“Those who educate children well are more to be honored than parents; for these only gave life, those the art of living well.” Aristoteles (384-322 SM)
TIDAK diragukan, guru berperan penting dalam seluruh proses pendidikan. Dalam banyak hal, mutu pendidikan ditentukan oleh kualitas guru. Kurikulum, yang menyulut polemik nasional itu, hanyalah faktor sekunder. Sebab, pelaksanaan kurikulum pun bergantung pada guru. Sungguh, peran guru sedemikian vital dalam kegiatan pembelajaran, yang berpengaruh langsung pada tinggi-rendahnya kinerja pendidikan. Filsuf pendidikan terpandang, John Dewey (1938), suatu kali berujar: buku merupakan sumber ilmu pengetahuan, tetapi melalui gurulah ilmu pengetahuan dapat ditransmisikan kepada peserta didik.
Tamsil klasik mengatakan buku adalah rumah ilmu, sedangkan guru adalah kunci pembukanya. Sering pula dikatakan guru adalah jendela ilmu pengetahuan bagi para murid. Jelas, guru dengan kompetensi tinggi berpengaruh langsung pada hasil belajar murid-muridnya, yang tecermin pada pencapaian akademik tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, pendidikan di Indonesia justru dihadapkan pada masalah rendahnya kualitas guru. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2012, dari total sekitar 2,7 juta guru, sebanyak 1,7 juta (62%) sudah berkuali? kasi D-4 hingga S-1 atau lebih sebagaimana disyaratkan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sebanyak 1,5 juta (55%) sudah mengikuti program serti? kasi kompetensi. Itu berarti mereka telah beserti? kat sebagai guru profesional. Namun, status ’guru profesional’ tidak serta-merta terpantul pada kompetensi dalam mengajar.
Hasil uji kompetensi guru (UKG) yang diselenggarakan Kemendikbud menunjukkan, gabungan kompetensi profesional dan pedagogi guruguru yang diuji (sekitar 878 ribu orang) rata-rata hanya 45,85%, sangat jauh di bawah kemampuan ideal menurut standar guru profesional. Hasil UKG itu dengan gamblang menjelaskan betapa guru-guru yang direkrut berkompetensi rendah, bukan hanya dalam hal pemahaman ilmu didaktikpedagogik, melainkan juga dalam hal penguasaan bidang mata pelajaran.
Data berikut memperlihatkan bahwa kita memang sedang menghadapi masalah yang sangat serius terkait dengan kualitas guru yang rendah. Pada 2004, diadakan rekrutmen guru untuk seluruh bidang mata pelajaran. Terdapat 1 juta orang pendaftar yang bersaing memperebutkan (hanya) 64 ribu lowongan guru PNS. Dapat dibayangkan betapa ketat persaingan di antara para pelamar. Hasil tes rekrutmen guru ini sungguh mencemaskan masa depan pendidikan di Indonesia (lihat tabel).
Memilukan
Untuk calon guru SD diberikan sebanyak 100 soal mengenai pengetahuan umum dan kemampuan elementer bagi pendidik yang akan bertugas mengajar di jenjang pendidikan dasar. Para calon guru yang bisa menjawab benar rata-rata hanya 37,8 soal, ada yang bisa menjawab benar hanya 5 soal, tapi ada pula yang bisa menjawab benar 77 soal. Untuk mata pelajaran matematika diberikan 40 soal; rata-rata jawaban benar hanya 14,3 soal, ada juga yang benar 2 soal saja, meskipun ada pula yang bisa menjawab benar 36 soal.
Untuk mata pelajaran fisika, diberikan sebanyak 40 soal; rata-rata jawaban benar hanya 13,2 soal, jawaban
benar terendah 1 soal, dan tertinggi 38 soal. Untuk mata pelajaran biologi, dari 40 soal yang diberikan, rata-rata jawaban benar 19 soal, jawaban benar terendah 5 soal, dan tertinggi 39 soal. Untuk mata pelajaran kimia, dari 40 soal yang diberikan, rata-rata jawaban benar 22,3 soal, jawaban benar terendah 8 soal, dan tertinggi 30 soal. Untuk mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, rata-rata jawaban benar masing-masing 20,5 soal dan 23,4 soal, se dangkan jawaban benar terendah masing-masing 2 soal dan 1 soal, serta jawaban benar tertinggi masing-ma sing 36 soal dan 39 soal (Teacher Certification in Indonesia, 2009).
