Dari sebuah gambar pasar tradisional yang disesaki pedagang dan pembeli, kerap muncul rasa ingin tahu tentang apa yang tidak tertangkap oleh kamera, seperti apa suasana di luar perspektif yang dipilih oleh fotografer. Dengan teknologi 360 derajat, keingintahuan itu bisa dipenuhi.
Melalui teknologi ini, gambar diam dan bergerak yang disajikan secara 360 derajat memungkinkan pengguna untuk mendapat perspektif yang lebih leluasa dari satu titik dan mendapatkan informasi lebih banyak. Pada satu titik, pengguna akan terbenam dalam realitas baru karena mereka seolah berada di sana dan melakoninya sendiri meski raganya terpaut jarak.
Wisata virtual itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh berbagai pihak, misalnya pengusaha properti, untuk bisa menunjukkan bangunan yang akan dijual atau disewa dari dalam ataupun lingkungan sekitar sehingga pihak yang berminat tidak harus membeli “kucing dalam karung” sebelum mendatangi tempatnya langsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, bukanlah perkara mudah untuk membuat karya 360 derajat. Generasi pertama yang banyak digunakan adalah memanfaatkan kamera dengan lensa lebar untuk mengambil sejumlah foto dari berbagai sudut tanpa bergerak tanpa berpindah. Sesudahnya, foto-foto itu dijahit oleh perangkat lunak sembari memperhatikan bagian gambar yang terdistorsi akibat penggabungan dua gambar yang tidak sempurna. Karya yang dibuat kemudian hanya bisa dinikmati secara terbatas di situs web yang menggunakan layanan khusus.
Google datang menyederhanakan masalah itu dengan fitur photosphere yang memungkinkan kamera ponsel untuk bisa mengambil gambar 360 derajat dan diproses langsung di sana tanpa membutuhkan perangkat lunak terpisah. Mereka juga mengintegrasikan gambar 360 derajat untuk beberapa layanan, seperti peta dan gambarnya bisa dibenamkan ke situsweb lainnya.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–Ricoh Theta S merupakan kamera yang mampu mengambil gambar diam ataupun bergerak dalam bentuk 360 derajat pada saat itu juga, Jumat (5/2). Perangkat seperti ini mampu menghasilkan konten 360 derajat yang mulai dilirik dalam dua tahun terakhir.
Sayangnya photosphere juga belum merampungkan masalah dalam pengambilan gambar 360 derajat. Pengguna harus berdiri dan mengambil serangkaian gambar dengan petunjuk yang muncul di layar. Begitu pula hasil “penjahitan” gambar yang harus dipasrahkan pada proses yang berlangsung di ponsel tanpa sedikit pun kesempatan untuk memastikan hasilnya seperti keinginan pengguna.
Tidak semua ponsel pintar dengan sistem operasi Android yang bisa membuat photosphere. Pasalnya, fitur itu membutuhkan ponsel yang memiliki beberapa sensor khusus di dalamnya, seperti giroskop accelerometer yang berperan penting dalam pengambilan gambar.
Video 360 derajat
Pada Maret 2015, Youtube, yang menjadi layanan video Google, meluncurkan fitur menonton video 360 derajat. Untuk menghasilkan video seperti itu, mereka bekerja sama dengan beberapa pembuat kamera untuk menghasilkan produk atau rangkaian produk yang memungkinkan pengguna mengambil video di berbagai sudut secara bersamaan.
Jamak ditemui, video 360 derajat yang diambil dengan menggabungkan beberapa kamera aksi GoPro atau Xiaomi Yi sehingga lensa lebar yang dimiliki setiap unit bisa mencakup seluruh sudut pengambilan. Gambar kemudian digabungkan melalui perangkat lunak terpisah. Youtube menyiapkan dukungan bagi video 360 derajat yang memungkinkan interaksi dari penonton, seperti mengubah sudut pandang saat video berjalan.
