RPP Gambut Diharapkan Beri Jalan Keluar
Pemerintah diminta mengevaluasi draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut. Isi draf itu dinilai sangat lemah dan tidak memberikan solusi bagi berbagai permasalahan lahan gambut.
Muhammad Teguh Surya, Pengampanye Politik Hutan Greenpeace Indonesia, Jumat (28/2), di Jakarta, menyesalkan, RPP tak melindungi penuh ekosistem gambut. Ia menunjukkan, pembukaan lahan gambut terbukti membawa kerugian bagi pemerintah dan masyarakat.
Contoh nyata adalah kebakaran atau pembakaran yang terjadi akhir-akhir ini di Riau. ”Analisis kami, kebakaran lahan di Riau saat ini 95 persen terjadi di lahan gambut,” katanya. Gambut mudah terbakar karena dikeringkan menggunakan kanal. Pembusukan serasah gambut menghasilkan gas metana yang mudah terbakar. Pemadaman sangat sulit karena terjadi di kedalaman tanah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penetapan RPP Gambut bisa menjadi langkah mundur pengelolaan gambut. Pemerintah masih membuka keran lahan gambut sebagai area budidaya. Padahal, gambut rawan terbakar.
”RPP Gambut sudah dibahas lintas kementerian. Tinggal menunggu tanda tangan Menteri Koordinator Perekonomian,” kata Rosa Vivien Ratnawati, Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Lingkungan Hidup.
Ia mengatakan, pembahasan RPP Gambut yang diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini sudah berlangsung lama. UU No 32/2009 memberikan batas waktu setahun agar pemerintah menerbitkan PP tersebut.
Penyusunan RPP Gambut dilakukan KLH bersama Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, Badan Informasi Geospasial, dan Kementerian Koordinator Perekonomian. ”Semoga prosesnya segera selesai,” kata Vivien.
Ditemui hari sebelumnya di Surabaya, Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya menargetkan, PP Gambut diterbitkan sesegera mungkin. ”Harus sudah selesai sebelum masa jabatan saya berakhir,” katanya.
Balthasar tak sepakat terkait tudingan berbagai pihak bahwa RPP Gambut lemah dalam perlindungan gambut. Lahan gambut, menurut dia, tak bisa seluruhnya dilindungi. Kebutuhan lahan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dinilai penting.
Menurut Balthasar, perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi harus berjalan bersama-sama. ”Perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi harus seimbang. Kita harus memastikan kedua hal terus berkelanjutan,” katanya.
Balthasar mengatakan, RPP Gambut memberikan perlindungan kuat. Perlindungan mutlak diberikan kepada 30 persen ekosistem gambut, termasuk kubah gambut. Di luar luasan tersebut, perlindungan juga harus dilakukan pada gambut tebal (lebih dari 3 meter), kawasan konservasi/lindung, dan memiliki spesies endemik.
”Pengaturan melalui RPP penting dilakukan. Di dalamnya ada pengawasan agar gambut tak dibuka sembarangan,” kata Balthasar.
Emisi karbon
Muhammad Teguh menambahkan, selain merugikan kesehatan masyarakat, lingkungan, serta ekonomi di sejumlah daerah, kebakaran membuat emisi karbon terlepas. Kebakaran gambut menjadi penyumbang besar pelepasan karbon di Indonesia.
Di sisi lain, Presiden telah berjanji di forum global untuk menurunkan emisi 26-41 persen.
”Kami mendesak agar Menteri Koordinator Perekonomian tidak menandatangani, melainkan membuka konsultasi publik pembahasan RPP yang selama ini terkesan eksklusif,” kata Teguh.
Ia berharap, RPP Gambut memberikan jalan keluar bagi berbagai masalah pengelolaan gambut di Indonesia, antara lain, peninjauan kembali pemberian konsesi hutan tanaman industri dan perkebunan sawit di lahan-lahan gambut serta tumpang tindih dengan hutan hak masyarakat adat. (ICH)
Sumber: Kompas,1 Maret 2014