Karakter erupsi atau letusan dari aktivitas Gunung Agung cenderung lebih sulit untuk diprediksi dibandingkan dengan gunung lainnya di Indonesia. Hal itu disebabkan tidak adanya data instrumental sebagai pembanding dengan erupsi sebelumnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana praktis hanya dapat menggunakan data pembanding saat letusan Gunung Agung tahun 1963.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho kepada Kompas di kantornya, Jakarta, Selasa (28/11). Menurut dia, sifat letusan Gunung Agung sulit diprediksi karena telah lama tidak terdapat aktivitas vulkanik yang menonjol.
”Sejak terakhir meletus tahun 1963, sampai saat ini Gunung Agung jarang ada gempa, peningkatan status, ataupun aktivitas vulkanik yang menonjol lainnya. Oleh karena itu, kami tidak memiliki data instrumentasi yang lengkap. Kami tidak memiliki data series tentang letusan gunung ini,” tutur Sutopo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sutopo mencontohkan, letusan Gunung Merapi yang karakteristiknya sudah dikenal betul oleh pihak BNPB. Hal itu karena Gunung Merapi memiliki periode letusan yang pendek, sekitar 4-7 tahun sekali.
”Seringnya gunung meletus akhirnya memberikan pengetahuan kami tentang karakteristik gunung tersebut, dalam kasus Gunung Agung ini, kami sulit memprediksi,” tutur Sutopo.
BNPB mencatat, letusan Gunung Agung pada tahun 1963 memakan 1.549 korban jiwa, 1.700 rumah hancur, dan 225.000 orang kehilangan pekerjaannya. Saat itu letusan terjadi hampir satu tahun sejak 18 Februari 1963-27 Januari 1964. Letusan material dari Gunung Agung membubung tinggi hingga ketinggian 20.000 meter.
Sutopo mengakui, kemungkinan erupsi Gunung Agung saat ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. ”Bisa jadi satu bulan karena biasanya gunung kalau sudah hitam, sudah ada letusan magmatik akan erupsi cukup lama. Namun, kami tidak bisa memastikan berapa lamanya secara pasti,” katanya.
Meski begitu, Sutopo mengatakan, BNPB telah siap menghadapi segala kemungkinan terburuk dari letusan Gunung Agung. Rencana penanggulangan bencana menggunakan skenario letusan Gunung Agung tahun 1963.
”Sudah kami petakan sedemikian rupa, sistem komando, jarak terdampak, logistik, dan aktivasi zona berbahaya. Pemerintah daerah juga kami dampingi dan perkuat dalam hal pendanaan, logistik, manajerial, serta tertib administrasi. Kami mengerti akhir tahun, APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) biasanya sudah menipis dan beberapa pos bahkan sudah habis. Kami memiliki dana siap pakai, pemda pun punya dana tidak terduga dan itu bisa digunakan saat kondisi darurat seperti sekarang,” kata Sutopo.
Sutopo menjelaskan, status tanggap darurat yang diberlakukan Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Karangasem memberikan akses kemudahan untuk melakukan penanganan yang sifatnya darurat. Penanganan itu, misalnya, menambah angkutan untuk mengangkut pengungsi, penyediaan logistik di pengungsian, dan hal lainnya berkaitan dengan bencana Gunung Agung.
Waspadai letusan eksplosif
Saat ini, Sutopo mengatakan, intensitas erupsi Gunung Agung saat ini semakin meningkat. Berdasarkan pantauan BNPB pada pagi hari, tinggi letusan yang sifatnya efusif (hanya mengeluarkan asap dan tidak mengeluarkan asap panas) mencapai ketinggian tertinggi, yaitu 4.000 meter.
”Yang perlu diwaspadai dan menjadi ancaman ialah terjadinya letusan eksplosif. Ini yang berbahaya. Letusan yang mengeluarkan material panas, seperti batu pijar, bom, lapili, lava yang bersuhu kira-kira 1.200 derajat celsius, serta awan panas dengan kisaran temperatur 800 derajat celsius. Dalam beberapa hari terakhir, indikasi letusan bersifat eksplosif itu ada,” ujar Sutopo.
Ancaman lainnya, menurut Sutopo, yaitu lahar hujan. Lahar hujan akan mengalir di beberapa aliran sungai yang memiliki hulu di Gunung Agung. Lahar hujan dapat merusak lahan pertanian dan juga membahayakan masyarakat.
Sutopo mengatakan, masyarakat yang berada di dalam radius berbahaya wajib mengungsi demi keselamatan jiwa. Radius berbahaya yang saat ini ditetapkan, yaitu 8 kilometer dari kawah Gunung Agung dan ditambah perluasan sektoral 10 kilometer ke arah utara-timur laut dan tenggara-selatan-barat daya.
Belum ada data valid
Hingga kini, BNPB mencatat 29.023 penduduk telah diungsikan ke 217 titik pengungsian. Pengungsi menempati tempat, antara lain tenda darurat, gedung olahraga, dan balai desa (banjar).
Namun, berapa jumlah penduduk dari 22 desa yang berada dalam zona bahaya yang harus diungsikan belum diketahui secara pasti. Hal itu disebabkan tidak adanya data valid yang bisa digunakan.
”Tidak adanya data valid ini yang menyulitkan kami untuk menentukan berapa banyak jumlah penduduk yang harus diungsikan. Data BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat jumlah penduduk terdampak itu sekitar 63.000 jiwa. Data Open Street Map sebanyak 117.000 jiwa, Asia Pop sebanyak 68.000 jiwa, sementara pernyataan Gubernur Bali 140.000 jiwa,” ujar Sutopo.
Keadaan demikian menyebabkan pihak BNPB harus duduk bersama dengan instansi terkait guna memastikan berapa jumlah penduduk yang harus diungsikan. Sutopo memperkirakan, jumlah valid penduduk yang harus diungsikan akan didapat pada minggu ini.
”Sampai saat ini petugas kami masih mencatat di lapangan karena ada juga penduduk yang mengungsi ke Pulau Lombok. Jumlah terakhir yang kami terima sudah 2.000 orang yang mengungsi ke Lombok,” ujar Sutopo. (DD14)
Sumber: Kompas, 28 November 2017