Pemetaan wilayah, hingga sekitar dua tahun lalu, masih amat mahal karena melibatkan aneka peralatan, seperti pesawat terbang, kamera khusus, dan tenaga ahli langka. Kini, seiring terhubungnya aneka peralatan, seperti alat penanda global positioning system dengan kamera, GPS dengan telepon seluler, dan kian mungilnya kamera, pemetaan menjadi lebih sederhana dan tetap akurat.
“Kami memanfaatkan perangkat GPS dan kamera yang makin mungil dengan pesawat tanpa awak (drone) yang kian canggih, murah, dan mudah diperoleh. Pemetaan kami di beberapa wilayah sengketa batas bisa dikatakan menghasilkan keluaran yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan,” kata Arif Munandar, peneliti pada Swandiri Institute.
Prinsip pemetaan itu mirip pemetaan udara biasa. Bedanya, pesawat yang dipakai tanpa awak dan kameranya mungil. “Kamera yang kami pakai Canon S100 berkemampuan rekam 12 megapiksel,” kata Arif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pesawat terbang mengangkut kamera memotret tiap selang waktu tertentu pada ketinggian 50 meter. Rute penerbangan sudah ditentukan. Lalu, foto-foto disatukan dan disesuaikan data koordinat. Visual dan data tergabung sehingga peta yang ada amat mudah dilihat dan dipahami realitasnya.
Pesawat tanpa awak (drone) yang dipakai untuk memetakan kembali koordinat perizinan dan hak tanah di Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Rabu (10/6).–KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
“Kami memilih drone berbentuk pesawat, bukan quadcopter berbaling-baling empat karena alasan efisiensi. Quadcopter mengandalkan gaya angkat dari baling-baling, sangat boros baterai, umumnya hanya bisa terbang maksimal 20 menit. Sementara pesawat dari styrofoam ini punya kemampuan terbang lebih dari satu jam sekali ganti baterai,” papar Aris.
Pihak Swandiri memiliki aneka perangkat lunak dan aneka drone untuk aneka pemetaan. Sistem pemetaan, pemotretan, dan pengolahan hasil pemetaan pun mereka bakukan. Akhir Juni lalu, bahkan mereka mengadakan pendidikan untuk pilot drone.
Tentang merek kamera yang dipakai, Arif mengatakan, pemakaian merek Canon karena punya jaringan pembuat firmware tersebar di seluruh dunia yang menempatkan aneka ciptaannya di internet dengan nama CHDK (Canon Hack Development Kit). “Kami berniat mengganti dengan Sony A6000 yang kemampuan rekamnya 24 megapiksel agar pemetaan lebih rinci. Namun, tanpa CHDK, kami harus memakai trigger inframerah yang harus dimodifikasi agar jangkauannya jauh. CHDK sangat membantu dan gratis pula,” kata Arif.
Hingga kini, dengan kamera 12 megapiksel itu, pada ketinggian terbang 50 meter, pemetaan merekam 2 sentimeter dalam 1 piksel. Pada ketinggian 500 meter, 15 sentimeter adalah 1 piksel.
Drone memang memudahkan kerja karena tak membahayakan penggunanya dan mudah diangkut ke mana pun. Semoga masalah sengketa batas wilayah antara penduduk dan industri di Kabupaten Sangau segera terpecahkan dengan hasil pemetaan memakai drone ini. Drone hanya alat. Namun, jika digunakan dengan benar, ia akan akurat dan jujur. (ARB)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juli 2015, di halaman 14 dengan judul “”Drone”, Murah, Mudah, dan Tidak Bohong”.