Kebakaran hutan dan lahan gambut tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat saat ini. Kebakaran hutan dan lahan juga bisa menimbulkan petaka bagi generasi mendatang. Selain ancaman kematian dini, kabut asap juga bisa berdampak buruk terhadap janin dalam kandungan.
Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi bencana dengan dampak ekonomi terbesar di negeri ini dalam satu abad terakhir. Menurut perhitungan Bank Dunia, total kerugian akibat kebakaran hutan seluas 2,6 juta hektar di Indonesia pada tahun 2015 mencapai Rp 221 triliun. Kerugian ini setara dengan 1,9 persen produk domestik bruto (PDB) tahun itu atau hampir dua kali lipat dibandingkan kerugian akibat tsunami Aceh.
Kerugian yang dihitung berdasarkan jumlah pembiayaan yang dibutuhkan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi fisik ditambah dengan terhambatnya kegiatan ekonomi akibat bencana. Nilai kerugian ini belum memperhitungkan dampak kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, bencana kebakaran hutan dan lahan terbukti bisa sangat merugikan kesehatan masyarakat dengan dampak permanen. Studi oleh peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia, Amerika yang dipublikasikan di jurnal Environmental Research Letters (2016) menyebutkan, setidaknya 90.000 orang di Indonesia mengalami kematian dini akibat kabut asap kebakaran hutan tahun 2015. Sementara kematian dini di Singapura dan Malysia yang terdampak kabut asap kiriman dari Indonesia mencapai 10.000 orang.
Riset terbaru yang terbit di jurnal Nature Comunication pada 17 September 2019 memaparkan dampak buruk kabut asap terhadap janin. Untuk pertama kalinya, riset yang dilakukan para peneliti dari Universitas Hasselt dan Universitas Katolik Leuven, Belgia, ini membuktikan jelaga atau karbon hitam yang terhirup ibu hamil bisa menembus hingga plasenta.
Semua jaringan plasenta dari ibu yang selama kehamilannya terpapar jelaga memiliki kandungan ribuan partikel karbon hitam per meter kubik. Semakin tinggi paparan polusi yang dialami ibu hamil, kandungan karbon hitam dalam plasenta semakin tinggi.
Tim menemukan, sepuluh perempuan yang terpapar polusi lebih sedikit memiliki rata-rata 9.500 partikel per milimeter kubik, sedangkan wanita yang terpapar polusi lebih tinggi memiliki rata-rata 20.900 partikel per milimeter kubik pada plasentanya.
Sementara janin dari perempuan yang mengalami keguguran saat masih berusia 12 minggu telah ditemukan adanya partikel karbon. Ini menunjukkan bahwa masuknya partikel karbon ke plasenta bisa terjadi sejak fase awal kehamilan.
Tim Nawrot dari Universitas Hasselt, yang memimpin riset itu, seperti dikutip The Guardian, mengatakan, ”Janin adalah periode kehidupan yang paling rentan. Semua sistem organ dalam pengembangan. Untuk melindungi generasi masa depan, kita harus mengurangi paparan polusi udara.”
Kaitan antara paparan polusi udara dan meningkatnya risiko kelahiran prematur dan bayi lahir dengan berat badan di bawah normal sebenarnya telah banyak dipublikasikan di jurnal ilmiah, misalnya oleh David M Stieb (2012) dan Lamichhane (2015). Sebelumnya, penjelasannya adalah polusi udara memicu peradangan ibu hamil, yang kemudian memengaruhi janin.
Namun, riset terbaru dari Nawrot dan tim ini memberikan bukti bahwa partikel pencemar dalam jelaga itu sendiri bisa berkontribusi langsung terhadap kesehatan janin. Dalam kajian ini, karbon hitam yang diteliti memang berasal dari polusi lalu lintas dan bahan bakar batubara. Namun, karbon hitam juga bisa dihasilkan dari kebakaran hutan.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI–Sejak Sabtu sampai Senin (7-9/9/2019), udara Kota Pekanbaru tercemari asap cukup parah. Angka Indeks Standar Pencemaran Udara sudah kategori Sangat Tidak Sehat. Gubernur Riau Syamsuar menginstruksikan agar sekolah meliburkan siswa apabila asap sudah mengganggu kesehatan siswa.
Kandungan berbahaya
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Fatma Lestari mengatakan, dampak langsung kabut asap bagi kesehatan manusia bisa memicu berbagai penyakit. Misalnya, iritasi saluran pernapasan, batuk dan bersin-bersin, sesak dan sulit bernapas, penurunan fungsi paru-paru, pneumonia, asma, iritasi mata, hingga dampak psikologis pada anak-anak.
”Dalam kabut asap kebakaran terdapat berbagai senyawa berbahaya, sejumlah gas, selain partikel-partikel berukuran mikro dan nano yang bisa terhirup ke paru-paru,” sebut Fatma.
Beberapa senyawa tersebut di antaranya hidrokarbon, akrolein, formaldehid, dan benzena. Selain itu juga terdapat karbon dioksida (CO2), nitrogen (NO), karbon monoksida (CO), cianida (CN), sulfur dioksida (SO2), radikal bebas, ozone (O3), dan PM10 serta PM 2,5. Berbagai senyawa ini bersifat karsinogenik.
Dengan berbagai kandungan berbahaya ini, pemerintah tak bisa lagi menutup mata atas dampak buruknya terhadap kesehatan masyarakat di sekitar lokasi kebakaran. Apalagi, kebakaran hutan terus berulang, dan tahun ini termasuk yang terparah setelah tahun 1997 dan 2015.
Padahal, kajian dari Miriam E Marlier dari Universitas Columbia, Amerika Serikat, dan tim dalam jurnal GeoHealth yang terbit Juli 2019 telah memperingatkan, paparan asap dari kebakaran hutan dapat menyebabkan 36.000 kematian prematur per tahun di seluruh Indonesia, Singapura, dan Malaysia selama beberapa dekade mendatang, jika tidak ada upaya radikal untuk mengatasinya.
Dengan fakta-fakta ini, pembakaran hutan yang terus berulang ini bisa dikategorikan sebagai ekosida, atau kejahatan penghancuran ekologis, yang juga bisa berdampak hilangnya satu generasi mendatang.–AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 20 September 2019