Enzim DNA Polimerase, ”Molecule of The Year” 1989

- Editor

Rabu, 7 Maret 1990

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Memilih sesuatu yang terpopuler memang menjadi mode dan pemilihan itu biasanya ditujukan kepada seseorang. Contohnya majalah Editor memilih Marzuki Usman, ketua badan pelaksana pasar modal sebagai Man of The Year 1989. Pemilihan seperti itu sudah sering kita dengar, tetapi pemilihan molekul yang terpopuler, rasanya baru kali ini kita mendengarnya. Jadi kalau majalah Science memilih enzim DNA Polimerase sebagai Molecule of The Year 1989, itu baru berita.

Menurut majalah Science yang terbit 22 Desember 1989, proses pemilihan tersebut tidak gampang karena ada beberapa molekul yang diunggulkan. Satu di antaranya adalah polytoxin (C129H223N3O54, mempunyai 1021 isomer ruang) yang berhasil disintesis secara kimia di laboratorium. Di antara senyawa organik yang berhasil disintesis, baru polytoxin (terdapat pada koral yang berada dalam air laut di Maui, Hawai) inilah yang mempunyai bobot molekul terbesar.

Lalu bagaimana dengan enzim DNA Polimerase Dua puluh tahun lalu, enzim ini barangkali hanya dianggap sebagai enzim yang sekedar diketahui oleh mereka yang berkecimpung dalam ilmu dasar (biokimia) saja dan kurang menimbulkan imajinasi dalam pemakaian praktis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selang beberapa tahun saja, nama enzim ini mencuat, karena dapat dilibatkan dalam pemakaian terapan, yaitu pada tahapan awal proses rekombinan DNA. Pembuatan untai ganda DNA (gen yang diinginkah, yang akan disisipkan pada DNA plasmid) dapat dilakukan dari mRNA (messenger Ribonucleic Acid) yang dikatalisis oleh enzim reverse transkriptase (diisolasi dari virus) menjadi untai tunggal DNA. Karena DNA (gen yang diinginkan ) itu harus berupa untai ganda, maka perlu disintesis untai tunggal DNA yang komplemen (baca adenin selalu berpasangan dengan basa timin, demikian pula basa guanin berpasangan dengan basa sitosin) dengan bantuan enzim DNA Polimerase.

PCR
Pemanfaatan yang lebih luas enzim DNA Polimerase terbentang mulai enam tahun lalu. Enzim ini temyata dapat dipakai untuk melipatgandakan jumlah DNA. Proses perbanyakan DNA memakai enzim DNA Polimerase ini terkenal dengan julukan polymerase chain reaction (PCR). Pada awalnya, DNA Polimerase yang digunakan berasal dari bakteri Escherichia coli, namun kini hampir semuanya memakai enzim DNA Polimerase yang diisolasi dari bakteri yang bersifat termostabil yaitu Thermus aquatus, sehingga nama lain dari DNA Polimerase yaitu Taq polimerase.

Mengapa pemakaian sumber DNA Polimerase itu beralih dari E. coli ke T aquatus? Hal ini disebabkan enzim DNA Polimerase yang diisolasi dari E . coli itu mempunyai suhu optimum (suhu yang optimum bagi kerja enzim, lebih dari itu atau kurang, aktivitas enzim jadi menurun) 30°C, sedangkan enzim yang diisolasi dari T aquatus mempunyai suhu Optimum 74°C. Adanya enzim DNA Polimerase yang memiliki suhu tinggi itu penting mengingat proses denaturasi DNA terjadi pada temperatur 95°C. Untuk lebih jelasnya, kita perlu lebih dahulu mengetahui proses kerja PCR ini.

Proses kerja PCR
Proses kerja PCR yang terjadi di luar sel (in vitro) ini dapat meniru proses replikasi DNA yang berlangsung secara alamiah, sehingga dapat dimanfaatkan dibidang biologi molekuler. PCR ini tidak hanya merupakan revolusi dalam bidang biologi molekuler, tetapi juga dalam bidang kedokteran karena dapat mempercepat pendeteksian penyakit genetik seperti anemia sel sabit, cystic fibroisis di samping itu juga dalam penelitian mutasi gen yang berkaitan dengan kanker, mempercepat penentuan usia mumi berdasarkan identifikasi DNA mitokondria (tanpa mengukur keradioaktifan), dan sebagainya.
Penemuan demi penemuan dalam aplikasi enzim DNA PoIimerase ini begitu beruntun dan mencapai klimaksnya pada tahun 1989. Itulah sebabnya enzim ini terpilih sebagai Molecule of The Year 1989. Bantuan enzim DNA Polimerase pada berbagai persoalan, tentu masih berlanjut terus, kita pun tak ingin ketinggalan mengamati perkembangan ini.

