Sebagai makhluk seksual, manusia butuh kepuasan seksual. Namun pada sebagian orang, kepuasan itu hanya bisa dicapai melalui gairah dan fantasi yang seringkali melampaui batas-batas kelaziman dalam masyarakat.
Sebagai makhluk seksual, manusia butuh kepuasan seksual. Namun pada sebagian orang, kepuasan itu hanya bisa dicapai melalui gairah dan fantasi yang seringkali melampaui batas-batas kelaziman dalam masyarakat.
Beberapa minggu terakhir, kasus dugaan fetisisme bungkus jarik yang melibatkan G di Surabaya dan penipuan berkedok fantasi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
swinger yang dilakukan BA di Yogyakarta ramai di media sosial. Keberanian para korban bersuara membuat persoalan ini terungkap ke publik.
Untuk kasus fetisisme, G meminta korbannya mengikat tubuh mereka dengan lakban dan membungkusnya dengan kain jarik. Setelah dibungkus, sebagian korban ada yang dipeluk. Respon korban itu kemudian divideokan. Kepada korban, G beralasan hal itu dilakukan untuk riset tugas akhirnya sebagai mahasiswa sarjana. Korban merasa tindakan G itu sebagai pelecehan seksual dalam bentuk fetisisme.
Psikiater Konsultan di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, Nalini Muhdi, Jumat (7/8/2020), mengatakan butuh pemeriksaan psikiatrik untuk memastikan G benar-benar mengalami gangguan fetisisme, tidak bisa hanya menduga. Persoalannya, G hingga kini belum diketahui keberadaannya meski sudah ada panggilan polisi sehingga belum diketahui apakah itu memang riset atau pelecehan seksual.
Orang dengan gangguan fetisisme akan mengalami gairah seksual jika memegang, memandang, atau menciumi barang-barang mati yang umumnya merepresentasikan perempuan, seperti celana dalam, kutang, sepatu hak tinggi, syal, hingga rambut palsu. Kepuasan seksual dengan cara ini umumnya diakhiri dengan masturbasi.
Namun ada pula yang mendapat kepuasan seksual dengan memegang barang-barang tersebut sembari berhubungan badan dengan pasangannya, tentu setelah mendapatkan izin. Jika orang dengan fetisisme itu memakai barang-barang yang membangkitkan gairah seksualnya hingga dia berdandan seolah seperti perempuan, maka dia dikelompokkan sebagai transvestisisme atau festisisme transvestik.
Psikolog seksual Zoya Amirin menambahkan mereka yang mengalami festisisme juga bisa memiliki ketertarikan pada tubuh tertentu, seperti jempol kaki, lutut, dan betis. Festisisme terhadap bagian tubuh tertentu itu dinamai parsialisme.
Seseorang dikatakan mengidap gangguan ini jika dorongan terhadap benda-benda itu muncul berulang minimal enam bulan. Mereka yang hanya bisa mencapai kepuasan seksual dengan menggunakan benda-benda tersebut umumnya mengalam distres (stres negatif) hingga mengganggu fungsi sosial atau kehidupannya.
“Festisisme umumnya dialami orang dengan orientasi heteroseksual,” kata Nalini. Dalam kasus G, sejumlah korban yang terungkap adalah laki-laki. Karena itu, bisa saja tindakan yang dilakukan G bukan fetisisme, melainkan petualang seks yang iseng atau fantasi homoseksual yang aneh.
Namun jika dilihat berdasar dandanan korban ala pocong, bisa juga gangguan yang dialami G adalah nekrofilia, yaitu gairah seksual yang hanya bisa dicapai dengan mayat. Meski demikian, nekrofilia terjadi dengan mayat, bukan orang yang berpura-pura menjadi mayat seperti korban G. Kasus nekrofilia biasanya ditemukan di tempat penitipan jenazah atau di kuburan dengan menggali kembali kuburan jenazah yang baru dimakamkan.
Berbagai dugaan itu hanya bisa dipastikan jika ada pemeriksaan psikiatrik, baik pada pelaku maupun korban. Namun, baik festisisme, transvestisisme, maupun nekrofilia adalah beberapa jenis parafilia, yaitu penyimpangan seksual yang membuat seseorang secara dominan mendapatkan gairah dan kepuasan seksualnya dengan cara yang tidak biasa menurut nilai sosial, budaya, dan agama dalam masyarakat.
