Selama puluhan tahun, warga Pulau Subi di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, tak mendapat pasokan listrik minimal dua bulan per tahun. Itu karena pasokan solar tak lancar dan perawatan mesin pembangkit listrik tenaga diesel kerap terjadi. Untuk itu, teknologi pembangkit mesin gas akan dikembangkan di pulau-pulau terdepan.
Natuna memiliki cadangan gas amat besar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat, cadangan gas di Natuna 90,27 triliun kaki kubik (TSCF) dari total cadangan gas Indonesia pada 2013 yang mencapai 150,7 TSCF. Cadangan itu semestinya mampu membangkitkan listrik dengan daya puluhan gigawatt selama bertahun-tahun, lebih dari cukup untuk kabupaten terdepan Indonesia dengan penduduk kurang dari 90.000 jiwa itu.
Setiap 1 juta kaki kubik gas alam bisa menyalakan pembangkit berdaya 4 megawatt (MW). Adapun pulau-pulau terdepan rata-rata hanya butuh pembangkit listrik berkapasitas di bawah 1 MW. ”Masalahnya, tak ada pipa penyalur gas dari sumur di lapangan ke pulau-pulau terpencil dan terdepan,” ujar Kepala Divisi Gas PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Suryadi Mardjoeki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk membangun pipa bawah laut dari sumur gas di lepas pantai ke pulau-pulau itu dibutuhkan biaya amat besar. Investasinya tak akan sebanding dengan pemanfaatan gas untuk menyalakan listrik di pulau-pulau. ”Selama bertahun-tahun
kebuntuan itu tak terpecahkan,” kata Direktur Pengembangan Usaha PT PLN Batam Ardian Chalid.
Akhirnya, Suryadi dan Ardian menemukan ide saat melihat tabung-tabung gas diangkut kapal di perairan Singapura pertengahan 2013. Gas dalam tabung-tabung bertekanan lebih dari 200 bar itu diangkut kapal pendarat sederhana. Kapal itu hanya butuh dermaga tanpa derek penurun peti kemas saat sandar, ideal untuk sandar di pulau terdepan dengan dermaga sederhana.
Pengangkutan gas alam bertekanan (CNG) dengan kapal jauh lebih murah dibandingkan membangun pipa ke pulau-pulau. Kebutuhan investasi untuk membangun pipa 13 kilometer dari Pulau Pemping menuju Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Tanjung Uncang, Batam, mencapai 49,8 juta dollar AS.
Padahal, jarak dari sumur gas lepas pantai ke pulau-pulau terdepan mencapai ratusan kilometer. Pola distribusi dengan pipa juga membuat penyaluran hanya ke satu titik. Itu berbeda dengan kapal yang bisa mendarat di mana saja. Apalagi, harga kapal hanya 1 juta dollar AS.
Tampung kelebihan gas
Ardian mengatakan, pengangkutan gas ke pulau-pulau dengan kapal itu sekaligus jadi solusi untuk menampung kelebihan gas yang tetap harus dibeli saat pembangkit listrik tak memerlukan. Gas itu dimampatkan menjadi CNG dengan tekanan lebih kurang sama dengan gas-gas dalam kapal pengangkut tabung-tabung berisi gas di perairan Singapura.
Di stasiun penerima gas Panaran, Batam, ada fasilitas untuk mengubah gas alam menjadi CNG. Fasilitas itu dilengkapi peti kemas khusus pengangkut tabung CNG dan kapal pendarat serta pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) yang bisa memakai CNG. ”Kemajuan teknologi membuat semua tersedia. Tinggal kreativitas menggabungkan dan memanfaatkan itu sesuai situasi lapangan,” kata Ardian.
Para teknisi PLN mencoba merealisasikan itu. Dua unit PLTMG Tokojo berkapasitas masing-masing 3 MW di Kelurahan Kijang, Bintan, Kepulauan Riau, diresmikan Maret lalu. Meski dayanya amat kecil, pengoperasian pembangkit itu membuktikan, ada cara baru menyalurkan listrik secara mudah dan murah ke pulau-pulau.
PLTMG CNG lebih ekonomis untuk penyediaan listrik skala luas dibandingkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Mesin terkecil PLTMG CNG berkapasitas 1,3 MW. Butuh banyak sel PLTS untuk menghasilkan daya sebesar itu. ”Untuk pulau-pulau terdepan, hanya butuh daya dari PLTMG terkecil. Lebih baik memasang mesin 1,3 MW dibandingkan 500 KW,” kata Ardian.
Mesin gas 1,3 MW bisa disetel untuk menghasilkan daya sesuai kebutuhan. Jika kebutuhan listrik naik, mesin disetel ke operasi optimal. ”Kalau beli mesin kecil, harus beli mesin baru untuk penambahan daya. Belum tentu bisa langsung terkoneksi karena spesifikasinya berbeda,” ujarnya.
Pembangkit gas juga lebih ekonomis daripada pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Rata-rata biaya pokok produksi (BPP) PLTD Rp 3.500 per kilowatt hour (kWh). Adapun BPP listrik gas maksimal Rp 2.500 per kWh dengan jarak tempuh hingga 370,4 kilometer dari stasiun pengisian CNG.
Pengangkutan CNG untuk PLTMG skala kecil relatif mudah. Hanya butuh dermaga kecil bagi kapal pendarat (LCT), kedalaman alur 2,5 meter. Gas dimasukkan tabung dalam peti kemas, lalu diangkut dengan kapal ke PLTMG di pulau-pulau kecil. Jika butuh skala besar, bisa pakai kapal CNG kapasitas 20 MMSCF.
Pembangkit serupa bisa dibangun di Pulau Subi dan pulau-pulau terdepan lain di Indonesia. PLTMG Tokojo membuka jendela harapan penyediaan listrik di pulau-pulau terdepan.
Oleh: KRIS R MADA
Sumber: Kompas, 2 juni 2014