Produk yang lebih ringkas juga tersedia untuk mengambil gambar diam ataupun bergerak secara 360 derajat. Misalnya Kodak SP360 dan Nikon Keymission 360, yang baru diluncurkan pada perhelatan CES 2016 di Las Vegas, Amerika Serikat.
Perangkat yang disebut belakangan memiliki keunggulan bentuk yang lebih ringkas dan mudah untuk dibawa. Namun, kamera itu memiliki keterbatasan pada hasil akhirnya yang memiliki resolusi lebih rendah ketimbang menggabungkan beberapa kamera aksi yang masing-masing bisa merekam gambar hingga resolusi 4K. Meski lebih rumit dalam persiapannya, rangkaian kamera aksi juga memiliki daya baterai lebih kuat ketimbang kamera 360 portabel. Sebab, selain mengambil gambar, mereka juga harus memprosesnya secara langsung.
Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki kamera 360 derajat portabel inilah yang bisa menjadi pertimbangan pengguna untuk memilih perangkat yang dibutuhkan dengan hasil yang diinginkan.
Octagon VR Luna adalah produk pengamat konten 360 derajat yang dikembangkan oleh Octagon Studio yang berkantor di Bandung, Sabtu (6/2). Mereka mengantisipasi tren pertumbuhan minat konten 360 derajat di masa depan dengan menyediakan produk mulai dari layanan jual-beli, perangkat pengamat, hingga peralatan untuk pengambilan gambar.–KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Salah satu kamera 360 derajat yang dipergunakan harian Kompas adalah Theta S, generasi kedua dari kamera portabel yang dirilis oleh Ricoh. Salah satu keunggulannya adalah ukurannya yang ringkas dan muat di dalam saku baju. Bentuknya batang dengan sepasang lensa yang saling membelakangi.
Cara kerjanya cukup sederhana. Begitu pengguna memencet tombol di sisi perangkat, dua lensa yang masing-masing menangkap gambar dengan sudut 180 derajat segera bekerja berbarengan dan menjahitnya dalam waktu singkat. Itulah mengapa, hanya dengan sekali pencet tombol, pengguna sudah bisa mendapatkan gambar 360 derajat tanpa harus bersusah payah.
Hasil akhir dari penyatuan gambar cukup rapi dan tidak sampai memperlihatkan badan perangkat karena terletak di pertemuan dua gambar yang ditangkap dengan sudut 180 derajat. Salah satu konsekuensi jika mengambil gambar 360 derajat dengan cara menggenggam Theta S adalah tangan yang sedikit terpotong pada hasil akhir. Selebihnya tidak ada masalah.
Versi pendahulu dari tipe ini adalah Theta M15 yang fiturnya terbatas untuk pengambilan gambar saja. Fitur perekaman video datang belakangan meski dengan keterbatasan, mulai dari resolusi yang rendah dan singkatnya durasi film yang bisa disimpan.
Aplikasi yang diunduh secara terpisah di ponsel pintar juga bisa dipakai untuk memberikan perintah ke unit kamera tanpa harus dipegang. Dihubungkan melalui koneksi Wi-Fi, pengambilan gambar bisa dilakukan dari jarak jauh.
Saat digunakan untuk mengambil video, Theta S mampu menghasilkan gambar definisi tinggi berikut audio. Hanya butuh satu kali konversi menggunakan perangkat lunak resmi dari Ricoh sebelum diunggah ke Youtube dan akhirnya dinikmati sebagai video 360 derajat. Begitu pula dengan gambar yang dihasilkan untuk diunggah ke Google Plus sebagai photosphere.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO—Hasil foto 360 derajat kamera Theta S.
Dengan ukuran yang kecil, Theta S cukup mudah dibawa dan dioperasikan dengan segera. Begitu dinyalakan tinggal menekan tombol utama saja dan panorama 360 derajat langsung tercipta. Gambar akan terlihat tajam saat diambil dalam kondisi cahaya yang melimpah. Kualitas gambarnya menurun begitu ada di ruangan dengan pencahayaan remang-remang.
