Salah persepsi terhadap epilepsi masih terjadi meski penyakit itu telah lama muncul di Tanah Air. Hal itu mengakibatkan stigma terhadap orang dengan epilepsi terus terjadi, sehingga menghambat orang dengan epilepsi untuk menjalani pengobatan.
”Stigma dan mitos seputar epilepsi menyebabkan orang dengan epilepsi dikucilkan dari lingkungan, sekolah, dan tempat kerja. Kehidupan rumah tangga mereka juga terhambat,” kata Ketua Yayasan Epilepsi Indonesia Irawaty Hawari, saat dihubungi, Minggu (1/2), di Jakarta.
Kondisi itu membuat mereka yang terkena epilepsi tertekan dan depresi sehingga menutupi keadaannya. Hal itu mengakibatkan penanganan epilepsi menjadi tidak optimal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Irawaty mencontohkan persepsi salah dari masyarakat yakni menganggap penyakit epilepsi adalah kutukan, menular, dan tidak bisa disembuhkan. Padahal, epilepsi bukan penyakit menular apalagi memalukan.
Dengan pengobatan yang tepat dan dijalani dengan patuh, maka epilepsi bisa disembuhkan. Dengan demikian, orang yang menderita epilepsi bisa hidup normal dan beraktivitas seperti banyak orang.
Oleh karena itu, menurut Irawaty, peringatan Hari Epilepsi Sedunia yang akan diperingati pertama kali, diharapkan bisa menjadi momentum untuk menggugah kepedulian dunia terhadap epilepsi. Pada kesempatan itu, YEI akan menyosialisasikan penanggulangan epilepsi dari aspek psikososial.
Dengan sosialisasi yang intensif, stigma dari masyarakat terhadap orang dengan epilepsi diharapkan menurun. Selain itu, kampanye tersebut diharapkan bisa meningkatkan pemahaman masyarakat tentang epilepsi, dan mereka dengan epilepsi akan bersedia menjalani pengobatan.
Penyakit saraf
Epilepsi adalah penyakit saraf menahun yang bisa mengenai siapa saja di dunia tanpa batasan usia, jenis kelamin, ras, sosial, dan ekonomi. Meski demikian, di negara berkembang, angka kejadian epilepsi masih tinggi. Banyak studi menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka kejadian penyakit itu 50-70 kasus per 100.000 orang.
Di Indonesia, dari 237,6 penduduk, diperkirakan terdapat 1,1 juta sampai 8,8 juta orang dengan epilepsi. Prevalensi pada bayi dan anak-anak, serta lanjut usia masih tinggi, dan lebih rendah pada kelompok usia dewasa muda serta pertengahan.
Fitri Octaviana, ahli saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) Jakarta, memaparkan, pengobatan epilepsi bertujuan mengontrol angka kejadian bangkitan. Itu dilakukan dengan memilih obat anti epilepsi (OAE) yang sesuai dengan tipe bangkitan, mengonsumsi OAE secara teratur dengan dosis optimal, dan menghindari faktor pencetus seperti kurang tidur, kelelahan, ataupun stres.
Sementara itu, neurolog anak dari FKUI-RSCM, Irawan Mangunatmadja, dalam paparannya, mengatakan, epilepsi anak akan sulit diobati jika ada faktor risiko seperti bila usia awal serangan kurang dari satu tahun, ada keterlambatan perkembangan, adanya kelainan saraf seperti kelumpuhan. Faktor risiko lain adalah, bentuk serangan kejang lebih dari satu macam, serangan tidak berhenti dengan satu macam obat anti epilepsi. (ADH)
Sumber: Kompas, 2 Februari 2015
Posted from WordPress for Android