BERBARENGAN dengan peringatan di Yogyakarta, Sabtu (10/2), di Jalan Hang Tuah Raya 19, Jakarta, diselenggarakan acara Dua Tahun Meninggalnya JB Mangunwijaya. Acara ini diprakarsai Pusat Kajian dan Edukasi Masyarakat (Pakem). Dihadiri sekitar 50 orang, menampilkan Arswendo Atmowiloto, Greg Sutomo SJ, dan Joko Pinurbo.
Acara yang berlangsung hingga tengah hari itu berjudul Mengenang Romo Mangun: Mencari Setitik Embun di Tengah Kegersangan Jagat Tanah Air. “Dia seorang renaisans,” kata Mely G Tan saat membuka acara, dan menambahkan, “kita semua kaget ketika Romo Mangun sekonyong-konyong pergi dari antara kita.” Meninggal sekonyong-konyong, sebutan itu tepat. Romo Mangun meninggal beberapa menit setelah menyampaikan makalah tentang buku dan teknologi di Hotel Le Meridien, Jakarta, 10 Februari 1999. Ketika diskusi ditutup pukul 13.30, pembicara dan peserta dipersilakan makan siang. Kira-kira 10 menit kemudian, Romo Mangun jatuh pingsan di rebahan bahu Mohamad Sobary. Pada pukul 13.55, ia diumumkan meninggal.
Suasana penghormatan jenazahnya menyentakkan hati. Warga masyarakat dari semua lapisan melayat, di Jakarta maupun di Yogyakarta, juga sampai ke peristirahatan terakhir di Kampus Seminari Tinggi Kentungan, 5 kilometer utara Kota Yogyakarta, 12 Februari 1999. Karya yang ditinggalkan Romo Mangun amat banyak, merambah semua bidang, dan tak henti-hentinya membuat decak kagum. Dari semua penulis obituari waktu itu, sebutan seorang humanis sejati berkali-kali disampaikan. Dia seorang teoretis sekaligus praktisi. Kata praksis-istilah ini berasal dari Paulo Freire-amat sering diucapkan, mempertegas bahwa teori-teori besar yang disampaikannya selalu berpijak ke bumi, berpijak pada kebutuhan aktual dan massal. Pakem lantas punya gagasan membentuk Paguyuban Mangunwijaya Society, yang bertujuan menggali gagasan-gagasan besar pastor kelahiran Ambarawa tanggal 16 Mei 1929 itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Acara peringatan siang itu pun jauh dari sekadar mengenang kematian. “Kita ingin menggali inspirasi dari gagasan dan tindakan Romo Mangun, terutama untuk generasi muda,” kata moderator Frans M Parera. Tetapi, tidak bisa dihindari, para penanggap tidak bisa dicegah mengingatkan pengalaman masa lalu bersama Romo Mangun. Dengan itu, bahkan sosok Mangunwijaya tampil sebagai manusia biasa, yang tidak terbebas dari kekurangan manusiawi.
***
SARASEHAN jauh dari maksud membahas karya-karya besar Romo Mangun, juga kenangan sebagai sahabat. Sederet julukan seperti arsitek, rohaniwan, novelis, pekerja sosial, penulis yang produktif seolah-olah lebur dengan satu istilah seorang humanis. Pemikiran dan karyanya diarahkan dan berpusat pada penghargaan harkat dan martabat manusia. Salah satu bidang yang dia geluti, bahkan menjadi obsesinya, adalah pengembangan pendidikan, yang disebutnya sebagai hak dasar setiap manusia. Obsesinya pada pendidikan itu berfokus pada pengembangan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD).
Seperti di bidang lain, ia tidak hanya memikirkan, tetapi juga melakukan, begitu juga pada obsesinya tentang pendidikan. Ia melaksanakan obsesi pendidikan bagi kaum miskin dan sistem pendidikan yang membebaskan di SD Eksperimental Mangunan, sekitar 11 kilometer timur Kota Yogyakarta. “Gagasannya tentang pendidikan bagi kaum tertindas sebenarnya tidak baru, tetapi kelebihan Romo Mangun dia mempraktikkan sendiri gagasannya itu,” ujar Greg Sutomo yang mengaku tak kenal secara langsung.
Menurut Joko Pinurbo yang saat ini terlibat aktif di SD Mangunan, sampai akhir hayatnya Romo Mangun masih prihatin mengenai situasi dunia sekolah (Katolik) di Indonesia. Di antaranya sekolah hanya mempersiapkan murid memperoleh ijazah, memperlebar jurang kaya dan miskin, dan ikut aktif dalam “darwinisme sosial” yang ikut “membunuh” anak-anak dari keluarga miskin. Situasi pendidikan demikian diperparah oleh sistem pendidikan nasional yang disebut oleh Romo Mangun berjiwa militeristis: tidak menghargai anak sebagai anak dan memperlakukan anak sebagai produk siap pakai untuk kepentingan industri.
Ketika merintis SD Mangunan, di benak Romo Mangun terbayang tak semua lulusan bisa melanjutkan ke SLTP. Sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga miskin, yang tidak bakal mengalami garis linier proses pendidikan dari SD sampai S3. Mereka semakin tergusur oleh sistem dan kebijakan nasional. Dari sana, Romo Mangun merumuskan tujuan pokok proses pembelajaran di SD Mangunan, yakni “pemekaran anak yang eksploratif, kreatif, dan integratif”. Itulah “tritunggal” filosofi pendidikan SD Mangunan yang sekarang digeluti oleh Laboratorium DED di Jalan Kuwera, Yogyakarta.
***
SD Mangunan hanya satu dari sekian eksperimen pengembangan SD yang masih berjalan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, tercatat nama antara lain Pakasi dari IKIP (sekarang Universitas Negeri) Malang dengan sistem modul. Anak-anak belajar berdasar modul yang sesuai dengan kemampuan, bakat, minat, dan ritme belajar. Sistem itu sampai saat ini dipraktikkan di sekolah-sekolah Laboratorium Universitas Negeri di Indonesia. Pengembangan berikutnya diselenggarakan dalam metodologi Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang mula-mula dicobakan di Cianjur kemudian diseminasikan ke berbagai sekolah.
Titik berangkat sistem Pakasi dan Mangunwijaya sebetulnya satu, yakni psikologi perkembangan Jean Piaget. Kata Piaget, “Jika kita bersedia kehilangan sedikit lebih banyak waktu dan membiarkan anak-anak aktif dan mencoba-coba, atau membiarkan mereka membuat kesalahan pada macam-macam hal, maka waktu yang tampaknya kita sia-siakan itu mungkin adalah waktu yang bermanfaat….”Pendeknya, pendidikan yang benar adalah berpijak pada suasana kejiwaan setiap individu.
Mencari inspirasi dalam suasana jagat Indonesia sedang “mendidih”-yakni kembali pada apa yang hidup dalam setiap individu anak didik-ibarat berlabuh. Dan dalam suasana sekarang, semakin terasa perlu kehadiran laboratorium-laboratorium pendidikan, yang menyumbang pada pengembangan sistem (yang seharusnya), yakni kembali pada kebutuhan anak. (St Sularto)
Sumber: Kompas, Senin, 12 Februari 2001