Sungguh terasa pilu melihat profil guru dengan kemampuan penguasaan bidang mata pelajaran yang demikian rendah. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kualitas guru melalui program peningkatan kuali? kasi dan serti? kasi kompetensi jelas sangat berat. Aneka program tersebut belum membuahkan hasil nyata, bahkan tak kunjung mengubah keadaan. Kesejahteraan guru memang mengalami peningkatan yang sangat berarti, setelah pemberian tunjangan profesi bagi guru-guru yang lulus sertifikasi kompetensi. Namun, hampir tak terlihat ada perubahan signi? kan terkait perbaikan kinerja para guru dalam mengajar, yang tecermin pada hasil belajar murid (student’s learning outcome), setelah mereka menempuh program peningkatan kualifikasi dan serti? kasi kompetensi. Meskipun demikian, langkah-langkah perbaikan tetap harus dilakukan secara berkelanjutan dan konsisten.
Pertama, upaya peningkatan mutu guru di masa depan harus dimulai dari hulu yakni pre-service education, yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). LPTK dituntut untuk dapat mendidik calon guru yang memenuhi standar tinggi dan melahirkan guru-guru berkualitas dengan kompetensi profesional mumpuni. Untuk itu, seleksi penerimaan calon mahasiswa LPTK harus ketat. Selain syarat kompetensi, untuk dapat menekuni profesi guru harus didasarkan pada panggilan pengabdian, agar calon-calon guru berkomitmen dengan penuh totalitas dalam mendidik dan mengajar murid-murid di sekolah.
Kedua, proses rekrutmen guru PNS harus dilakukan secara ketat dengan mempertimbangkan academic merit setiap calon. Untuk itu, pemerintah daerah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan guru dan pemilik satuan pendidikan harus mendasarkan rekrutmen guru sepenuhnya pada prinsip meritokrasi. Menjaga prinsip meritokrasi sangat penting agar hanya caloncalon guru yang memenuhi kuali? kasi saja yang direkrut menjadi guru profesional.
Salah satu kritik pelaksanaan desentralisasi pendidikan ialah pengelolaan guru yang rumit. Tidak hanya dalam hal mutasi antardaerah, tetapi juga kendali mutu yang lemah dalam proses rekrutmen. Meskipun kuota guru PNS ditetapkan oleh pemerintah pusat, kewenangan rekrutmen guru berikut penempatan dan persebaran ada di tangan pemerintah daerah. Preferensi politik penguasa daerah sering kali mendominasi pengelolaan guru dan mengabaikan academic merit dalam proses rekrutmen. Politik lokal berkontribusi pada sulitnya mobilitas guru antarwilayah sehingga menghambat upaya pemerataan sebaran guru terutama di daerah-daerah yang kekurangan guru.
Ketiga, pada saat guru sudah bertugas mengajar, program pendidikan dalam jabatan (inservice education) juga harus diselenggarakan secara rutin agar para guru berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan profesional secara berkelanjutan. Pelatihan guru bidang mata pelajaran harus dirancang bukan saja untuk melakukan pendalaman materi ajar bagi siswa, melainkan juga untuk meningkatkan keterampilan mengajar.
Mengasah keahlian
Kualitas guru hanya bisa ditingkatkan melalui program continuous professional development sehingga para guru tak pernah berhenti berinovasi dalam mengembangkan proses pengajaran dan pembelajaran. Untuk itu, in-service education jelas sangat penting agar guru-guru dapat meningkatkan penguasaan ilmu dan memperoleh pengetahuan baru untuk bidang-bidang mata pelajaran yang mereka ampu. Melalui in service education, guru-guru dapat mengasah kembali teaching skills dengan mengadopsi pendekatan baru dalam pembelajaran yang terus berkembang.
Seluruh upaya perbaikan dalam rangka peningkatan kualitas guru harus dilakukan secara sistematis dan konsisten sehingga kita dapat berharap mutu pendidikan akan membaik di masa-masa mendatang. Guru adalah jantung bagi pendidikan bermutu. Guru layak dihormati setara dengan penghormatan kepada orangtua karena mereka membekali the art of living well.
Amich Alhumami, Antropolog, Penekun Kajian Pendidikan; Bekerja di Direktorat Pendidikan Bappenas
Sumber: MEDIA INDONESIA, 08 Juli 2013