Gangguan parafilia, lanjut Nalini, bisa dipicu oleh kerusakan otak yang membuat fungsi luhur pada otaknya terganggu sehingga penderita memiliki perilaku seksual menyimpang. Kerusakan otak itu bisa dipicu oleh penyakit tertentu, kecelakaan, hingga konsumsi zat-zat tertentu.
Psikolog klinis dan dosen di Fakultas Psikoloi Universitas Indonesia Adityawarman Menaldi menambahkan, parafilia juga bisa dipicu oleh ketidakseimbangan hormon sehingga mereka memiliki dorongan seksual yang tak lazim. Konsumsi obat-obatan terlarang, alkohol, maupun zat tertentu bisa mengganggu keseimbangan hormon tersebut.
Jika tidak ada persoalan otak dan gangguan hormon, maka persoalannya bisa berasal dari psikologi mereka. Dalam perspekstik psikodinamika, mereka yang mengalami parafilia biasanya mengalami trauma masa lalu. Trauma yang terpendam itu baru dikeluarkan saat mereka dewasa, ketika sudah mampu mengontrol lingkungannya.
Sementara dalam cara pandang perilaku (behavioral), mereka yang mengalami parafilia bisa mendapatkan stimulus seksual atau punya pengalaman seksual pertama dengan cara menyimpang tersebut. Rasa nyaman yang mereka dapatkan justru mendorong mereka untuk mencari kembali stimulus tersebut. Situasi itu terbawa sampai mereka dewasa hingga tidak bisa menyalurkannya melalui hubungan yang sehat dan setara, tanpa merugikan orang lain.
Terkait stimulus seksual awal, Nalini mengatakan festisisme dan transvestisisme bisa muncul dari kebiasaan melihat model pakaian dalam perempuan di majalah sejak kecil. Saat remaja, gambar itu jadi bahan masturbasi.
Dorongan itu terus berkembang hingga mereka memegang barang-barang milik ibunya. Akibatnya saat dewasa, mereka tidak bisa mendapatkan dorongan seksual jika tidak memegang barang-barang mati tersebut.
Dalam perpektif perilaku-kognitif, parafilia juga bisa dialami pada orang yang mengalami pelecehan seksual di masa lalu atau tumbuh dalam keluarga dengan pola asuh tidak sehat hingga tidak bisa mengekspresikan emosi mereka secara tepat. Saat memiliki kendali, mereka ingin melampiaskan dendam sejak kecil.
Nalini menambahkan, pola asuh dari figur paling penting dalam hidup juga bisa memengaruhi. Pada anak laki-laki, figur utama itu biasanya ibu. Mereka yang mengalami parafilia ini biasanya sulit melepaskan diri dari bayang-bayang figur utama tersebut. Pola asuh yang penuh dengan kekerasan juga bisa memunculkan permusuhan dari pikiran bawah sadarnya. Saat dewasa, mereka ingin melampiaskan dendamnya sedari kecil.
Meski demikian, Adityawarman menegaskan, “Tidak ada satu faktor kuat yang membuat seseorang mengalami parafilia. Berbagai faktor itu saling memengaruhi.”
Festisisme juga memiliki beragam tingkatan, bergantung pada kemampuan seseorang mengendalikan dorongan tersebut. Karena itu, lanjut Zoya, upaya rehabilitasi psikoseksual penting diberikan. Festisisme tidka bisa hilang penuh seperti penyakit. Karena itu, edukasi dan pendampingan bagi mereka yang memiliki hasrat seksual menyimpang perlu terus dilakukan agar mereka bisa mengendalikan dorongannya, tidak merugikan orang lain dan berurusan dengan hukum.
Bertukar pasangan
Sementara itu dalam kasus pelecehan seksual berkedok riset swinger a, dalam video yang beredar, BA mengaku ingin lebih berfantasi swinger secara virtual semata. Meski swinger atau bertukar pasangan seksual itu tidak lazim dalam nilai sosial, budaya dan agama di Indonesia, praktik itu bukan termasuk parafilia.
Swinger dinilai Nalini lebih ke masalah gaya hidup. Dari studi yang dilakukannya bersama sejumlah residen psikiatri di kampusnya, ada sejumlah kelompok swinger di Indonesia. Dalam satu kelompok itu biasanya hanya terdiri atas beberapa pasangan saja. Mereka umumnya memiliki nilai yang longgar, dilakukan karena meniru kegiatan serupa di negara lain, serta memiliki aturan tertentu dalam setiap kelompok.
