Hasil penelitian terbaru menunjukkan sejumlah spesies hiu berjalan di Indonesia diperkirakan belum tuntas mencapai tahap akhir evolusinya. Hiu endemis di Raja Ampat dan Halmahera ini membutuhkan perlindungan.
Sejumlah spesies hiu berjalan di Indonesia diperkirakan belum tuntas mencapai tahap akhir evolusinya. Temuan itu menambah arti penting perlindungan bagi hiu yang bisa dijumpai pada ekosistem terumbu karang di Raja Ampat, Papua Barat; dan Halmahera, Maluku, ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
FOTO-FOTO: KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Hiu berjalan raja ampat (”Hemiscyllium freycineti”) ditemukan di titik penyelaman Jeti Harja, Misool, Raja Ampat, Papua Barat, Selasa (10/10).
Hasil riset ini dipublikasikan secara daring pada 21 Desember 2020 dalam jurnal Marine and Freshwater Research berjudul Walking, Swimming, or Hitching A Ride? Phylogenetics and Biogeography of the Walking Shark Genus Hemiscyllium. Riset itu dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), University of Queensland, University of Florida, dan Conservation International.
Fahmi, peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI, yang terlibat riset dan penulisan dalam jurnal itu, Rabu (22/1/2020), di Jakarta, mengatakan, hiu berjalan ini memerlukan upaya perlindungan. ”Secara umum, untuk semua jenis hewan, apabila memiliki tingkat endemisitas tinggi, perlu upaya perlindungan, termasuk bagi kelompok hiu berjalan ini karena sebarannya sangat terbatas di wilayah Papua dan Halmahera,” katanya.
Perlindungan itu bisa memakai pendekatan konservasi habitat perairannya dari aktivitas penangkapan dan mengatur ketat syarat penangkapan ataupun pendekatan konservasi spesies/jenis hewan. Sayangnya, pendataan hiu berjalan di Indonesia masih minim sehingga sulit mengajukan perlindungan melalui IUCN atau Badan Konservasi Dunia.
Ia berharap penelitian ini bisa menggiatkan kerja sama institusi penelitian, perguruan tinggi, badan penelitian dan pengembangan (litbang), ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), bahkan masyarakat awam. Salah satu penelitian yang paling mudah dilakukan adalah memakai pendekatan riset science based community.
Cara itu dilakukan dengan menghimpun masyarakat untuk melaporkan atau mencatat apabila menemukan hewan itu di alam, di mana lokasi ditemukan, serta akan jauh lebih membantu apabila bisa menduga panjang dan jenis kelaminnya tanpa harus membunuh atau mengganggu hewan tersebut.
Upaya itu sudah dilakukan terhadap jenis pari manta atau hiu paus. Laporan temuannya bisa disampaikan melalui grup sosial media atau platform lainnya. Metode itu memerlukan badan atau organisasi khusus untuk mengompilasi datanya.
Evolusi
Berdasarkan hasil riset dalam jurnal itu, para peneliti memperkirakan sejumlah spesies hiu berjalan yang dijumpai di bagian barat dari Pulau Niugini, di antaranya hiu berjalan raja ampat dan halmahera, masih dalam proses diferensiasi. Namun, belum diketahui kapan tepatnya spesies-spesies itu akan berevolusi mengingat evolusi merupakan proses lama.
Temuan lainnya dari penelitian ini adalah hiu berjalan merupakan spesies hiu yang terakhir berevolusi. Mereka diperkirakan berevolusi sekitar 9 juta tahun lalu. Hal itu menjadikan mereka sebagai spesies hiu paling muda karena sebagian besar spesies hiu terakhir berevolusi sekitar 200 juta tahun lalu.
”Melalui pendekatan filogeni molekuler, kami bisa memperkirakan kapan mereka berevolusi serta menyelidiki proses yang mengarah pada spesiasi, proses terbentuknya spesies baru. Kami menemukan perubahan permukaan laut, formasi terumbu karang baru, dan daratan memainkan peran,” tutur Christine Dudgeon, penulis utama dan peneliti dari University of Queensland, dalam keterangan yang dikirim Conservation International Indonesia.
Spesies hiu berjalan di Indonesia pertama kali dideskripsikan pada 1824 dari Kepulauan Raja Ampat (Hemiscyllium freycinetti), tetapi pada 2008 dua spesies hiu berjalan dideskripsikan dari Kaimana (H henryi) dan Teluk Cenderawasih (H galei). Pada 2013, dideskripsikan juga spesies hiu berjalan dari Halmahera (H halmahera).
Berbeda dari hiu pada umumnya, mereka dapat ”berjalan” dengan memakai sirip mereka. Itu menjadi daya tarik bagi peneliti untuk memahami spesies ini lebih dalam. Namun, karena habitatnya terbatas dan terisolasi, mereka sangat rentan terhadap ancaman seperti penangkapan berlebih.
”Perlu diingat, ancaman ini tak hanya datang dari kegiatan di pesisir, tetapi juga dari daratan, seperti sampah plastik, limbah dari pabrik, dan pembangunan tak terkendali dan terencana. Hal itu akan merusak terumbu karang yang merupakan habitat penting tempat hiu berjalan menghabiskan seluruh hidupnya,” tutur Victor Nikijuluw, Senior Director Marine Program Conservation International.
Ia menyarankan agar segera dilakukan upaya konservasi terintegrasi antara darat dan laut demi memastikan keberlangsungan hidup dari spesies endemik ini. Adanya temuan baru itu diharapkan membuat lebih banyak spesies hiu berjalan masuk dalam Daftar Merah IUCN. Dari sembilan spesies, tiga (H galei, H henryi, dan H halmahera) di antaranya tak memiliki data mencukupi (data deficient) untuk penetapan status keterancaman punah dan tiga spesies itu merupakan spesies hiu berjalan dari Indonesia.
Di Indonesia, perlindungan hiu diberikan bagi spesies hiu tikus (terkait perikanan tuna sejak 2012), hiu paus (perlindungan penuh sejak 2013), hiu martil dan hiu koboi (larangan ekspor dari wilayah RI). Secara global, appendix II CITES memberi perlindungan terbatas bagi hiu paus dan hiu basking, hiu koboi, hiu martil, hiu lanjaman (kejen), dan hiu tikus.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 22 Januari 2020