Pemenuhan sebagian kebutuhan bahan bakar elpiji yang digunakan terutama untuk rumah tangga saat ini masih bergantung pada impor. Teknologi pengolahan dimetil eter untuk menggantikan elpiji dari biomassa atau batubara muda pun terus dipacu.
”Dimetil eter merupakan bahan bakar terbarukan ramah lingkungan. Teknologi produksinya sudah tersedia dari berbagai negara,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan Azis Iskandar dalam Konferensi Dimetil Eter Asia Ke-8, di Jakarta, Rabu (13/11).
Dimetil eter diperoleh dari proses gasifikasi dan purifikasi biomassa, batubara muda, atau gas alam. Karakternya sama dengan elpiji, tetapi dengan harga produksi yang lebih murah berkisar 20-25 persen.
Saat ini, konsumsi elpiji mencapai 47,2 juta barrel setara minyak. Sekitar 50 persennya masih dipenuhi dengan cara impor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beberapa negara seperti Jepang, Korea, dan China saat ini sudah memproduksi dimetil eter. Di dalam konferensi tersebut dibahas mengenai teknologi produksi dimetil eter yang efisien.
Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Unggul Priyanto mengatakan, penerapan dimetil eter sudah diriset dengan hasil yang sama dengan pemanfaatan elpiji. Dimetil eter dapat diproduksi untuk bahan campuran elpiji atau penggunaannya murni 100 persen.
Direktur Pengembangan Proyek PT ARRTU Mega Energie Guntur Sumaryono mengatakan, perusahaannya di Riau menargetkan pembangunan konstruksi pengolahan dimetil eter pada tahun 2014 dengan kapasitas 1 juta ton per tahun. Bahan baku yang akan digunakan adalah batubara muda, tetapi bisa diganti dengan biomassa.
”Batubara muda memiliki kalori rendah dan mudah hancur. Selama ini batubara muda terbuang karena sulit didistribusikan,” kata Guntur.
Ketersediaan batubara muda masih melimpah. Menurut Guntur, dengan kapasitas produksi 1 juta per tahun dimetil eter, ketersediaan batubara muda bisa mencapai 100 tahun. (NAW)
Sumber: Kompas, 14 November 2013