Prinsip utama swinger yakni ada persetujuan di antara pasangan untuk melakukan kegiatan tukar pasangan tersebut. Swinger tidak akan berhasil jika semua pihak tidak mendukung konsensus atau aturan bersama.
Dalam satu kasus, ada seseorang yang membutuhkan waktu hingga empat tahun untuk meyakinkan pasangannya agar mau melakukan hal itu. Dengan dasar ini, maka tindakan yang dilakukan BA tidak termasuk kategori swinger, namun lebih ke penipuan atau pelecehan seksual.
Proses swinger pun dilakukan melalui sejumlah tahapan yang panjang. Saat awal bertemu, komunitas ini umumnya hanya mengobrol. Tahapan berikutnya biasanya berupa soft swinger yaitu saling berhubungan badan dengan pasangan masing-masing di satu tempat. Jika proses itu sudah terjadi, biasanya mengarah ke true swinger atau bertukar pasangan yang sesungguhnya.
“Praktik swinger lebih menitikberatkan pada upaya mencari variasi dalam hubungan intim bagi pasangan yang telah menikah resmi,” ujar Zoya. Dari sejumlah kliennya, swinger biasanya jadi pilihan saat hubungan di antara pasangan itu sedang renggang atau dilanda kebosanan. Ada pula yang menjadikannya sebagai opsi karena khawatir selingkuh.
Mereka yang melakukan praktik swinger mengklaim mendapatkan kepuasan atau lebih sejahtera setelah melakukan aksi itu, termasuk mempererat hubungan suami-istri. Namun hal itu diragukan banyak ahli, terutama apakah benar swinger membuat hubungan suami-istri makin baik.
Meski demikian, hal yang pasti dari swinger adalah meningkatkan risiko penularan dan penyebaran penyakit infeksi menuar seksual hingga kanker mulut rahim.
Karena itu, Zoya menyarankan kepada pasangan untuk saling menjaga kesetiaan dan terus berkomunikasi secara intens bila ditemukan masalah, termasuk dalam kehidupan seksual pasangan. Swinger atau paraktik seksual lain sebagai opsi pelampiasan dari ketidakharmonisan sebuah hubungan belum tentu menjamin akan tercapai hubungan suami-istri yang lebih baik.
“Saat muncul kebosanan dan ketidakharmonisan dalam sebuah hubungan, konsultasikan melalui jasa konseling keluarga,” katanya. Meski belum banyak, konselor perkawinan atau psikolog yang memang menekuni persoalan perkawinan dan keluarga, juga bisa dimanfaatkan.
Cegah korban
Keberanian sejumlah korban untuk bersuara perlu terus didorong hingga mencegah munculnya korban-korban baru. Namun, upaya mencegah korban itu juga bisa dilakukan dengan membangun kesadaran untuk melindungi diri dari orang yang tidak dikenal serta mampu bersikap asertif atau berani mengatakan tidak jika tidak nyaman dengan perlakuan orang lain.
Dalam kasus G dan BA, korban yang rata-rata sudah dewasa seharusnya memiliki kemampuan tersebut. Namun karena pola asuh di Indonesia masih menekankan pada kepatuhan anak terhadap orangtua, saat dewasa mereka sulit menolak permintaan orang lain atau sungkan meski baru dikenal. Keberanian untuk berkata “tidak” bisa mencegah kasus pelecehan seksual perlu didorong.
“Apa yang diingatkan pada anak kecil untuk tidak mudah percaya dengan orang asing atau yang baru dikenal tetap berlaku bagi orang dewasa,” tambah Adityawarman.
Nalini juga berharap kemampuan berpikir kritis terus didorong. Anak harus dibiasakan berani mempertanyakan sesuatu, berpikir bukan hanya tentang ‘apa’, tetapi juga ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’. Kemampuan pikir ini akan membentengi mereka, termasuk saat sudah dewasa, dari tipu daya orang lain.
“Secara kognitif, masyarakat memang bisa memakai gawai. Namun secara afektif, mereka masih gagap menggunakan teknologi,” kata Nalini. Sikap itu membuat banyak orang bisa dengan mudah memberikan nomor pribadi, bahkan alamat rumah, pada orang yang baru dikenal hingga mereka mudah jatuh dalam tindakan yang membahayakan diri, termasuk jadi korban pelecehan seksual.
Oleh ADITYA DIVERANTA/MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
Editor: EVY RACHMAWATI, ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 8 Agustus 2020