Salah satu catatan yang harus diperhatikan terkait dengan kapasitas penyimpanan internal hanya 8 gigabit. Tidak ada cara lain untuk menambah kapasitasnya kecuali gambar ditransfer ke perangkat lain. Opsi lainnya adalah mengurangi resolusi dari file yang nantinya dihasilkan.
Daya tahan perangkat untuk mengambil video berdurasi panjang harus diperhatikan oleh pemiliknya. Badan perangkat akan terasa hangat begitu perangkat banyak mengambil video dalam durasi panjang.
Kabar buruknya adalah perangkat ini atau sebagian besar kamera yang mampu mengambil gambar 360 derajat tidak dijual secara resmi untuk Indonesia, setidaknya sampai sekarang. Untuk mendapatkannya, bisa memanfaatkan jalur daring dan barang dikirim dari luar negeri.
Dengan perangkat seperti ini, kita pun bisa menangkap momen lebih utuh untuk diingat di kemudian hari. Apa yang terjadi di depan kamera dan apa yang berlangsung di belakangnya.–DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Februari 2016, di halaman 26 dengan judul “Gambar 360 Derajat dalam Satu Langkah”.
————
Cardboard; Revolusi Realitas Virtual Berbahan Kardus
Bisakah satu kelas di sebuah sekolah dasar di Cianjur, Jawa Barat, mengetahui seperti apa puncak Mont Blanc di Pegunungan Alpen; menyimak panorama reruntuhan kebudayaan Inca, yakni Machu Picchu di Peru? Atau mengetahui lebih dekat piramida Giza di Mesir; berenang bersama singa laut di dasar laut di Kepulauan Galapagos di Ekuador; atau lebih ekstrem lagi, menapaki permukaan bulan?
Semua bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan ruang kelas mereka, dengan hanya berbekal satu ponsel pintar, koneksi internet, dan sebuah perangkat berbahan kardus. Google Cardboard, perangkat berbahan kardus, merupakan teknologi yang dikembangkan Google dan diperkenalkan pada Google I/O 2014 lalu.
Bentuk Cardboard mirip dengan teropong yang digenggam dengan kedua tangan, tetapi terbuat dari bahan yang mudah ditemui sehari-hari. Bagian depan digunakan untuk meletakkan ponsel pintar dengan sisi layar yang menghadap mata.
Desain perangkat ini bisa diunduh terpisah sehingga siapa pun bisa membuat sendiri. Didalamnya terdapat sepasang lensa untuk melihat layar ponsel dan magnet untuk memberikan perintah selama berinteraksi dengan konten yang ditampilkan. Biaya untuk membuatnya sangat terjangkau, hanya sekitar Rp 100.000 per buah.
Cardboard sendiri bukanlah penemuan baru dalam teknologi realitas virtual (virtual reality/VR) karena upaya untuk menghadirkan produk yang disematkan di depan mata sudah dilakukan jauh sebelumnya oleh berbagai pihak meski dengan harga yang sulit dijangkau. Yang berhasil dilakukan oleh Google adalah menghadirkan sebuah teknologi yang bisa diakses banyak orang dengan sebagian besar banyak bahan yang mudah ditemukan.
Kardus bisa dijumpai di setiap tempat. Begitu pula dengan ponsel pintar yang kini menjadi bagian dari hidup masyarakat modern. Bentuk yang mudah dirakit dan dibawa membuat Cardboard menjadi populer. Hal tersebut juga mendorong munculnya konten 360 derajat yang memanfaatkan teknologi ini dan berangsur menjadi salah satu medium yang patut diperhitungkan.
Tren ini pun tidak disia-siakan berbagai pihak, seperti Samsung yang merilis Gear VR untuk ponsel mereka dan direncanakan tahun ini akan dipasarkan di Indonesia. Produsen ponsel OnePlus juga mengumumkan peluncuran seri terbaru ponsel mereka, OnePlus 2, melalui layanan pengaliran video (video streaming) menggunakan konten 360 derajat.
