Peristiwa gempa di Jawa Timur merupakan “alarm” untuk mengingatkan kita semua, bahwa potensi ancaman sumber gempa di selatan Pulau Jawa yang selama ini didengungkan oleh para ahli adalah nyata dan tidak boleh diabaikan.
Belum usai penanganan dampak badai Seroja yang destruktif di NTT, kita dikejutkan dengan terjadinya gempa kuat yang melanda Jawa Timur belum lama ini. Gempa dengan magnitudo 6,1 yang terjadi pada Sabtu, 10 April 2021, pukul 14.00.16 WIB memiliki episenter pada koordinat 8,83 Lintang Selatan dan 112,5 Bujur Timur. Tepatnya di laut pada jarak 96 kilometer arah selatan Malang, dengan kedalaman 80 kilometer.
Zona Benioff
Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa yang terjadi merupakan jenis gempa kedalaman menengah yang dipicu oleh deformasi batuan di zona Benioff.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Zona Benioff merupakan bagian Lempeng Samudra Indo-Australia yang sudah tersubduksi dan menukik ke bawah Pulau Jawa di bawah zona megathrust. Karena pusat gempanya berada di kedalaman menengah, maka gempa Jawa Timur belum lama ini tidak termasuk gempa megathrust.
Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa yang terjadi memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault). Mekanisme sumber sesar naik ini sebenarnya sensitif terhadap potensi tsunami jika hiposentar gempanya dangkal dan magnitudonya besar. Patut disyukuri bahwa gempa ini berada di kedalaman menengah dengan magnitudo 6,1 sehingga tidak cukup kuat untuk mengganggu kolom air laut dan tidak memicu tsunami.
Dampak gempa di beberapa daerah di Jawa Timur mencapai skala intensitas maksimum V-VI MMI yang berpotensi merusak. Estimasi peta shake map Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang diinformasikan 15 menit setelah gempa dinilai akurat karena gempa yang terjadi terbukti merusak ribuan rumah yang tersebar di 17 kabupatan/kota di Jawa Timur.
Gempa juga menelan korban jiwa 9 orang dan lebih dari 84 orang luka-luka.
Selain menimbulkan kerusakan, gempa Jawa Timur ini mengguncang wilayah yang luas, hingga Lombok dan Jawa Barat. Terjadinya spektrum guncangan yang luas ini berkaitan dengan hiposenter gempa di kedalaman menengah.
Bagi para ahli, terjadinya gempa merusak di Jawa Timur ini bukan hal yang aneh. Secara tektonik wilayah selatan Malang dikenal sebagai kawasan seismik aktif dan kompleks. Sejarah mencatat bahwa di Malang dan sekitarnya sudah beberapa kali dilanda gempa yang merusak, yakni pada tahun 1896, 1937, 1958, 1962, 1963, 1967, 1972, dan 1998.
Jika kita perhatikan lokasi hiposenter gempa Jawa Timur ini berada di dalam lempeng Indo-Australia yang tersubduksi. Gempa yang berpusat di dalam lempeng semacam ini disebut sebagai ”gempa intra-slab”. Peristiwa gempa Bali pada 22 Maret 2017 dengan magnitudo 5,6, gempa Tasikmalaya pada 15 Desember 2017 dengan magnitudo 6,9 dan gempa Banten pada 23 Januari 2018 dengan magnitudo 6,1 merupakan contoh gempa intra-slab di selatan Jawa.
Meskipun gempa intra-slab hiposenternya cukup dalam, guncangannya dapat dirasakan sangat luas, karena energi regangan (strain) yang terakumulasi diubah menjadi gelombang seismik saat gempa. Dampaknya, gempa akan meradiasikan guncangan dengan frekuensi tinggi sangat signifikan.
Berdasarkan kurva waktu proses rekahan yang terjadi di sumber gempa (source time function) tampak jelas bahwa besarnya energi yang diradiasikan dari rekahan sumber gempa Jawa Timur ini sangat kecil. Durasi proses rekahan sangat singkat, hanya dalam 2,5 detik, tetapi mampu meradiasikan guncangan dahsyat yang sangat signifikan, hingga merusak ribuan rumah dengan guncangan meluas.
Hasil pemantauan BMKG hingga Kamis, 15 April 2021, terjadi 13 kali gempa susulan (aftershock) dengan magnitudo berkisar antara 2,9 dan 5,3. Jika mencermati aktivitas gempa susulan yang terjadi, tampak bahwa produktivitas gempa susulannya sangat sedikit (lack of aftershocks). Gempa-gempa di oceanic intra-slab dengan kedalaman menengah umumnya memang ”miskin” gempa susulan.
