Merkuri atau air raksa yang tergolong bahan berbahaya akan dihapuskan penggunaannya secara global. Karena langkah ini akan mengancam mata pencarian petambang emas rakyat, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pun mengembangkan teknik pengolahan emas tanpa merkuri.
Dalam peta dunia tentang pencemaran merkuri ke lingkungan, tertera daerah “merah” di Asia Tengah dan Asia Tenggara, Afrika bagian selatan, serta Amerika Selatan. Indonesia termasuk zona merah itu. Berdasarkan data dari Mercury Watch, air raksa yang dilepas ke lingkungan di negeri ini sebagai limbah mencapai 200 ton per tahun. Limbah merkuri ini lebih dari 57 persen berasal dari pertambangan emas milik rakyat.
Pertambangan Emas Rakyat yang Berskala Kecil (PESK) ini telah berlangsung lama, melibatkan sekitar 2.500 petambang. Dari kegiatan produksi ini, dihasilkan sekitar 80 ton emas per tahun. Volume produksi ini lebih besar daripada yang dihasilkan industri pertambangan emas yang hanya 60 ton per tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tingginya tingkat produksi emas di pertambangan rakyat di beberapa daerah telah membuka lapangan kerja dan menggerakkan roda perekonomian. Namun, aktivitas PESK, karena menggunakan merkuri, telah menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan.
Merkuri merupakan bahan kimia berbahaya yang sulit terdegradasi di lingkungan. Pencemarannya melalui udara dan perairan telah melintasi batas wilayah negara. Dampak yang ditimbulkan bagi manusia berupa keracunan hingga kecacatan, seperti yang dialami masyarakat di Minamata, Jepang.
Masalah merkuri kini telah menjadi isu dunia hingga mendorong disepakatinya pengendalian penggunaan merkuri dalam skala global melalui Konvensi Minamata. Indonesia termasuk di antara 147 negara yang sepakat mengatasi masalah ini.
Seusai menandatangani konvensi tersebut tahun 2013, Pemerintah Indonesia segera membuat Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Penggunaan Merkuri pada Pengolahan Emas untuk kurun waktu 2014-2018. Kemudian disusunlah rencana kerja pemerintah (RKP). Terkait dengan penanganan merkuri, Presiden Joko Widodo pada 9 Maret 2017 pun mengeluarkan tujuh instruksi presiden untuk itu.
Pada RAN, salah satu komponen yang menjadi perhatian adalah penelitian dan pengembangan teknologi proses pengolahan emas. Tujuannya, untuk menghasilkan teknik alternatif pengolahan emas tanpa merkuri. Beberapa teknik proses yang diteliti adalah teknik perlindian menggunakan sianida, tiosulfat, dan tiourea.
Dalam pengkajian sejak 2014, terpilih sianida. Menurut Direktur Pusat Teknologi Sumber Daya Mineral (PTSDM) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dadan M Nurjaman, sianida memiliki kelebihan, antara lain daya larut kuat hingga 90 persen untuk mengekstrak emas hingga membentuk senyawa emas yang stabil. Ini lebih baik ketimbang merkuri, yang mengekstraksi biji emas hanya 50 persen.
Reaktor terpadu
Namun, bagaimanapun sianida pun berpotensi racun ketika berada dalam kondisi asam. Karena itu, dalam proses akhir pengolahan emas ini juga ditambahkan sistem destruksi tailing (limbah hasil pengolahan bahan tambang) sehingga aman dilepas kembali ke lingkungan. Penghancuran tailing ini bertujuan mengikat sianida menjadi sianat, daya toksisnya berkurang 1.000 kali. Sianat ini telah memenuhi baku mutu lingkungan.
“Desain teknik proses yang dirancang tim perekayasa BPPT ini merupakan hasil modifikasi teknologi proses sianidasi yang dikembangkan di Selandia Baru,” kata Widi Brotokusumo, perekayasa di PTSDM BPPT. Reaktor ini digunakan untuk biji emas berukuran butiran halus. Ada beberapa kapasitas reaktor yang dirancang, yaitu 200 kilogram dan 1,5 ton.
Dalam rancang bangun dan rekayasa dihasilkan reaktor pelebur emas yang terpadu, yaitu dari satu reaktor dapat dilakukan proses perlindian dan destruksi tailing. Selain itu, pada reaktor yang sama dilakukan proses tambahan untuk mengambil emas sisa perlindian melalui pemisahan debu karbon menggunakan semburan udara vertikal.
Desain terinci yang berupa tabung reaktor mini ini, lanjut Dadan, akan diujicoba di Lebak, Banten, pada Oktober mendatang; di Banyumas, Jawa Tengah; dan di Pacitan, Jawa Timur. Pembangunannya diharapkan dimulai Juli mendatang.
Dalam penerapannya di pertambangan rakyat, ini dapat memadukan unit konvensional yang telah ada, yaitu mesin penghancur dan mesin pengerus biji emas. Reaktor ini dapat digunakan secara kolektif. Untuk reaktor 1,5 ton menampung biji emas yang dikumpulkan dari 10 petambang.
Pembangunan reaktor ini relatif murah dan mudah. Untuk kapasitas 1.500 kg, biayanya sekitar Rp 70 juta. Survei yang dilakukan BPPT menunjukkan industri kecil dan juga bengkel di Bandung, Surabaya, Makassar, dan Ambon memiliki kemampuan membuat tangki reaktor itu. “Mereka nantinya akan dilatih untuk membuatnya,” ujar Dadan.
Pembangunan reaktor-reaktor mini terintegrasi di daerah ini mendapatkan dukungan dana dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan GEF (Global Environment Facility) melalui program GEF-GOLD yang direncanakan berlangsung selama tahun 2017-2022. Dalam program tersebut, BPPT serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan mengalokasikan anggaran total Rp 7 miliar untuk tahun depan. Sementara GEF mengalokasikan anggaran sebesar 6,7 juta dollar AS untuk program selama 5 tahun atau hingga tahun 2023.
Tahun depan, pembangunan reaktor tersebut akan dilaksanakan di Mandailing, Sumatera Utara, dan Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dengan dukungan anggaran tersebut.–YUNI IKAWATI
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Juni 2017, di halaman 14 dengan judul “Dikembangkan, Pengolahan Emas Tanpa Merkuri”.