Setelah diluncurkan 19 bulan lalu, sebanyak 5 juta Cardboard dipergunakan oleh pengguna, belum termasuk versi yang tidak resmi di seluruh dunia. Hingga Desember 2015, ada 25 juta aplikasi yang memanfaatkan teknologi ini terpasang di gawai pengguna. Youtube yang kini sudah menawarkan konten video 360 derajat sudah ditonton sebanyak 350.000 jam jika durasinya diakumulasi dari seluruh pengguna.
Pada Google I/O 2015, Google juga makin serius menggunakan Cardboard sebagai medium untuk memberikan layanan mereka. Salah satunya dengan Expeditions atau inisiatif untuk menghadirkan Cardboard ke ruang kelas. Caranya dengan meminjamkan seperangkat Cardboard berikut ponsel pintar dengan aplikasi yang terpasang di dalamnya.
Guru yang memegang sabak elektronik akan menjadi pemandu wisata dengan mengarahkan para murid yang sedang mengamati isi di dalam Cardboard. Dengan demikian, para murid bisa berdarmawisata ke tempat yang jauh tanpa harus bepergian secara langsung.
Tembok Besar Tiongkok atau Koloseum Roma memang bisa dilihat melalui gambar. Akan tetapi, dengan memanfaatkan teknologi 360 derajat, pengalaman yang dirasakan tentu akan berbeda karena ada sensasi seolah berada di sana dan terlibat secara langsung.
Keterlibatan adalah salah satu proses paling mudah untuk memberikan pemahaman akan konteks yang lebih mendalam ketimbang sekadar menghafal detail seperti angka dan lokasi saja.
Peluang
Di Indonesia, tren teknologi realitas virtual juga diperkirakan bakal marak pada 2016. Itulah yang diyakini Octagon Studio yang berkantor di Bandung untuk mengembangkan produk dalam bentuk perangkat pengamatan dan layanan untuk menampilkan foto 360 derajat. Layanan itu akan menjadi wahana bagi fotografer untuk menjual karya 360 derajat kepada klien yang datang dari berbagai sektor seperti pariwisata dan properti.
”Permintaan sebetulnya banyak, tetapi belum banyak layanan yang bisa mewadahi kebutuhan korporasi untuk mendapatkan konten 360 yang dibuat secara profesional,” kata Fitriani Rahmah, Head of VR Department Octagon Studio.
Selain menggarap layanan, Octagon juga mengembangkan produk pengamat konten 360 derajat sendiri, yakni VR Luna, dan kini sudah terjual 10.000 unit dan tengah menanti produksi batch berikutnya. Perangkat ini harganya sangat terjangkau, hanya Rp 150.000 per buah.
Produk lain yang tengah disiapkan adalah pano head atau perangkat tambahan untuk dipasang di atas tripod yang dipergunakan fotografer untuk membuat gambar panorama dengan hasil yang bisa dijahit menjadi satu.
VR Luna berbahan plastik tetapi memiliki konsep serupa, yakni memanfaatkan ponsel pintar sebagai layar. Produk itu dikembangkan juga untuk berinteraksi dengan produk lainnya, yakni augmented reality (AR) atau menampilkan konten virtual di atas obyek nyata di dalam layar ponsel. Octagon Studio sebelumnya mengembangkan flash card atau kartu AR untuk pendidikan yang bisa menampilkan beberapa koleksi seperti hewan, benda luar angkasa, dan dinosaurus.
”Memanfaatkan pengamat seperti VR Luna, pengalaman dengan AR akan lebih mendalam,” ujar Hasbi Asyadiq, Chief Technology Officer Octagon Studio.
Teknologi dan medium dari teknologi realitas virtual sudah terjangkau. Tinggal konten seperti apa yang harus dibuat atau dipersiapkan. Eranya sudah tiba. (DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Februari 2016, di halaman 26 dengan judul “Revolusi Realitas Virtual Berbahan Kardus”.