Fakta mengenai minimnya produktivitas gempa susulan yang terjadi di Jawa Timur merupakan cerminan penurunan tegangan yang besar dengan tiba-tiba saat terjadi gempa utama. Dengan mengetahui bahwa gempa Jawa Timur memiliki penurunan tegangan (stress drop) yang tinggi maka mengarah kepada dugaan bahwa gempa ini sangat kecil kemungkinan akan diikuti oleh gempa besar berikutnya. Sebaliknya, kondisi tektonik di zona gempa akan segera stabil dan normal kembali.
Alarm untuk kita
Peristiwa gempa merusak di Jawa Timur merupakan ”alarm” untuk mengingatkan kita semua, bahwa potensi ancaman sumber gempa di selatan Pulau Jawa yang selama ini didengungkan oleh para ahli adalah nyata dan tidak boleh diabaikan.
Secara tektonik, wilayah selatan Jawa terdapat beberapa zona sumber gempa seperti: (1) sumber gempa di luar zona subduksi (outer rise), (2) zona subduksi lempeng yang dapat memicu gempa inter-plate, (3) zona Benioff yang dapat memicu gempa intra-slab, dan (4) sesar aktif di dasar laut yang dapat memicu gempa intra-plate.
Terkait dengan beberapa sumber gempa ini, maka gempa kuat dan berpotensi tsunami kapan saja dapat terjadi tanpa dapat diprediksi.
Katalog gempa BMKG mencatat sejak 1840 hingga 2009 di selatan Jawa telah terjadi gempa besar dengan magnitudo antara 7,0 dan 8,0 sebanyak lebih dari 12 kali, sedangkan tsunami di Pantai Selatan Jawa sudah terjadi delapan kali.
Untuk mengantisipasi keberulangan terjadinya gempa kuat dan tsunami, para ahli sudah beberapa kali mengingatkan adanya potensi gempa dan tsunami di selatan Jawa.
Hasil kajian terkini menunjukkan bahwa di zona megathrust selatan Jawa terdapat beberapa area slip deficit yang mengindikasikan adanya bidang kontak antar lempeng yang terkunci. Di wilayah ini diduga sedang terjadi proses akumulasi medan tegangan yang suatu saat dapat berpotensi terjadi gempa kuat.
Hasil kajian ini menghasilkan skenario terburuk (worst case) estimasi guncangan gempa dan tsunami yang dapat dijadikan sebagai acuan mitigasi gempa dan tsunami.
Gempa Jawa Timur selain mengingatkan kita tentang adanya potensi ancaman gempa dan tsunami di selatan Jawa, juga mengingatkan agar kita lebih serius dalam upaya mitigasi bencana dengan menyiapkan langkah-langkah konkret untuk meminimalkan dampak kerugian jiwa dan harta benda akibat gempa dan tsunami.
Korban meninggal dan luka sebenarnya tidak disebabkan oleh gempa, tetapi akibat bangunan yang roboh dan menimpa penghuninya. Banyaknya kerusakan bangunan rumah di Jawa Timur saat gempa Malang merupakan cerminan masih lemahnya mitigasi struktural kita. Untuk itu upaya mitigasi struktural dengan membangun bangunan tahan gempa harus diwujudkan.
Jika tidak, maka sampai kapan pun jika terjadi gempa kuat akan terus jatuh korban jiwa, karena solusi paling utama dalam mitigasi gempa adalah membangun bangunan tahan gempa.
Jika sebagian masyarakat kita belum mampu membangun bangunan tahan gempa, ada alternatif lain dengan cara membangun rumah dengan bahan ringan dari kayu dan bambu yang didesain menarik. Dengan mewujudkan mitigasi struktural, kita dapat meminimalkan jatuhnya korban jiwa akibat gempa.
Untuk mengantisipasi bencana tsunami, kita dapat lakukan dengan cara beragam seperti meningkatkan kegiatan sosialisasi mitigasi tsunami, memahami konsep evakuasi mandiri dengan menjadikan guncangan gempa kuat yang dirasakan di pantai sebagai peringatan dini tsunami, membuat peta jalur evakuasi, memasang rambu evakuasi, latihan evakuasi (drill), dan menyiapkan tempat evakuasi sementara.
Selain itu, perlu ada upaya yang sungguh-sungguh dalam menata ruang pantai berbasis risiko tsunami, serta meningkatkan performa sistem peringatan dini tsunami. Dengan merealisasikan langkah mitigasi bencana gempa dan tsunami, maka kita tetap dapat hidup aman dan nyaman meskipun di daerah rawan bencana.
Daryono, Peneliti di BMKG dan Anggota PuSGeN
Editor: YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 20 April 2021