Maraknya kegiatan survei, hitung cepat, dan exit poll terkait pemilihan umum sekitar 10 tahun terakhir menunjukkan betapa fenomena realitas sosial dapat ditelaah dengan pendekatan ilmiah.
Secara sosiologis hal itu mengurai penebalan realitas politik menjadi lebih cair. Masyarakat pun dengan sendirinya memiliki acuan alternatif untuk menentukan pilihan dan menerima hasil pertarungan politik tanpa harus bersifat ekstrem.
“Semakin terbuka ruang untuk menganalisis visi-misi dan program kerja para kandidat. Pada sisi lain, semakin terukur pula tingkat penerimaan dan penolakan masyarakat terhadap para kandidat secara rasional,” ujar sosiolog politik Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, ketika dihubungi di Yogyakarta, Kamis (16/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, Arie juga mengingatkan agar para ilmuwan dan praktisi yang berkecimpung dalam survei politik benar-benar menjaga kredibilitasnya dengan menjunjung tinggi metodologi dan etika moral. Jangan sampai karena kepentingan pragmatis, lalu proses dan hasil mengabaikan nilai-nilai survei. “Setiap lembaga survei harus berani membuka kepada publik metode yang digunakan, termasuk dalam penentuan sampel,” ujar Arie.
Acuan kejujuran
Secara terpisah, dosen ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Burhanuddin Muhtadi, menuturkan, hitung cepat berpengaruh secara politik karena menjadi acuan kejujuran pemilu bagi masyarakat. Hitung cepat wajib dilandasi metode statistik yang baku, tidak bisa seenaknya.
“Dengan begitu, hasil hitung cepat bisa dibuktikan melalui penghitungan memakai rumus statistik. Memang, di setiap statistik selalu ada kemungkinan kesalahan (margin of error),” katanya.
Burhanuddin yang merupakan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia menerangkan, apabila kemungkinan kesalahan itu 1 persen, ketepatan angka hasil hitung cepat bisa ditambah atau dikurangi satu poin. Karena itu, membaca hasil hitung cepat juga harus teliti dan tidak bisa ditafsirkan secara semena-mena.
“Apabila selisih antara dua pasangan sangat kecil, seperti kurang dari 1 persen, tidak bisa langsung ditafsirkan bahwa pasangan dengan persentase lebih banyak adalah pemenang pemilu,” ujar Burhanuddin.
Menurut dia, masyarakat Indonesia semakin memperhatikan proses dan hasil hitung cepat. Hal ini membuat lembaga pelaku hitung cepat tidak bisa seenaknya memanipulasi data. “Melakukan manipulasi itu sama saja dengan membunuh kredibilitasnya sendiri,” katanya.
Meskipun begitu, Burhanuddin mengatakan, dari sisi akademis, hitung cepat tidak berarti karena yang memberi bobot analisis suatu pemilu ialah survei pasca pemungutan suara (exit poll). Survei ini dilakukan terhadap orang-orang yang baru selesai mencoblos di bilik suara. Mereka ditanya mengenai latar belakang pendidikan, ekonomi, dan alasan memilih pasangan calon tertentu.
“Hasil survei penting untuk memetakan pola para pemilih di dalam politik suatu wilayah,” katanya. (DNE)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Februari 2017, di halaman 12 dengan judul “Kesadaran Bernalar Warga Tumbuh”.