel per hari, bakal sulit tercapai. Penyebab utama adalah harga minyak dunia yang anjlok hingga sekitar 30 dollar AS per barrel. Berdasarkan penghitungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, jika harga minyak 50 dollar AS per barrel, lifting minyak pada 2016 diperkirakan 827.000 barrel per hari. Pada harga minyak 30 dollar AS per barrel, lifting minyak sekitar 790.000 bph. Untuk hitungan terendah SKK Migas, yakni 20 dollar AS per barrel, lifting diperkirakan sekitar 753.000 bph. (Kompas, 2 Februari 2016).
Volatilitas dengan kecenderungan turun harga minyak mentah secara global memang tidak bisa dianggap sebelah mata. Meskipun sejumlah pihak menyatakan jatuhnya harga minyak tidak berdampak signifikan pada penerimaan negara, pergerakan harga minyak tetap perlu diwaspadai. Jika minyak sampai menyentuh bawah 20 dollar AS per barrel, sinyal kewaspadaan memuncak. Kini, struktur penerimaan negara mayoritas berasal dari penerimaan pajak.
Secara global, harga minyak sering kali dianggap sebagai termometer atas kesehatan ekonomi dunia. Profesor sejarah dan hubungan internasional Universitas Princeton, Harold James, bahkan menyebut harga minyak sebagai barometer, termasuk peringatan akan datangnya badai geopolitik. Penurunan dramatasi harga minyak mentah, dari 150 dollar AS per barrel pada Juni 2008 menjadi di sekitar 30 dollar AS per barrel, meninggalkan tanya akan masa depan pasar komoditas dan energi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penurunan harga minyak jelas berkorelasi dengan instabilitas keuangan. Bursa saham secara global terpuruk sejak awal tahun ini. Belum ada tanda bakal menguat atau stabil. Naik untuk turun dan turun untuk naik dalam perdagangan harian. Kenaikan harga minyak bisa berujung pada terjadinya resesi global, layaknya tahun 1973, 1979, 2000, dan 2008, tetapi penurunan perekonomian juga mengantar penurunan harga, tak terkecuali di bidang energi dan komoditas secara umum. Kondisi penurunan kali ini seperti sudah dapat diduga, khususnya dikaitkan dengan berakhirnya puncak harga komoditas tiga tahun lalu. Hal itu diikuti penurunan perekonomian negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, termasuk Tiongkok dan Indonesia.
Mari kita pastikan, kutukan sumber daya alam tidak menimpa kita kali ini. Jangan sampai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat terus menggelayuti langkah kita dan wujud pembangunan yang lebih buruk pun mengiringi, kalah dari negara-negara yang sumber daya alamnya langka. Terkait penurunan harga minyak kali ini, ada opsi bagi Pemerintah RI menggunakannya untuk kembali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk menekan tingkat inflasi tahun ini. Ruang penurunan harga BBM masih terbuka di tengah relatif rendahnya harga minyak mentah di pasar global.
Riset Samuel Sekuritas Indonesia menyatakan, harga wajar BBM jenis premium seharusnya berada di kisaran Rp 5.300 per liter atau sekitar 24 persen lebih rendah dari harga premium saat ini, yakni Rp 7.050 per liter di Pulau Jawa, Madura, dan Bali serta Rp 6.950 per liter di luar Pulau Jawa, Madura, dan Bali. Harga premium itu ditetapkan per 5 Januari 2016. Harga premium Rp 5.300-an itu diperkirakan bisa membawa kembali inflasi tahunan turun ke 3-3,5 persen secara tahunan.
Seperti diwartakan, pada Januari 2016 tingkat inflasi tahunan naik ke level 4,14 persen dari 3,35 persen, terutama akibat kenaikan harga bahan pangan tahunan yang mencapai 6,6 persen. Inflasi tahunan bisa turun lebih cepat jika ada pemangkasan harga BBM lebih lanjut. Penurunan inflasi inti dalam empat kali berturut mencerminkan permintaan konsumen yang masih tetap rendah. Inflasi inti tahunan awal tahun kembali melambat menjadi 3,62 persen dari 3,95 persen pada bulan sebelumnya. Penurunan harga BBM dan terjaganya nilai tukar rupiah akan memberi ruang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate). Dengan pengelolaan dinamika yang tepat, termasuk volatilitas harga minyak mentah, pertumbuhan dan kualitasnya jangan sampai ikut terseret turun. (BENNY D KOESTANTO)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Februari 2016, di halaman 17 dengan judul “Harga Minyak dan Kita”.