Sarana pendidikan penerbangan di Indonesia tidak mengikuti perkembangan zaman. Pada 1950- an, Indonesia pernah menjadi rujukan dalam ilmu aviasi dunia.
”Sayangnya, hal tersebut tidak bisa dikembangkan atau dipertahankan,” ujar Editor Senior Majalah Angkasa Dudi Sudibyo dalam peluncuran buku karya mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn) Chappy Hakim berjudul Believe it or Not Dunia Penerbangan Indonesia: Terbang Aman dan Nyaman Walau Banyak Masalah, di Jakarta, Jumat (7/11). Acara tersebut dimoderatori Direktur Pemberitaan MetroTV Suryopratomo.
Dudi Sudibyo mengutarakan, minimnya upaya peningkatan kualitas sistem penerbangan secara keseluruhan membuat fakta bahwa nilai Indonesia adalah setengah dari pasar di Asia Tenggara mubazir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Chappy Hakim menyatakan, sistem penerbangan di Indonesia tertinggal dibandingkan negara lain. Hal itu terbukti dengan tidak meningkatnya jumlah dan mutu sarana serta pelayanan untuk menyertai pertumbuhan jumlah penumpang dan frekuensi penerbangan. ”Masalah utama Indonesia adalah ketidakmampuan mengelola ruang udara. Kita bahkan tidak memiliki konstitusi yang mengatur sistem penerbangan,” kata Chappy.
Buku setebal 182 halaman tersebut membahas berbagai permasalahan yang terjadi di dalam dunia penerbangan nasional yang membuat kasta Indonesia diturunkan oleh Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) pada 2007, dari kategori satu ke kategori dua. Artinya, sistem penerbangan Indonesia tidak cakap dalam memenuhi segala jenis standar kelayakan, mulai dari keamanan hingga kenyamanan.
Keputusan tersebut berdasarkan temuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) atas 121 bentuk pengaturan yang dianggap tidak layak. Salah satu poin ketidaklayakan Indonesia adalah tidak adanya hukuman atau sanksi yang serius apabila terjadi pelanggaran dalam dunia penerbangan. Berdasarkan penilaian ini, Indonesia hanya memenuhi 54 persen dari total standar. (DNE)
Sumber: Kompas, 8 November 2014