Proses PCR mi dapat dilakukan dalam suatu mesin otomatis seukuran komputer pribadi. Ratusan mesin ini sudah dijual dengan harga 7500 dollar AS (harga tahun 1988). Dalam proses PCR ini, ada tiga tahap untuk perbanyakan DNA yaitu denaturasi DNA, penempelan DNA primer, dan polimerisasi DNA. Siklus ini berulang-ulang (mau berapa saja) sehingga diperoleh DNA dalam jumlah banyak.

Dalam proses PCR, untui ganda DNA yang saling komplemen dipisahkan dengan memansakan larutan (yang mengandung DNA tersebut) pada suhu 95°C selama 5 menit. Tahap kedua, larutan itu segera didinginkan (tiba-tiba, supaya dua untai DNA itu tidak saling melilit lagi) sampai suhunya 30°C selama 2 menit, selanjutnya ditambah DNA primer yang akan menempel (komplemen) pada untai DNA yang akan diperbanyak (DNA primer itu dibuat setelah diketahui urutan basa-basa pada DNA yang diteliti; membuatnya memakai mesin DNA Syntheziser. Tahap berikutnya manaikkan suhu larutan menjadi 74°C dan ditambah enzim DNA polimerase (Taq polimerase; sudah diproduksi juga melalui rekombinan DNA). Setelah sekian waktu, terjadilah DNA yang beruntai dua. Siklus yang kedua, DNA itu didenaturasi lagi dan seterusnya. Jadi berulang-ulang.

Aplikasi
Berbagai aplikasi PCR dibidang kedokteran telah terbuka lebar, contohnya dalam mempercepat deteksi penyakit genetik anemia sel sabit. Penyakit ini disebabkan terjadinya mutasi satu basa pada gen yang bertanggung jawab mensintesis protein hemoglobin rantai rantai beta, sehingga terjadi penggantian satu asam amino. Orang yang memiliki hemoglobin normal, memiliki asam amino glutamat pada urutan keenam rantai beta, sedangkan penderita anemia sel sabit, posisi tersebut digantikan oleh asam amino valin. Adanya perubahan satu asam amino ini menyebabkan perubahan bentuk sel darah merah dan perubahan kapasitas hemoglobin mengangkut oksigen.

2b974f0b-100c-4199-a800-6416691e5a7aGuna memudahkan pemahaman, dapat dilihat pada gambar RS06 adalah fragmen untai tunggal DNA (DNA probe) yang spesifik melacak kelainan genetik anemia sel sabit. DNA probe (yang komplemen dengan bagian spesifik pada DNA sasaran, tetapi tidak komplemen dengan DNA primer) ini diberi penada berupa isotop 32P. PC03 adalah fragmen DNA (DNA primer) yang komplemen dengan untai pertama DNA yang mengandung gen beta globin, sedangkan PCO4 adalah fragmen DNA primer yang komplemen dengan untai kedua DNA yang mengandung komplemen dari gen beta globin (DNA koromosom mempunyai dua untai ganda DNA yang saling melilit, satu untai DNA saja yang bertanggungjawab sebagai gen).

Buat apa DNA primer yang disintesis secara kimia ini? Sebagaimana diketahui, enzim DNA polimerase hanya mau bekerja jika ada jika ada dua untai DNA yang komplemen, satu di antaranya lebih pendek (yang akan diperpanjang). Prinsip seperti ini sama dengan yang terjadi secara alamiah dalam proses replikasi.

Pada proses replikasi alamiah tersebut, DNA untai ganda yang akan memperbanyak diri, mengalami denaturasi di bagian ujung (membelah diri menjadi dua untai), lalu terjadi penempelan fragmen

DNA pendek (yang disebut DNA Klenow), selanjutnya DNA yang pendek itu diperpanjang berkat bantuan DNA Polimerase. Seiring dengan bertambahnya waktu, manusia diberi pengetahuan yang luas, sehingga dapat “mencontek” proses alamiah yang terjadi dalam sel itu, ke tabung reaksi.

Seiring pula dengan kemanjuan proses tersebut, peneliti dari bagian parasitologi FKUI juga terlibat penelitian identifikasi cacing filaria bersama tim dari Amerika Serikat. Pemanfaatan PCR ini penting karena kalau dari darah yang dioles itu cuma adasatu cacing kecil, khan susah identifikasinya. Mengapa? Karena DNA probe yang khusus melacak filaria mempunyai limit deteksi yang terbatas bila DNA cacing itu sangat sedikit. Itulah sebabnya DNA pada cacing itu diperbanyak dahulu.

Agaknya sudah menjadi hukum alam, kemajuan pengetahuan dan teknologi akan membuat manusia semakin sejahtera, tidak malah dikejar-kejar kekuatiran, termasuk dalam mengatasi penyakit.

Markus G. Subiyakto, pengamat perkembangan bioteknologi, tinggal di Jakarta.

Sumber: Kompas, 7 Maret 1990

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Anggrek Baru Ditemukan di Pulau Waigeo, Raja Ampat
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Keragaman Makhluk Eksotis Wallacea
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Rabu, 28 Desember 2022 - 16:36 WIB

Anggrek Baru Ditemukan di Pulau Waigeo, Raja Ampat

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB